Produk Nasional Rasa Kolonial
- VIVA/Rifki
VIVA – Puluhan orang duduk berjejer memenuhi salah satu ruangan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Mereka tampak berjejal memenuhi ruangan seluas lapangan bulutangkis.
Banyak yang terpaksa berdiri karena tak kebagian kursi. Puluhan pasang mata serempak menatap ke layar, menyimak presentasi yang disampaikan pemateri.
Pagi itu, Selasa 3 September 2019, Komnas HAM menggelar diskusi soal Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Diskusi itu digelar sebagai respons terkait rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU tersebut pada 24 September 2019.
“Saya berharap pengesahan RUU ini ditunda karena masih banyak yang harus diperbaiki,” ujar Mohammad Choirul Anam, komisioner Komnas HAM yang menjadi pemantik diskusi.
Menurut dia, masih banyak pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi melanggar HAM. Seperti pasal terkait hukuman mati, kebebasan berekspresi dan demokrasi juga terkait kesusilaan yang dinilai terlalu masuk ke ranah pribadi.
Hal senada disampaikan Asfinawati. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini mengatakan, banyak pasal yang multitafsir, sehingga rentan diselewengkan. Selain itu, banyak pasal yang mengancam kebebasan sipil dan kemerdekaan pers.
“RUU KUHP ini cita rasa kolonial yang dibuat oleh bangsa sendiri,” ujarnya di tempat yang sama.
Penghinaan Presiden
Asfin, sapaan Asfinawati, mengatakan, meski sudah disusun dan dibahas sejak lama, RUU KUHP masih menyisakan banyak celah. “Ini masih jauh dari untuk disahkan. Masih banyak pasal-pasal bermasalah, dan kalau sekarang dipaksakan maka sebetulnya ini adalah KUHP kolonial buatan bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia,” ujarnya usai diskusi.
Salah satu pasal yang ia kritik adalah soal living law atau hukum adat atau hukum yang hidup di masyarakat. Menurut dia, aturan mengenai living law ini sangat rancu dan berpotensi menyasar siapa saja.
Indonesia, dia melanjutkan, sangat luas dengan adat yang beragam. Ia khawatir nanti akan ada orang yang dipidana tapi dia tidak tahu pelanggaran apa yang dilakukan.
Asfin juga mengkritik pasal terkait tindak pidana khusus dan pasal-pasal yang mengatur moralitas subjektif. Ia juga menyoroti pasal penghinaan kepada presiden yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut dia, RUU KUHP melihat presiden sebagai individu bukan kelembagaan yang memang harus dikritik.
Pakar Hukum Pidana, Ahmad Sofian mengilustrasikan, RUU KUHP seperti orang yang ingin pindah dari rumah kontrakan ke rumah baru. KUHP lama ia ibaratkan rumah kontrakan. Tapi masalahnya, rumah baru (RUU KUHP) yang akan menjadi lokasi pindah kondisi atapnya masih banyak yang bocor.
“Kita punya semangat ingin pindah dari rumah kontrakan ke rumah baru. Tapi ketika ingin pindah seperti itu kondisinya, kalau hujan datang karena atap rumah kita masih bocor, kita masih kena hujan. Lebih baik kita kembali saja ke rumah kontrakan yang lama,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 6 September 2019.
Menurut dia, masih banyak pasal yang bermasalah dan menjadi perdebatan. Salah satunya soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
“Itu kan sudah dibatalkan MK. Itu artinya pasal yang sudah dikubur, sudah mati yang dianggap bertentangan dengan konstitusi,” ujar doktor lulusan Universitas Indonesia itu.
Berbeda dengan Asfin dan Ahmad Sofian, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, mengatakan, pasal penghinaan presiden sudah ada sejak lama di draf RUU KUHP. “Saya tegaskan, ini bukan dihidupkan lagi, tapi memang ini dari tahun 1991 itu sudah ada,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 5 September 2019.
Menurut dia, pemerintah selalu beralasan kepala negara asing saja tidak boleh dihina di Indonesia, apalagi menghina presiden kita sendiri. Namun ia menilai, konsep kepala negara yang dimaksud dalam RUU KUHP bias.
