Demonstrasi, Dulu dan Kini
- VIVAnews/Nur Faishal
VIVA – Aksi mahasiswa dan pelajar selama sepekan terakhir terus bergulir. Tak kenal keluh, mereka terus berpeluh.
Akmal diam sejenak, matanya begitu serius menatap perangkat ponsel pintar miliknya. Sebagai mahasiswa baru di sebuah kampus negeri di kota Solo, Jawa Tengah, ia tergerak untuk ikut beraksi, berdemonstrasi menggunakan jaket almamater dan berada dalam barisan yang menyuarakan kebenaran.
Seliweran meme, ajakan, dan imbauan untuk maba (mahasiswa baru) sepertinya begitu menggoda, sayang untuk dilewatkan. Ia lalu memberanikan diri mengontak orangtuanya di Bogor. Melalui ponsel, ia sampaikan keinginan turun ke jalan. Ia capture aneka ajakan serta imbauan, dan minta diizinkan.
Gagdet memudahkan. Akmal menggunakan perangkat itu dengan maksimal. Sejak bersiap untuk ikut aksi demonstrasi, hingga mendokumentasikan setiap kegiatan.
Termasuk merekam saat senior-senior kampus melakukan orasi, meneriakkan yel-yel, dan menyampaikan tuntutan. Penuh gairah ia mengikuti rangkaian aksi. Bahkan bersyukur bisa menjadi bagian.
"Belum tentu terulang lagi kayak gini. Makanya ikut terjun," ujar mahasiswa berusia 18 tahun itu kepada VIVAnews.
Selasa, 23 September 2019, aksi mahasiswa turun ke jalan terjadi serentak di Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta, Makassar, Bukittinggi, Malang, dan Bandung. Di Yogyakarta, tagar #GejayanMemanggil sangat ampuh menggerakkan hati mahasiswa di kota tersebut. Nyaris 10.000 mahasiswa memenuhi sekitar Jalan Gejayan yang kini menjadi Jalan Affandi.
Di Jakarta, aksi mahasiswa terkonsentrasi di depan Gedung DPR RI. Nyaris seluruh ruas jalan di sekitar gedung parlemen macet total. Seluruh mahasiswa yang melakukan aksi hari itu menyasar satu lokasi, gedung DPRD di kota masing-masing.
Isu yang mereka usung juga sama. Mereka meminta pemerintah membatalkan revisi Undang Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena berpotensi memandulkan KPK yang selama ini berjalan sebagai lembaga independen. Mereka juga meminta DPR membatalkan revisi UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), karena memuat pasal-pasal yang mencampuri urusan privat terlalu jauh.
Mahasiswa juga meminta agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan, karena RUU itu akan melindungi seluruh korban perkosaan atau kekerasan seksual.
Demonstrasi kali ini sedikit berbeda. Sebab, untuk pertama kalinya mahasiswa tak mengusung isu ekonomi. Tak ada isu turunkan harga, anti-investasi asing, atau protes karena harga bahan bakar minyak (BBM) yang meroket.
Isu mahasiswa pada 2019 itu berbeda dengan kakak-kakak seniornya saat berdemonstrasi pada 1966, 1974, bahkan tahun 1998.
Selain isu yang berbeda, mereka juga dengan canggih menggunakan perangkat teknologi untuk berkoordinasi dan mengatur strategi. Anak-anak muda itu juga lebih santai menghadapi demonstrasi.
Mereka memilih untuk mengkritik dengan menggunakan kalimat-kalimat yang lucu dan nakal, khas jiwa muda. Tapi, isi pesan yang disampaikan tetap serius.
Pada Jumat, 27 September 2019, sudah lebih dari sepekan mereka terus turun ke jalan. Seolah tak habis energi, silih berganti mahasiswa di berbagai wilayah negeri turun ke jalan berdemonstrasi.
Menuntut pemerintah dan DPR lebih peduli, mendengarkan nurani, serta membuat peraturan yang bisa dipahami dan tak mencampuri urusan pribadi.
Beda Perjuangan, Beda Tuntutan
Sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, ada tiga demonstrasi besar yang digerakkan oleh mahasiswa dan berhasil mencatat sejarah besar. Pertama adalah pada 1966. Lalu, pada 1974 dan terakhir tahun 1998.
