Membungkam Papua
- VIVAnews/Banjir Ambarita
VIVA – Ulang tahun RI ke 74 yang sejatinya menunjukkan kematangan usia ternyata tak berlangsung damai. Bumi Papua bergolak, menggeliat murka melepas amarah.
Pemasangan bendera merah putih yang biasa dilakukan menjelang perayaan HUT RI di berbagai wilayah, menjadi pemantik kemarahan warga Papua. Sebuah tiang bendera yang roboh dan membuat bendera merah putih jatuh ke selokan persis di depan asrama mahasiswa Papua di jalan Kalasan, Surabaya, menjadi alasan bagi sejumlah ormas, polisi dan tentara untuk mengepung asrama.
Mahasiswa Papua memilih tak keluar, mereka bertahan di dalam asrama sejak Sabtu sore 17 Agustus, hingga Minggu dini hari, 18 Agustus 2019. Kegigihan mahasiswa Papua bertahan di dalam asrama dibayar polisi dengan penyerbuan dan tembakan gas air mata ke dalam asrama. 43 mahasiswa diangkut. Belakangan mereka dibebaskan kembali. Tak ada bukti mereka mematahkan tiang bendera dan membuang bendera ke selokan.
Pengepungan selama berjam-jam itu ternyata terekam. Video pengepungan beredar luas melalui fitur pengantar pesan dan media sosial. Massa yang marah berteriak-teriak di depan asrama. Makian dan umpatan terdengar, nama-nama hewan juga diteriakkan. Tak hanya massa ormas, aparat Kepolisian juga tampak dalam video tersebut. Video lalu meluas dan terkirim hingga tanah Papua.
Sehari sebelumnya, di Malang, mahasiswa Papua juga bentrok dengan warga dan supporter sepak bola. Mahasiswa yang sedang merayakan penandatanganan Perjanjian New York dan sedang berjalan kaki menuju balai kota Malang diadang warga. Massa terlibat bentrokan dengan warga dan kemudian dengan supporter sepak bola. Aksi pengadangan di Malang dan pengepungan di Surabaya beredar luas.
Senin pagi, 19 Agustus 2019, Papua dan Papua Barat bergolak. Manokwari adalah kota pertama pecahnya demonstrasi. Sejak pagi warga sudah turun ke jalan. Mereka menutup akses jalan utama dan berkerumun di berbagai tempat. Hari itu kota Manokwari lumpuh, tak ada kegiatan kecuali kerumunan massa di mana-mana. Mulai pagi hingga siang hari kerusuhan meluas. Sorong dan Fakfak menyusul. Bandara Domine Eduard Osok di Sorong sempat menjadi sasaran penyerangan. Meski sempat menghentikan layanan, namun bandara dapat segera beroperasi kembali. Lalu satu per satu kota di Papua dan Papua Barat ikut membara.
Membatasi Informasi
Senin siang, 19 Agustus 2019 Menkominfo Rudiantara menyampaikan kabar yang tak mengenakkan. Pemerintah, menurut Rudiantara, akan membatasi akses internet dan media sosial di Papua dan Papua Barat. Menurut pemerintah, hal tersebut perlu dilakukan karena pemicu terjadinya demonstrasi besar di Manokwari dan Sorong adalah beredarnya hoaks. Kabar bohong itu menyatakan ada mahasiswa Papua yang tewas ketika terjadi penyerangan ke asrama, juga ada penculikan mahasiswa. Video penyebutan 'nama hewan' dan bernada rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya juga dianggap sangat menghina.
Ternyata pengumuman Rudiantara langsung dibarengi dengan tindakan. Hari itu juga akses internet di Papua dan Papua Barat mulai sulit. Namun media sosial masih bisa digunakan. Rudiantara berdalih, yang dilakukan pemerintah bukan pembatasan, tapi pelambatan. Dan hanya akan dilakukan selama beberapa hari hingga situasi kondusif. Masifnya penyebaran berita-berita hoaks menjadi alasan.
Nyaris dua minggu sejak aksi kerusuhan pertama pecah di Papua, pemerintah masih terus melanjutkan aksi membatasi informasi. Rudiantara menyebut, pihaknya masih membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat. Ia mengaku telah mengantongi data lebih dari 230.000 URL hoaks terkait Papua yang diviralkan.
