Dari Sekolah Turun ke Jalan
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Seorang remaja, sebut saja AD, hanya bisa tertunduk lesu. Pak Polisi lagi menatap dia dengan tajam. Apalagi, yang dihadapi AD ini bukan sembarang polisi. Dia adalah Kepala Kepolisian Resor Kota Depok, Ajun Komisaris Besar Polisi Azis Andriansyah.
Dipanggil, AD pun menyahut. Setelah ditanya identitasnya, terungkap bahwa dia masih duduk di bangku kelas delapan, alias kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Usianya pun baru 14 tahun.
AD tak menyangka bisa terdampar di kantor polisi. Pun, AKBP Azis dan anak buahnya juga tak menyangka bisa menjaring remaja belia seperti AD. Apalagi, baru SMP tapi sudah memakai seragam Sekolah Menengah Atas (SMA). Buat apa? Polisi pun tambah geleng-geleng kepala setelah mendengar jawaban si remaja.
AD mengaku seragam SMA itu dia pinjam dari saudaranya, demi bisa ikut serta demonstrasi ke kompleks gedung DPR di Jakarta. Namun, di tengah jalan, dia dan teman-temannya keburu terjaring razia polisi. “Saya cuma ikut-ikutan, ini seragam saudara,” kata AD dengan wajah memelas.
Saat ditanya kenapa ingin berunjuk rasa di DPR, AD mengaku hanya ikut-ikutan lantaran diajak teman-teman. Ia sendiri tidak tahu menahu persoalan yang saat ini ramai diprotes tersebut.
Polisi merazia pelajar asal Depok yang akan demonstrasi ke DPR
AD tak sendirian. Ratusan pelajar di Kota Depok diamankan aparat lantaran nekat bolos sekolah untuk bergabung melakukan aksi unjuk rasa lanjutan, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta, pada Senin 30 September 2019. Setelah ramai aksi anak STM, aksi kali ini ternyata menimbulkan ketertarikan pada sejumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Senin itu, sebanyak 179 pelajar Sekolah Menengah Atas atau (SMA/sederajat) dan sejumlah siswa SMP itu diamankan petugas dari Polresta Depok dari sejumlah lokasi berbeda seperti di kawasan Margonda, Jalan Juanda, Jalan Dewi Sartika dan Grand Depok City.
Sebagian dari mereka mengaku hanya ikut-ikutan, namun beberapa pelajar lainnya mengaku tergerak karena melihat perjuangan para mahasiswa menuntut pembatalan revisi sejumlah undang-undang. Meski tidak tahu secara detail apa saja pembahasan yang menimbulkan polemik, namun mereka meyakini hal tersebut merugikan rakyat.
“Misalnya punya keluarga dokter atau bidan, terus tengah malam ada yang mau melahirkan. Masa bayinya harus dimasukin lagi, nunggu besok? Kan enggak masuk akal. Kalau gitu sekalian aja melahirkannya suruh ke DPR kan mereka yang buat undang-undang,” kata Rf, salah satu pelajar SMP saat diamankan di Polresta Depok
Keterlibatan siswa sekolah menengah dalam demonstrasi kali ini mengagetkan banyak pihak. Tak pernah ada yang mengira, aksi mahasiswa yang digelar pada 19 September dan 23 September 2019 ternyata menginspirasi adik-adiknya. Berbeda dengan aksi gerakan mahasiswa yang berjejaring dan jelas siapa komandonya, aksi anak-anak pelajar Sekolah Menengah Atas itu cair, tak jelas siapa komandonya, dan siapa yang menggerakkan mereka.
Pelajar di Jaktim yang mau demo di DPR diadang aparat
Meski demikian, ribuan siswa sekolah menengah yang belakangan diketahui sebagai anak Sekolah Teknik Menengah (STM) membanjiri sekitar gedung DPR RI. Mereka militan, tak mengenal takut, bahkan berani melawan balik. Mereka melempar kembali selongsong tabung gas air mata ke polisi, mereka kejar polisi yang berusaha menghalau, ketika disemprot air dari water canon, anak-anak ini malah bergembira. Bahkan mereka menguasai mobil pasukan baracuda.
Berhadapan dengan aparat tak membuat mereka gentar. Bisa jadi mereka menganggap aksi demonstrasi yang berhadapan langsung dengan aparat dan berbahaya itu sebagai selingan atau bagian dari tawuran sebagaimana yang sering mereka lakukan selama ini.
Bergerak Tanpa Komando
Tak hanya di Depok dan Jakarta. Di daerah, aksi pelajar sekolah menengah juga terjadi. Di Bali, puluhan anak sekolah yang sudah siap ikut aksi #BaliTidakDiam dibujuk untuk kembali ke rumah. "Pulang ke rumah. Kalau sudah tidak ada pelajaran, pulang sekarang," kata seorang petugas Kepolisian, sembari menggiring sekitar delapan siswa ke motornya, Senin 30 September 2019. Sebagian siswa menurut, sebagian lagi tetap dalam barisan.