Masing-masing demonstrasi memiliki ciri khas sendiri, sesuai dengan zaman dan kondisi sosial politik saat itu.
Aksi demonstrasi yang terjadi pada 1966 dipicu oleh situasi politik yang memanas setelah terjadi pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat dalam kasus yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Pembunuhan sadis itu membuat tuntutan agar Partai Komunis Indonesia dibubarkan jadi menguat. Sayangnya pemerintah tak segera mengambil tindakan.
PKI masih dibiarkan, dan situasi politik yang tak menentu melambungkan harga BBM. Dampaknya, harga kebutuhan pokok ikut melambung tinggi.
Warga harus antre hanya untuk mendapatkan minyak tanah dan kebutuhan pokok rumah tangga. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, perekonomian makin memburuk dengan inflasi mencapai 600 persen. Upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga barang yang menggila menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Pada 25 Oktober 1965, sejumlah mahasiswa dari organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakaan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), Sekretariat Bersama Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL), dan beberapa organisasi lain bergabung.
Mereka melebur dalam wadah baru Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Sejak pembentukan KAMI, aksi mahasiswa berlangsung nyaris tanpa henti.
Aksi mahasiswa pada 1966 terkenal dengan jargon Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Ada tiga hal yang mereka jadikan isu, yaitu Bubarkan Partai Komunis Indonesia, Bubarkan Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga Barang.
Pada 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam reshuffle tersebut, para simpatisan PKI masih dijadikan menteri oleh Soekarno. Perubahan itu malah meningkatkan eskalasi gerakan mahasiswa.
Acara pelantikan menteri-menteri baru diboikot mahasiswa. Dalam demonstrasi pada 24 Februari 1966, Arif Rahman Hakim tewas tertembak oleh pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Soekarno. Pada 25 Februari 1966, KAMI dibubarkan, tapi pembubaran itu membuat mahasiswa makin menguat perlawanannya menuntut Tri Tuntutan Rakyat.
Aksi ini terus dilakukan hingga akhirnya Soeharto mengaku menerima mandat dari Presiden Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret (Super Semar). Melalui surat itu, Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat mengaku mendapat mandat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dengan mandat itu, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia. Aksi mahasiswa yang didukung oleh berbagai elemen termasuk grass roots mencatat, era Soekarno beralih ke Soeharto. Peralihan itu terkenal dengan tumbangnya Orde Lama, berganti menjadi Orde Baru.
Pada 1974, mahasiswa kembali turun ke jalan. Meninggalkan bangku kuliah dan bergerak bersama. Situasi sosial politik rupanya tak segera pulih meski presiden telah berganti.
Mahasiswa menganggap arah ekonomi Soeharto terlalu pro-asing. Meski investasi Indonesia saat itu didominasi Amerika Serikat, tapi Jepang lebih tampak. Saat itu, pada 15 Januari 1974, berbarengan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuie Tanaka.
Jusuf Wanandi, dalam bukunya “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998” (2014), menulis aksi itu dimulai dengan apel bersama mahasiswa dan pelajar di halaman kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta. Ribuan demonstran itu lalu bergerak berjalan kaki menuju Kampus Universitas Trisakti dan lanjut ke Istana Negara melalui Jalan M.H. Thamrin.
Di depan Istana, mahasiswa membakar patung PM Jepang. Demonstrasi yang semula damai lalu pecah menjadi kerusuhan.
Di sekitar wilayah Pasar Senen terjadi pembakaran gedung dan kendaraan yang berbau Jepang. Sementara itu, di depan Istana terjadi kerusuhan ketika polisi menembakkan peluru kepada demonstran.
Kerusuhan itu menyebabkan 11 orang tewas, lebih dari 600 mobil hangus, bangunan baru Pasar Senen yang memiliki investasi lebih dari Rp2 miliar hangus total. Sebagian toko di sekitarnya rusak, korban luka berat dan ringan lebih dari 100 orang.
Peristiwa 15 Januari 1974 itu kemudian terkenal dengan sebutan Malari atau Malapetaka Lima Belas Januari.