"Kalau dari sisi dunia nyata memang tidak ada demo lagi. Tapi di dunia maya ada 230.000 URL yang memviralkan hoaks. Saya ada catatannya. Lebih dari 230.000 URL. Artinya, URL kanal yang digunakan. Yang paling banyak Twitter. Itu kan masif. Artinya kalau kontennya yang sifatnya hoaks itu macam-macam, ada berita bohong, menghasut, yang paling parah mengadu domba," ujar Rudiantara di Jakarta, 26 Agustus 2019.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri mengatakan, sejak tanggal 14 hingga 27 Agustus 2019 pihaknya sudah memonitor 32 ribu lebih konten yang sifatnya provokatif, diskriminatif, dan hoaks.
"Dari 32 ribu konten yang sudah dilakukan mapping, ada 1.750 akun lebih sudah diajukan dilakukan pemblokiran dan takedown oleh Kominfo. Artinya ini untuk memitigasi secara maksimal terkait konten sensitif terkait Papua," ujarnya.
Padahal, situasi di Papua sendiri sampai hari ini kondusif dan masih bisa dikendalikan. Dedi menjamin, tidak ada korban. Pemda dan tokoh masyarakat di sana saling mendukung. Menkominfo mengatakan, empat media sosial yang mereka batasi aksesnya adalah Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram.
"Yang paling banyak FB. FB ini kan kalangan akar rumput paling banyak gunakan FB. Kedua karena ini tidak hanya di dalam negeri tapi sebagian luar negeri adalah twitter. Ketiga youtube dan empat instagram. Yang dikondisikan akar rumput dulu karena bahaya ini. Media mainstream makanya kita minta suarakan kondisi Papua yang kondusif apalagi kita tahu tahun 2020 Papua jadi tuan rumah PON dan situasi harus kondusif dari sekarang," ujarnya menambahkan.
Ini bukan yang pertama. Aksi pemerintah membatasi akses internet juga dilakukan saat terjadi demo besar di Jakarta pada 21-22 Mei 2019. Saat itu Menkominfo mengabarkan, seluruh akses komunikasi akan dibatasi, tujuannya untuk mencegah semakin meluasnya berita hoaks dan meredam aksi massa. Bedanya saat itu tak ada pemberitahuan lebih dulu dari pemerintah.
Pernyataan pemerintah baru disampaikan setelah publik mengeluhkan sulitnya mengakses beberapa aplikasi sosial media yaitu Whatsapp , Facebook, dan Instagram. Ketika itu Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Menteri Koordinator Politik Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), mengatakan pembatasan dilakukan untuk membatasi provokator mem-posting video, meme, foto, juga maraknya peredaran hoaks tentang demonstrasi yang menyatakan ketidakpuasan bahkan menolak hasil Pilpres 2019 yang disebarkan melalui Facebook, Instagram, Whatsapp.
Dalih Pemerintah
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, tindakan pemerintah membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat adalah karena pemerintah menyadari bahwa kondisi ini adalah perang siber. Polri menolak peristiwa yang terjadi di Surabaya adalah pemantik kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
"Masalah Surabaya sudah selesai. Kita tahu sekarang perangnya itu perang siber. Sekarang bukan perang konvensional tapi perang propaganda di siber. Ini paling penting karena yang bisa menangkal medsos yaitu media mainstream yang bisa memberikan pelurusan informasi isu dan berita. Karena medsos lebih banyak anonymus dan hoaksnya karena sumbernya tidak bisa diverifikasi dan klarifikasi," ujarnya kepada VIVAnews, Selasa, 27 Agustus 2019.
Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu menjelaskan asal muasal kebijakan membatasi akses internet yang dilakukan di negeri emas hitam tersebut. Pemerintah, menurut Ferdinandus, sudah mengamati konten-konten rasisme baik itu video pendek, gambar, dan lain sebagainya yang beredar luas mulai tanggal 17 dan 18 Agustus. Saat itu hoaks yang teridentifikasi ada dua dan item URL-nya masih di bawah ribuan.