“Problemnya Presiden kita punya dua fungsi, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara dia jelas sebagai simbol negara, tapi dalam tindakan presiden sebagai kepala negara itu kan terbatas,” dia menambahkan.
“Kalau dalam UUD, presiden sebagai kepala negara itu mempunyai tindakan terbatas, pemberian grasi, mengumumkan keadaan bahaya, memberikan amnesti, rehabilitasi dan memberikan tanda jasa,” Anggara menjelaskan.
Anggota Panitia Kerja RUU KUHP Taufiqulhadi mengatakan, dalam menyusun pasal soal penghinaan presiden semangatnya adalah melindungi jabatan presiden agar jangan sampai harga diri seorang kepala negara dilecehkan. Menurut dia, pasal terkait penghinaan kepala negara lebih banyak terkait dengan penghinaan ke pribadi, bukan kritik terhadap kinerja kepala negara.
“Misalnya mengatakan presiden itu PKI yang tidak ada hubungannya dengan kinerja. Kalau seperti itu ya tidak boleh lah saya kira,” ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 3 September 2019.
“Kalau perlindungan ini di negara mana pun ada, di Amerika juga ada. Cuma kekurangannya hak bersuara kita yang sifatnya kritik itu dianggap penghinaan. Ini yang harus diatur,” ujar anggota Panja RUU KUHP yang lain, Desmond Mahesa.
Mengatur Urusan Pribadi
RUU KUHP juga dinilai terlalu mengatur wilayah privat warga negara. Salah satunya pasal-pasal yang mengatur soal kesusilaan.
Anggara mencontohkan soal pasal perzinaan. Menurut dia, konsep moral dalam RUU KUHP tak jelas yang mau dilindungi moral atau keluarga. “Kalau masalah moral antara satu daerah dengan daerah lain moralnya beda,” ujarnya.
Menurut dia, kalau KUHP yang sekarang ini bukan moral yang dilindungi, tapi lebih pada keutuhan keluarga. Jadi orang yang sudah punya pasangan yang resmi tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan resminya.
“Jadi siapa yang berhak maju ya keluarga, bukan yang lain. Tapi kalau di dalam RUU KUHP yang dilindungi moralitas. Padahal itu berbahaya,” Anggara menambahkan.
Tim Perumus RUU KUHP yang dihubungi VIVAnews enggan berkomentar banyak. Salah satu anggota Tim Perumus Harkristuti Harkrisnowo hanya menjawab singkat bahwa sesuai target, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengupayakan pengesahan KUHP baru dari RKUHP selambat-lambatnya akhir September 2019.
"DPR dan pemerintah berharap akhir September RUU KUHP disahkan," ujar Tuti.
Sementara itu, terkait sejumlah pasal yang dinilai bermasalah seperti pasal yang dinilai mengatur wilayah pribadi, yaitu pasal-pasal tentang perzinahan dan kumpul kebo, Tuti menyampaikan ada proses yang dilalui sebelum pasal resmi dicantumkan dalam RUU KUHP. "Pasal-pasal yang jadi perhatian publik sebagian tetap, sebagian direformulasi, sebagian akan diputuskan di pleno," ujarnya melalui pesan singkat.
Terkait pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan pemerintahan yang sah, sifatnya akan berubah menjadi delik aduan. Hal itu membuat penghinaan terhadap negara nantinya diproses seperti halnya penghinaan yang sifatnya umum. "(Pasal) penghinaan presiden menjadi delik aduan," tuturnya.
Sementara itu, Muladi, anggota Tim Perumus yang lain hanya menjawab singkat saat dihubungi via telepon. "Aku lagi libur Mas," ujarnya dan langsung menutup telepon.
Kemerdekaan Pers
Selain kebebasan ekspresi dan demokrasi, RUU KUHP juga dinilai mengancam kebebasan pers. Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan, sedikitnya ada tiga masalah dalam RUU KUHP yang mengancam kemerdekaan pers. “Pertama soal penghinaan, contempt of court dan terkait dengan berita bohong,” ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 3 September 2019.