Mahasiswa curiga aksi mereka ditunggangi. Sebab, aksi yang mereka lakukan hanya di sekitar Salemba, Thamrin, Grogol, dan Istana Negara. Tak ada yang sampai ke sekitar Pasar Senen.
Lalu, siapa yang melakukan pembakaran dan anarkisme di sana. Apalagi kemudian, penguasa menjadikan aksi anarkisme itu sebagai alasan untuk membungkam gerakan mahasiswa dengan mengeluarkan aturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Pada 1998, unjuk rasa mahasiswa dalam skala besar terjadi sejak awal Mei tahun itu. Terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI, setelah berkuasa selama 32 tahun, mulai memunculkan penolakan.
Krisis moneter membuat ekonomi negeri ini terpuruk hingga titik terendah. Nilai tukar rupiah melemah tajam terhadap dolar AS, akibatnya harga barang juga melonjak membuat rakyat menjerit.
Awalnya, aksi demonstrasi sporadis saat itu berlangsung di kampus masing-masing. Namun, menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), aksi mulai cair. Jumlah mahasiswa yang berdemonstrasi makin bertambah.
Tuntutannya, turunkan harga, pemerintahan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), hapuskan dwifungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah, dan menegakkan supremasi hukum.
Situasi mulai genting ketika aksi damai mahasiswa Universitas Trisakti yang dilakukan di dalam kampus pada 10 Mei 1998 pecah menjadi kepanikan. Polisi bertindak represif ketika mahasiswa berjalan ke luar kampus.
Tembakan yang tak ketahuan berasal dari mana, mengarah ke kerumunan mahasiswa. Empat orang tewas tertembak peluru tajam.
Ribuan lainnya shock dan berduka. Mereka yang tewas adalah Hafidin Royan, Elang Mulya Lesmana, Heri Hertanto, dan Hendriawan. Keempatnya adalah mahasiswa Trisakti.
Aksi massa pecah pada 12-13 Mei 1998. Isu sentimen asing kembali terdengar. Jika pada 1974 Jepang menjadi sasaran, tahun 1998 China yang menjadi luapan.
Aksi pembakaran, penjarahan, hingga perkosaan mewarnai kerusuhan. Jakarta mencekam. Asap hitam mengepul dari berbagai penjuru, transportasi publik lumpuh, dan seluruh aktivitas sosial berhenti. Eksodus warga keturunan terjadi hingga sepekan setelah kerusuhan.
Mahasiswa tak berhenti. Kematian rekan sejalan menjadi amunisi baru. Serentak mereka keluar dari kampus masing-masing. Gedung DPR RI dikuasai. Situasi politik makin meruncing. Satu per satu menteri meninggalkan Soeharto sendiri.
Puncaknya 21 Mei 1998, dari Istana Negara, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Mahasiswa bersorak, masyarakat berteriak, sujud syukur, dan saling berpelukan. Agenda mahasiswa dan rakyat menumbangkan Soeharto dan Orde Baru tercapai sudah.
Beda Masa, Beda Gaya
Di era generasi Z, aksi demonstrasi memang berbeda. Generasi yang terkenal dengan sikapnya yang lebih rileks dan santai ini memunculkan poster-poster penuh humoris namun sarat kritik.
Mereka muncul dengan pesan sosial dan kalimat lucu. Meski isu yang diusung lebih berat, tapi mereka mengaitkannya dengan keseharian yang mereka hadapi.
Pegiat sosial yang juga aktivis 98, Savic Ali, mengakui ada perbedaan mendasar antara gerakan mahasiswa dari tahun 1966 hingga 2019. Menurutnya, isu mahasiswa pada 2019 sangat intelektual.
Isunya sulit dipahami oleh masyarakat yang tidak terdidik atau kelas bawah. "Sebab isunya terkait UU KPK, RUU KUHP, isu pelemahan demokrasi. Bisa jadi sampai sekarang pun masih banyak kelas bawah yang belum paham dengan isu itu," ujarnya kepada VIVAnews.
Savic mengatakan, kondisi ini sangat berbeda dengan demonstrasi mahasiswa sebelumnya. Saat itu, isu yang diusung adalah soal harga bahan pokok yang melonjak dan kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat.