Lalu pada 19 Agustus hari Senin, pemerintah melakukan trhotling atau pelambatan. "Disebut pelambatan artinya internet masih bisa diakses, orang masih bisa kirim whatsapp, gambar, video tapi lebih lambat. Misalnya kirim sekarang,sampainya tiga jam atau empat jam kemudian. Itu kita lakukan pada hari Senin dan Selasa," ujar Ferdinandus kepada VIVAnews, Jumat, 30 Agustus 2019.
Ketika dievaluasi, pihaknya menilai pelambatan ini lumayan efektif, karena masyarakat agak delay menerima informasi. Tapi mereka tetap menerimanya, dan akhirnya kembali menyebarkannya. Rabu, 21 Agustus 2019, Kominfo melakukan evaluasi dan terus memantau perkembangan situasi di Papua dan Papua Barat. Unjuk rasa berakhir dengan kerusuhan dan perusakan fasilitas umum.
"Maka hari Rabu itu yang kami lakukan adalah bukan lagi trothling tapi lebih pada ke pemblokiran layanan data internet. Jadi seluruh layanan data internet dari operator seluler, Telkomsel yang terbesar di sana, Indosat menyusul, dan kemudian XL itu kami tutup. Artinya layanan data internet saja, SMS, voice call itu tetap berfungsi. Begitu juga layanan internet di Indihome, Speedy, pakai Wifii, itu semua masih berjalan.
Ferdinandus mengatakan, hingga hari ini pihaknya sudah mendata lebih dari 300 ribu URL, terutama di Twitter yang mengandung bukan hanya kebohongan, tapi juga kebencian dan provokasi yang menghadap-hadapkan antara Indonesia dan Papua. Situasi itu juga diperparah di lapangan.
Menurut Ferdinandus, belajar dari aksi 21-22 Mei, keputusan pemerintah dengan membatasi dan akhirnya memutus layanan internet di Papua dan Papua Barat adalah hal yang efektif. Hanya dalam waktu satu hingga tiga hari saja demonstrasi bisa selesai. Awalnya, Kominfo juga menduga pembatasan internet di Papua, akan membuat situasi cepat terkendali seperti pada 21-22 Mei 2019.
"Tapi ternyata isu di Papua ini sangat kompleks, sehingga yang kami bayangkan sejak awal hanya sebentar itu tidak terjadi. Hoaks secara jumlah memang tetap banyak, tetapi hoaks yang banyak ini masuk di cyber space, dan kami blokir itu mereka tidak terpapar hoaks sudah. Bahwa kemudian ada aksi-aksi yang terjadi meskipun tidak terpapar dengan masif penyebaran hoaks itu, kami melihat ini bukan hanya persoalan hoaks saja sudah, ada beberapa hal lain yang menyebabkan Papua hingga saat ini bergejolak," ujarnya.
“Tapi ketika gerakan aksi unjuk rasa di Papua itu kalau disiram atau ditambah dengan berita hoaks, saya tidak bisa bayangkan, pasti akan lebih besar dari itu. Artinya negara memang harus berani mengambil sikap untuk mencegah keburukan chaotik yang kemungkinan bisa terjadi lebih besar kalau kita tidak blokir. Memang ini adalah langkah yang tidak populis, bahkan ada yang mengatakan bahwa langkah ini dapat menimbulkan banyak orang yang antipati terhadap negara, tapi langkah itu kami ambil."
Menkominfo Rudiantara mengatakan, bahwa apa yang mereka lakukan masih sesuai dengan koridor hukum. Bahkan sejalan dengan pasal 28j UU ITE. "Kominfo senantiasa melakukan ini dengan dasar UU ITE, UU ITE mengacunya pada UUD 1945. Di UUD 1945, kita hormati hak asasi manusia di pasal 28j. Dan itu memang diperbolehkan dilakukan pembatasan mengacu pada UU yang berlaku," kata Rudiantara.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto mengatakan, penyebaran berita bohong yang dijadikan sebagai alat propaganda yang menyerang pemerintah menjadi salah satu alasan pemblokiran internet. Ia mengaku tak akan membiarkan terjadinya provokasi dan kerusuhan akibat berita bohong di media sosial.
Dampak Pembatasan
Keputusan pemerintah membatasi akses internet dan pelambatan penerimaan pesan seperti berbanding terbalik dengan keinginan menembus revolusi industri 4.0. Sebab, menurut revolusi industri 4.0, era digital adalah sebuah keniscayaan.