Menurut Ade, penghinaan dalam RUU KUHP ada macam-macam. Ada penghinaan presiden, penghinaan penguasa, penghinaan yang sudah meninggal. Pasal ini dinilai bermasalah karena sangat subjektif dan multitafsir.
“Sehingga penerapannya sangat multitafsir. Dan ini sering kali menjerat orang-orang yang kritis,” dia menambahkan.
Pasal penghinaan terhadap peradilan juga mengancam kebebasan pers. Sebab, aturan itu akan membatasi kerja-kerja wartawan. Selain itu, pasal ini bisa dipakai untuk memidanakan wartawan jika karya jurnalistiknya dianggap memengaruhi independensi majelis hakim.
“Kalimat dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim ini subjektif sekali. Kalau misalkan tiba-tiba ada kasus yang dimensi publiknya besar. Kemudian ada yang merekam di depan, itu dianggap menyudutkan si hakim itu bisa saja dijerat pasal ini,” dia menjelaskan.
Sementara itu, terkait berita bohong juga bias. Menurut dia, berita bohong atau hoaks memang harus dilawan.
Namun, tidak diatur dengan cara yang sangat fleksibel dan multitafsir. Karena dalam pasal ini ada kalimat barangsiapa menyiarkan berita tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat.
“Catatannya adalah yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat. Siapa yang menilai keonaran itu,” ujarnya.
“Definisi dari keonaran di masyarakat itu diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. Itu yang kemudian sangat sempit banget.”
Taufiqulhadi membantah DPR akan membatasi kebebasan pers. Mantan jurnalis ini mengatakan, KUHP tidak boleh mengganggu konsolidasi demokrasi. KUHP juga tidak boleh menekan kebebasan pers.
“Kita membuat undang-undang ini untuk mendukung itu, mendukung demokrasi, mendukung ketertiban di Indonesia. Karena faktor-faktor itu menurut saya insan pers tidak perlu khawatir bahwa KUHP ini akan berpengaruh pada kebebasan pers dan kebebasan untuk berekspresi,” tuturnya.
Menurut dia, sepanjang menyangkut soal pers maka akan diselesaikan lewat mekanisme UU Pers. Namun, ketika pers digunakan untuk menyerang orang lain, maka itu beda konteks.
“Kalau dalam UU Pers itu kan jelas. Misalnya ada orang yang tidak terima atau tidak puas dengan penulisan berita, maka ada mekanisme hak jawab atau meminta diralat dari media yang bersangkutan," kata dia.
"Tetapi kalau misalnya dia tidak puas lagi, karena itu telah merusak dia, maka dia akan bawa ke ranah hukum. Nah, ketika dibawa ke ranah hukum itu, kan tidak semuanya bisa dibawa ke ranah hukum, apa yang bisa? Di situ lah kita selesaikan, jadi tidak semuanya bisa dimasukkan ke ranah hukum,” dia menjelaskan.
Menurut dia, sengketa pers itu tidak selalu pidana. Sengketa pers tetap hukumnya perdata tidak bisa dibawa ke pidana.
Misalnya, pemberitaan yang berkaitan dengan perusahaan, dan ingin diselesaikan melalui Dewan Pers, maka sengketa pers dan itu masuk dalam ranah perdata. Tetapi, kalau yang dimaksudkan adalah pemberitaan tersebut dapat menghancurkan seseorang dan tidak sesuai dengan data dan fakta yang ada, maka dia akan masuk pidana.
“Itu pun dengan delik aduan,” ujarnya.
Jalan Panjang RUU KUHP
Anggara menuturkan, rencana revisi UU KUHP sebenarnya sudah ada sejak lama. Menurut dia, setelah Indonesia merdeka, sejumlah aturan yang diterapkan merupakan warisan kolonial Belanda. Salah satunya KUHP.
Aturan ini kemudian dinasionalisasi lewat UU Nomor 1 Tahun 1946. “Jadi perlu saya luruskan. Sebenarnya KUHP kita yang sekarang itu sudah tidak lagi memiliki elemen-elemen kolonial,” ujarnya.