Di Yogyakarta, ratusan pelajar ikut bergabung dalam acara #GejayanMemanggil 2. Humas Aliansi Rakyat Bersatu yang menjadi inisiator #GejayanMemanggil 2, Nailendra menyebut para pelajar bergabung murni karena panggilan hati nurani.
"Kami tidak mengajak mereka (pelajar), tetapi mereka turun, karena murni hati nurani. Mereka memang ingin turun ke jalan dan bergabung dengan kami," ujar Nailendra.
Aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta
Presiden Mahasiswa Trisakti Dinno Ardiyansyah juga memastikan, mahasiswa tak pernah mengonsolidasikan anak-anak SMA. "Memang sebenarnya sejak awal kita dari mahasiswa itu hanya mengonsolidasikan teman-teman mahasiswa saja ya. Jadi kita tidak ada mengajak atau pun mempengaruhi adik-adik SMK atau STM untuk ikut serta dalam gerakan aksi yang kita lakukan," ujarnya.
Dinno menganggap keterlibatan pelajar turun ke jalan sebagai hal yang sah. Ia mengaku kaget karena banyaknya teman-teman pelajar yang ikut turun aksi di berbagai daerah. Kepada VIVAnews, Dinno memastikan, ketika melakukan rapat evaluasi akbar pada tanggal 22 September di Trisakti tak ada pembicaraan soal melibatkan anak STM.
"Rapat itu melibatkan berbagai kampus di Jakarta. Konsolidasi itu dilakukan untuk evaluasi dari gerakan 19 September. Konsolidasi itu juga menyamakan grand issue dengan beberapa kampus-kampus pada gerakan sebelumnya yang tidak hadir dalam aksi tanggal 19 September itu. Jadi konsolidasi itu memang untuk mahasiswa saja, bukan untuk pelajar," ujarnya menegaskan.
Mendikbud Muhadjir Effendi mengaku tak melarang aksi para pelajar. Tapi ia sangat mengkhawatirkan anak-anak tersebut diperalat oleh kepentingan tertentu. Menurut Mendikbud, anak-anak tersebut harus dijauhkan dari provokasi yang bisa mengancam keselamatan jiwa mereka.
Ia mengatakan anak-anak tersebut boleh berunjuk rasa atas nama Kebebasan berekspresi. "Setiap orang dijamin kebebasannya berekspresi. Tapi kan ekspresinya harus dilihat dari berbagai aspek termasuk usianya, kemudian apa yang diekspresikan, kemudian risiko konsekuensi," ujarnya.
Ia memilih mengecek lebih dulu aspirasi anak-anak itu. Kalau memang terkait dengan yang dipahami anak-anak dan berasal dari pikiran mereka yang jernih dan tidak punya niat anarkis, termasuk kemungkinan dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain maka hal tersebut sangat diizinkan.
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, mendukung penuh pelajar yang turun ke jalan. Ia merasa heran dan bingung, juga kecewa berat jika pelajar tidak boleh berpendapat, dan menyampaikan aspirasinya di depan umum.
"Coba apa alasannya? Ngawur kalau pelajar tidak diperbolehkan menyampaikan pendapat dan suaranya di depan umum," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 3 Oktober 2019. Baginya, ratusan pelajar turun ke jalan menjadi fenomena yang menarik perhatian.
Ia mencermati motivasi anak-anak tersebut datang dengan berbagai agenda. Ada yang polos, ada yang datang hanya sekadar hura hura, ada juga yang datang dengan semangatnya untuk melampiaskan hobi tawurannya untuk aksi demonstrasi. Ia juga menduga, ada mungkin sebagian di mobilisasi aktor elite dan dijanjikan uang transportasi.
Tapi ia mengaku melihat lebih banyak mereka datang dengan niat murni tanpa bawa embel-embel dan kepentingan apapun, kecuali semangat mereka ingin melihat negara maju ke depannya.
Demo pelajar berujung ricuh di Palmerah
Bagi Pangi, satu hal yang menggerakkan anak-anak itu adalah matinya keadilan di negeri ini. Ia menampik anak-anak tersebut tak paham isu. Anak pelajar sekarang, ujar Pangi, pengetahuan politiknya jangan dianggap rendah. Mereka juga sering memantau kondisi politik, ekonomi dan hukum Indonesia via Twitter, sehingga mereka juga tercerahkan dan bisa melihat realitas dan fenomena politik yang terjadi selama ini.
Pangi menegaskan, jangan tutup ruang gerak pelajar untuk bersuara, dan jangan bungkam suara mereka.