Pengamat Ekonomi Digital, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi, mengatakan keputusan pemerintah untuk melakukan pemblokiran akses internet jelas mengganggu ekonomi. Menurutnya, tak perlu membicarakan hingga Revolusi Industri 4.0, tapi dampak ke masyarakat akibat pemblokiran tersebut. Bank tak bisa diakses secara online, jurnalis kesulitan melaporkan berita, kegiatan pemerintahan, dan semua kegiatan lain yang sudah sangat bergantung pada akses internet.
Menurut Heru, harusnya pemblokiran dilakukan orang per orang, atau cuitan per cuitan. Seharusnya pemerintah menimbang untung ruginya. Dan ketika ada cara lain yang tidak menyebabkan dampak lebih besar, harusnya cara itu yang dipilih.
Kalau begini kan dampaknya agak lebih besar karena blokir internet, dia tidak hanya sekedar blok yang hoaks, ujaran kebencian, tapi juga blok hal-hal lain untuk kegiatan ekonomi, akses e money segala macam, internet banking atau transaksi antarbank, ini kan terkendala juga kecuali mereka mungkin menggunakan ISP dengan it dari luar negeri. Apalagi sampai berlarut-larut. Dampak blok bukan hanya berimbas pada yang buruk, tapi yang baik-baik juga terblokir," ujarnya.
Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu juga mengakui. Pemblokiran internet memang membawa kerugian dari perspektif ekonomi. Artinya potensi kerugian ekonomi itu ada dalam sekian hari ini, bahwa orang tidak bisa pakai gojek, orang tidak bisa belanja pakai non tunai, dan sebagainya.
Tapi, menurutnya, potensi ekonomi yang rugi tertutup oleh isu yang lebih sangat sensitif, yaitu isu bahwa jika tidak dikelola kelola dengan baik isu Papua bisa berakhir pada perpecahan bangsa. Bagi Ferdinandus, isu perpecahan jauh lebih berbahaya dan lebih besar risikonya.
"Bagi kami itu persoalan yang mendasar juga. Bahwa persoalan ekonomi itu penting iya, karena kesejahteraan itu menjadi isu yang sangat signifikan bagi pembangunan bangsa, tapi ketika kita pecah yang hanya disebabkan oleh hoaks, hanya karena situasi keamanan di sana tidak bisa kita pulihkan, itu akan lebih berbahaya. Artinya pendekatan itu yang lebih kita sampaikan," ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo. Menurut Dedi, keutuhan NKRI adalah hal yang jauh lebih penting dari akses yang terhambat untuk bidang ekonomi.
"Jauh lebih penting mana masalah kedaulatan NKRI dibanding ekonomi sesaat. Itu harus diperhitungkan juga. Jauh lebih penting mana. Ekonomi recovery sesaat tapi kalau misalnya keutuhan NKRI kalau terjadi sesuatu gimana. Jadi ketahanan nasional bukan diliat pancagatra dan trigatra saja tapi ketahanan dunia siber dimana ada serangan hybrid dan melawan dengan siber juga," ujarnya.
Menkopolhukan Wiranto menyatakan, keputusan pemerintah untuk membatasi akses internet bukan bentuk keseweng-wenangan dan itu tidak melanggar hukum. Sebab yang dilakukan pemerintah bertujuan semata-mata menjaga keamanan nasional, menjaga keutuhan nasional.
Dalih kepentingan nasional dan menjaga keutuhan negara dengan segala pertimbangannya berimbas pada keputusan pemerintah untuk mencabut pemblokiran akses internet. Ferdinandus mengatakan Kominfo belum bisa memastikan, kapan akses internet akan dibuka kembali. Kultur masyarakat Papua jauh beda dengan Jakarta. Menurut Ferdinandus, masalah yang kompleks di Papua membuat prediksi kapan pemblokiran akan dicabut, menjadi kehilangan arah.
Pemerintah, ujarnya, belum bisa mengambil keputusan untuk segera kembali membuka akses. Ia hanya mengatakan, saat ini semua keputusan diambil dengan mempertimbangkan kondisi keamanan. [mus]
Baca Juga