“Artinya kredo pembahasan RUU KUHP berbicara dekolonialisasi itu sudah tidak relevan, karena sudah hilang elemen-elemen kolonialisasi itu sejak diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 1946,” dia menambahkan.
Dalam perjalanan sejarah, Indonesia sudah melakukan 16 kali revisi KUHP yang saat ini digunakan. Artinya, sebagian pasal-pasal yang ada di KUHP sudah hilang.
Pada masa pascapengakuan kedaulatan tahun 1949, Indonesia masuk fase demokrasi liberal, ditandai dengan perumusan UUD baru lewat Pemilu 1955 sampai pembentukan konstituante. “Nah, di masa itu belum ada pembahasan soal kita perlu hukum baru untuk menggantikan hukum kolonial. Baru ada itu ketika masuk fase orde lama dengan demokrasi terpimpin,” Anggara menjelaskan.
Para ahli hukum yang rata-rata dibesarkan ketika masa revolusi kemerdekaan kemudian membuat seminar hukum nasional. Hasil seminar itu salah satunya adalah menyatakan adanya kebutuhan pengaturan hukum baru untuk menggantikan hukum kolonial.
“Jadi baru ada ide pergantian hukum kolonial ke hukum baru itu di tahun 1960an, di masa demokrasi terpimpin,” ujarnya.
Namun, dari tahun 1963 hingga 1980an baru sekadar diskusi, belum ada format RKUHP. Dan baru ada pada 1991.
“Jadi kalau banyak ahli mengatakan kita sudah mendiskusikan itu sejak tahun 1960, itu keliru. RKUHP baru ada di tahun 1991,” tutur Anggara.
“Waktu itu ketua tim draftingnya Prof. Marjono. Itu lah yang diserahkan ke menteri kehakiman di tahun 1991. Tapi draf itu tidak pernah dibahas oleh pemerintah dan DPR. Baru mulai muncul lagi di diskusi-diskusi tentang RUU KUHP itu di tahun 2005,” kata dia.
Draf yang pernah dibuat pada 1991 itu tidak pernah berubah, dan sama sekali tidak direevaluasi, apakah masih relevan dengan kehidupan sekarang atau tidak, itu tidak ada. Jadi, kalaupun ada tim yang dibentuk sejak 2005 itu bukan untuk mengubah, hanya untuk menambahkan.
“Jadi, draf yang saat ini dibahas itu rohnya sudah ada dari tahun 1991. Jadi kalau kita bicara politik hukum, draf revisi UU ini dibuat adalah politik hukum otoriter sebetulnya. Karena situasi politik dan hukum di tahun 1991 itu kan kita mengalami pemerintahan otoriter,” ujarnya.
Kejar Tayang
Meski banjir kritik dan protes, Panja keukeuh akan mengesahkan RUU KUHP pada bulan ini. Alasannya, jika tidak disahkan sekarang, akan terancam molor lagi.
Sebab, DPR periode depan akan mulai dari nol lagi. Taufiqulhadi mengatakan, carry over itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Begitu di-carry over mulai dari nol lagi.
“Hanya di periode ini lah yang berhasil menuntaskan semuanya, sebelumnya kan sudah di-carry over,” ujarnya.
Menurut anggota dewan asal Partai NasDem ini, saat ini situasinya sangat kondusif karena ada perspektif dan kesadaran yang sama untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP yang selama ini tidak pernah selesai.
“Kalau itu carry over, saya yakin momentum itu yang akan datang tidak ada lagi. Jadi itu yang harus dipahami, karena ini momentumnya,” dia beralasan.
Ia mengatakan, jika ada pasal-pasal yang dianggap belum sempurna ada kesempatan untuk diperbaiki dengan melakukan judicial review di MK. Meski demikian, Panja akan berusaha memperbaiki pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam sisa waktu yang ada.
Sementara itu, menurut Nasir Jamil, anggota Panja RUU KUHP yang lain, paripurna DPR membolehkan adanya carry over dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Sekarang ada penambahan pasal di dalam UU itu, di mana DPR bisa mengoper, memberikan, melanjutkan yang belum selesai kepada DPR berikutnya. Nanti, DPR berikutnya akan menelaah, kemudian mereka mengambil keputusan apakah harus diulang dari awal lagi atau lanjut,” ujarnya.
