Jejak Pelajar di Indonesia
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Ratusan remaja berseragam putih abu-abu tampak berjalan menyusuri Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Rabu 25 September 2019. Mereka berbaris dan berjalan beriringan menyusuri jalanan. Panas yang menyengat seolah menjadi vitamin penambah energi. Jangankan mengendur, semangat mereka malah makin berkobar. Berbekal tekad, ratusan pelajar dari berbagai sekolah menengah atas di Jakarta dan sekitarnya ini menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR MPR.
Laiknya aksi demonstrasi, sesampainya di depan Gedung DPR MPR mereka meneriakkan yel yel serta sejumlah tuntutan. Salah satunya soal revisi Undang Undang KUHP. Juga soal revisi UU KPK dan sejumlah isu lain yang sebelumnya diteriakkan para mahasiswa di tempat yang sama.
“Maksud kita ke sana cuma buat bantu kakak mahasiswa yang demo di sana,” ujar MR (16), salah satu pelajar yang ikut aksi demonstrasi. Siswa asal salah satu sekolah menengah atas di Cikupa, Tangerang ini mengaku tergerak ikut aksi karena membaca seruan di media sosial. “Di Facebook, muncul info buat kumpul berangkat aksi ke Jakarta,” ujarnya menambahkan.
Niat MR cuma satu, yakni membantu aksi para mahasiswa. “Kita ikut ikutan ke sana untuk bantu kakak mahasiswa yang lagi orasi. Kita mau jaga mereka juga, biar kalau dihadang pak polisi, kita yang maju bantuin.”
Pernyataan senada disampaikan A (16). Siswa asal salah satu sekolah menengah di Cisoka, Tangerang ini mengaku ikut aksi karena melihat nasib para mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa. “Kesal, ngeliat para kaka mahasiswa itu dihalangi bahkan digebukin saat demo. Padahal belum tentu salah,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 3 Oktober 2019.
“Kita di sana mau bantu mereka saja. Selain ikut suarakan penolakan revisi undang-undang, kita mau jagain mereka saat orasi, biar gak digebukin polisi.”
Bukan yang Pertama
Aksi para pelajar ini bukan yang pertama. Sejarah mencatat, para pelajar sudah terlibat aktif terlibat dalam isu-isu kebangsaan sejak lama. Bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Meski tak kentara, para pelajar juga dianggap berkontribusi pada gerakan reformasi 1998.
Aktivis 98, Wahab Talaohu mengatakan, menjelang reformasi 1998 pelajar merupakan salah satu kelompok masyarakat yang diorganisir mahasiswa. Menurut dia, melawan kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun membutuhkan people power. Dan pelajar menjadi salah satu people power yang bisa digerakkan.
“Kawan-kawan 98 melakukan yang namanya bunuh diri kelas. Mereka cuti dari kampus kemudian live in, turun ke petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan pelajar,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu, 2 Oktober 2019.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengaku tidak kaget melihat tren meningkatnya dan massifnya pelajar turun ke jalan dan menjadi kekuatan politik ekstra parlementer. Sebab menurut dia, dari dulu pelajar sudah sangat peduli dengan rakyat. Pelajar adalah kelompok masyarakat yang berperan dalam sejarah Indonesia.
“Seperti kontribusi tentara pelajar dalam kemerdekaan Indonesia, tahun 1966 pelajar ikut dalam peristiwa tersebut, termasuk tahun 1998,” ujarnya kepada VIVAnews Rabu, 2 Oktober 2019.
Sejarah mencatat, pelajar memang terlibat dan berperan pada gerakan Angkatan 1966. Di bawah panji Kesatuan Aksi Pelajar dan Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), mereka melawan kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai tidak demokratis. Bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka terus turun ke jalan menyuarakan sejumlah tuntutan yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yakni Pembubaran PKI, Pembersihan kabinet dari unsur G30S/PKI dan penurunan harga atau perbaikan ekonomi.
Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencatat peranan para pemuda pelajar. Tampilnya para pelajar dalam perjuangan telah dimulai sejak awal pergerakan nasional, dimana tokoh-tokoh pemimpin yang mempelopori Pergerakan Nasional lahir dari pemuda pelajar.
Yang disebut pelajar pejuang adalah para pemuda pelajar Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Mahasiswa. Di mana usia mereka rata-rata 15 hingga 20 tahun tetapi mempunyai kesadaran bahwa tenaganya diperlukan untuk perjuangan bangsa.
Para pelajar sudah terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional menulis, pada tahun 1926 para pelajar sudah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka membentuk organisasi bernama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Wadah ini sengaja dibentuk guna merekatkan berbagai wadah perjuangan yang bercorak kebangsaan.
PPPI dibentuk ketika belum ada prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen organisasi kaum terpelajar yang bersifat kebangsaan. Sehingga PPPI dapat dikatakan sebagai organisasi pertama yang bersifat kebangsaan.
PPPI kemudian melaksanakan Kongres Pemuda I yang berlangsung pada bulan Mei 1926. Dalam Kongres ini kaum terpelajar berusaha meletakkan dasar komitmen untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan primordial di antara mereka dan menciptakan kesatuan bangsa.
PPPI juga menjadi motor pelaksanaan Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 26-28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II inilah yang berhasil mencetuskan sebuah gagasan tentang dasar state; wilayah, penduduk (bangsa) dan bahasa yang dikemasnya ke dalam sebuah ikrar kaum terpelajar yang sekarang amat populer dengan istilah Sumpah Pemuda.
“Dari zaman perjuangan kemerdekaan dan membela tanah air, dari dahulu pelajar sudah menjadi garda terdepan membela tanah air. Apabila ada yang tidak benar, ada sesuatu yang bukan pada tempatnya, mereka gelisah, melampiaskan kegelisahannya dengan cara aksi demontrasi dan sebagainya,” ujar Pangi Syarwi Chaniago menutup wawancara. (umi)