Pada 1998, isu bertambah karena ada akumulasi kemarahan terhadap kekuasaan yang sudah terlalu lama. Lebih dari 30 tahun Soeharto berkuasa, dan kekuasaannya dilakukan dengan represif.
"Kalau 98 hampir semua orang sangat paham kenapa harus bergerak, karena isunya terkait dengan krisis ekonomi. Hampir di setiap gang-gang kecil, kampung-kampung, semua ibu rumah tangga itu sudah mengeluh," ujar dia.
Jadi, menurut dia, gabungan kesadaran antara kelas menengah yang merasa kekuasaan represif Soeharto sudah terlalu lama, bertemu dengan kenyataan hidup masyarakat yang saat itu dalam kesulitan.
Menurutnya, kondisi sekarang tidak sama. Gerakan mahasiswa sekarang ini menjadi aksi yang didasari kesadaran politik untuk masa depan. Dari pola komunikasi juga sangat berbeda.
Zaman dulu belum ada handphone, media sosial, belum ada portal online. Penyebaran informasi sangat terbatas. Komunikasi terjadi karena pertemanan, pertemuan langsung. Pada 1990-an sudah ada pager, tapi tak semua mahasiswa punya.
"Jadi memang gerakan dulu itu dibangun karena kesadaran yang sama atas represi yang dilakukan oleh Orde Baru. Jadi semacam akumulasi kemarahan yang terjadi puluhan tahun," kata Savic.
Gerakan dulu itu, dia melanjutkan, memang dilakukan oleh komunitas-komunitas pergerakan yang memang sudah lama melakukan upaya-upaya atau mengkritisi atau menentang kebijakan tersebut.
Mahasiswa sekarang, menurut Savic, lebih paham dengan peristiwa dan isu yang berkembang di media. Jika mahasiswa dulu memahami peristiwa hanya dari berlangganan koran, dan tak semua berlangganan, maka mahasiswa sekarang punya akses luas ke sumber informasi, terutama media online.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, juga mengakui perbedaan besar pola gerakan mahasiswa 2019 dengan kakak-kakaknya terdahulu. Saat ini, isu yang diusung mahasiswa banyak dan terkait dengan undang-undang. Dan yang menjadi trigger-nya adalah UU KPK.
Pola gerakan mahasiswa sekarang, menurut Hendri, juga sangat modern karena mampu memaksimalkan penggunaan gawai dan teknologi lainnya. Penyebaran informasi dan koordinasi terjadi dengan cepat karena memaksimalkan fitur percakapan melalui media sosial.
Hendri juga mengakui bagaimana mahasiswa sekarang lebih mudah berkoordinasi. Dulu, ujarnya, banyak pembagian tugas setiap menjelang aksi.
Tapi sekarang ini, dia melanjutkan, “Kalau mahasiswa mau jalan, ya jalan saja”. Instruksinya hanya melalui WhatsApp group. Bahkan ketika di gedung DPR RI dilakukan jumper, mereka tetap bergerak.
Hendri membenarkan isu yang diusung mahasiswa sekarang adalah isu intelektual. Isu sebelumnya selalu masalah ekonomi. Tapi isu gerakan mahasiswa sekarang masih idealismenya mahasiswa. Belum menyentuh isunya emak-emak.
"Dompetnya emak-emak hari ini belum tersentuh dengan kondisi ekonomi sekarang. Jadi ekonomi yang bisa menggerakkan the power of emak-emak. Meskipun tidak bagus-bagus amat, tapi masih bisa dimaklumi oleh mereka," ujar Hendri kepada VIVAnews.
Hendri justru prihatin karena ada beberapa kampus yang mengeluarkan peraturan yang berlebihan dengan mencegah mahasiswa untuk ikut ke jalan. Ia menduga, sejumlah rektor menolak menurunkan mahasiswanya, karena saat ini Presiden Joko Widodo masih sibut mengutak-atik posisi kabinet.
"Mungkin sebagai rektor merasa bahwa dirinya berkesempatan untuk menjadi menteri Jokowi ya?" ujarnya. (art)