Menurut dia, ini membuka harapan bagi sebagian publik yang tidak ingin RUU KUHP disahkan dalam periode ini. Namun, DPR periode ini, pimpinan komisi dan pimpinan DPR punya keinginan agar RUU KUHP diselesaikan di periode ini agar ada legacy.
“Jadi ada semacam kebanggaan bahwa periode ini telah berhasil menyelesaikan RUU KUHP,” tuturnya.
Pihak-pihak yang merasa ini tidak sejalan dengan konstitusi atau HAM bisa menindaklanjuti ini lewat jalur hukum seperti MK atau bisa saja dilakukan revisi terbatas. “Jadi nggak sakral lagi sebenarnya rancangan UU KUHP ini. Artinya kalau memang demi kepentingan bangsa dan negara bisa saja direvisi terbatas lagi, perubahannya sangat terbatas,” kata dia.
Ahmad Sofian mengkritik pernyataan Taufiqulhadi dan Nasir Jamil. Ahmad Sofian menilai, pernyataan tersebut ngawur. Secara hukum, masyarakat memang bisa mengajukan judicial review atas UU atau pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi di MK. Tapi, seharusnya cara berpikir anggota dewan dan pemerintah tidak seperti itu.
“Harusnya cara berpikirnya itu Anda buat dengan sebaik mungkin agar tidak di-judicial review. Kan ngawur itu, artinya dia sendiri paham bahwa masih ada banyak persoalan di pasal-pasal itu, lalu dia melepaskan tanggung jawabnya sebagai pembuat UU, dengan sederhana mengatakan silahkan uji ke MK melalui mekanisme JR,” ujarnya.
“Saya pikir itu otaknya kosong dengan cara berpikir seperti itu. Buat apa dia jadi anggota DPR kalau dia menyadari produk yang dibuat itu bobrok”.
Senada, Anggara juga menilai Panja telah menggampangkan dengan mengatakan jika tak setuju atau ada yang keliru bisa dibawa ke MK. Padahal, sebagai anggota DPR, mereka digaji oleh rakyat untuk bekerja melakukan tugas dan kewajibannya yaitu membuat undang-undang.
“Mereka bekerja digaji dari pajak rakyat untuk membahas aturan hukum untuk hajat hidup rakyat. Tapi kenapa giliran mereka kerja nggak benar kita yang disuruh untuk pergi ke MK,” dia menegaskan.
Menurut Anggara, DPR terkesan kejar tayang agar merasa membuat sesuatu yang bisa diwariskan dan dibanggakan. Menurut Anggara, RUU KUHP dipaksakan untuk disahkan karena DPR saat ini ingin menunjukkan anti-asing karena membuat KUHP sendiri, bukan warisan kolonial dan merasa sudah memberikan warisan atau legacy.
“Mereka hanya ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa periode ini telah menyelesaikan perubahan RKUHP yang sempat lama tidak dibahas-bahas,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Ahmad Sofian, DPR ngotot karena RUU KUHP ini menguntungkan rezim yang berkuasa. Karena, dalam RUU KUHP ini banyak sekali pasal yang akan memidanakan orang lain yang bertentangan dengan rezim atau yang menjadi oposisi terhadap rezim.
“Jadi siapa pun rezim yang berkuasa pasti akan senang dengan RKUHP ini. Karena itu mereka akan mengupayakan DPR agar setuju dengan RKUHP ini, dengan proses negosiasi politik. Jadi UU ini bukan menguntungkan kita, tapi akan menguntungkan penguasa," ujarnya.
Anggara, Ade, dan Asfin sepakat agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan tidak perlu dipaksakan untuk disahkan. Namun, jika DPR tetap mengesahkan, mereka sepakat untuk melakukan perlawanan.
“Ya mau nggak mau pada akhirnya harus ada upaya hukum,” ujar Asfin. (art)
Baca Juga