"Biar lah mereka belajar bagaimana cara mencintai negerinya sehingga menjadi kekuatan ekstra parlementer bersama mahasiswa dan anak muda lainnya, yang perlu di ingatkan adalah bagaimana mereka melakukan demontrasi, menyalurkan aspirasi, suara dan kepentingan tanpa harus anarkisme, cukup melarang anarkisme tapi tidak benar kalau menutup akses sehingga mereka tak bisa melakukan aksi protes," ujarnya.
Tak Aman Turun ke Jalan
Adriana Elisabeth sosiolog LIPI mengatakan tak aneh jika mahasiswa turun jalan. Tapi jika pelajar yang melakukannya, itu sebenarnya belum masuk di akal.
"Kalau anak pelajar belum masuk akal juga ikut-ikutan demo terkait politik. Kalau mahasiswa kita percayalah. Kita punya pengalaman ‘98, bahkan mereka jadi korban. Tapi kalau pelajar enggak masuk akal. Pelajar biasanya tawuran, tiba-tiba ikut demo. Ada apa nih? Ya ikut-ikutaan juga kalau lihat dari yang ditangkap kemarin. Mereka ada yang takut, ada yang menangis. Dia belum tahu demo apa, tujuannya apa. Karena belum mengerti, disuruh, mungkin yang menyuruh. Jadi agak tumpang tindih, atau ada banyak motifnya," ujarnya.
Ia menduga jangan-jangan anak-anak yang demonstrasi itu belum paham demokrasi, juga kebebasan berekspresi sebagai bagian dari demokrasi. Tapi menurutnya, demokasi juga ada batasnya, ada limitasinya, jadi jangan disampaikan dengan cara-cara anarkis. "Kalau mau kritik pemerintah harus dengan bahasa-bahasa yang baik," ujarnya. Elisabeth menekankan pentingnya pendidikan politik di masa depan.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengakui, pada prinsipnya jika ingin menyalurkan pendapat dihargai dalam undang-undang. Tapi sayangnya situasi kemarin adalah situasi yang tak terkendali, unpredictable, dan anak-anak berada dalam kondisi rawan.
Bagi Rita, situasi kemarin bukan situasi yang aman buat anak-anak. KPAI bahkan langsung bekerja sama dengan kepala sekolah se-Jawa Barat dan DKI. Mereka juga mendorong agar anak-anak yang ditahan di kantor polisi segera dipulangkan jika tidak ada indikasi pidana.
Kalau pun ada indikasi pidana, maka KPAI akan melakukan diversi, dan mengawal kasusnya. "Sepertinya sebagian besar sudah dijemput orangtua, karena kan kalau diversi harus dengan orangtua, biar orangtua tahu anaknya ada di mana, dan bertanggung jawab," ujar Rita melalui sambungan telepon kepada VIVAnews.
KPAI juga mendukung langkah Mendikbud yang melarang siswa mengikuti unjuk rasa, dan koordinasi dengan Kemendikbud, Dinas Provinsi, rumah sakit dan Dinas Kesehatan sudah dilakukan sejak awal.
Dari sisi hukum, menurut Rita seharusnya tidak ada pelibatan anak-anak dalam situasi politik. "Sebenarnya batas umurnya sampai 18, kalau secara umum. Nanti kalau ada apa-apa hukumnya juga merujuk UU PA, pakai sistem pidana perlindungan anak.
Tapi kalau usianya udah enggak anak ya enggak bisa, sudah di luar kewenangan KPAI. Nah prinsipnya menyampaikan pendapat itu dibolehkan melalui forum-forum. Jadi belajar demokrasi di kelas saja, supaya tidak membahayakan mereka," ujarnya.
Rita tak setuju bahwa situasi politik sekarang ini adalah situasi darurat di mana semua elemen masyarakat diharapkan turun ke jalan, apalagi sampai melibatkan anak-anak pelajar.
"Kalau pun ingin berkontribusi bisa membantu dalam aspek yang lain mempelajarinya. Kalau situasi yang dulu kan situasi darurat, kalau ini menurut saya tidak segenting seperti situasi di masa lalu. Dan selain itu ada perubahan norma juga dalam konteks perlindungan anak, itu juga harus dijelaskan," tuturnya.
Menurut Rita, KPAI lebih menyarankan pelajar membuat forum-forum tanpa harus turun ke jalan. Jadi misalnya kalau mau tahu undang-undang apa, ya sudah, pelajari undang-undang itu, kemudian disampaikan ke DPR secara tertulis. Bisa disampaikan melalui media juga. Bisa bikin video, dan itu lebih memungkinkan dibandingkan harus turun ke jalan.
Menurut KPAI membuat forum dan video lebih aman dan elegan. Sebab turun berdemonstrasi ke jalan memiliki risiko fisik. (ren)
Baca Juga