Mengabdi Meski Disakiti

Jamaah Ahmadiyah di Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Spanduk sepanjang tiga meter dengan tulisan Dirgahayu Negeriku Indonesia terbentang di pintu masuk Masjid Al Hidayah. Kain warna biru itu berada persis di atas pagar bangunan yang berlokasi di Jalan Balikpapan 1 no 10, Petojo, Jakarta Pusat. 

Di sebelahnya, umbul-umbul merah putih mengapit papan nama masjid. Kain dengan warna senada juga tampak menempel di pagar yang mengelilingi bangunan yang kerap digunakan oleh jamaah Ahmadiyah ini.

Masjid yang dianggap sebagai ‘markas’ Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini tampak lengang. Tak tampak orang beraktivitas atau lalu lalang. Hanya ada satu orang yang berjaga di pintu depan. 

Tak ada yang istimewa di ‘Masjid Ahmadiyah’ ini. Hanya ada lemari tempat menaruh sandal atau sepatu, papan pengumuman dan sejumlah poster terkait Ahmadiyah. Sisanya adalah perangkat salat. Alquran terjemahan tampak di salah satu sudut ruangan.

Jelang azan Zuhur sejumlah orang berdatangan. Ada yang masih menenteng sisa dagangan. 

Ada juga anak-anak usia belasan yang masih mengenakan seragam sekolah. Tak banyak, hanya belasan. Selesai salat berjamaah, mereka langsung bubar kembali berhamburan ke jalan.

“Ini cara kita mensyukuri kemerdekaan,” ujar Juru Bicara JAI, Yendra Budiana saat ditanya soal spanduk dan banyaknya kain warna merah putih di Masjid Al Hidayah. 

Ia mengatakan, tak hanya memasang spanduk, umbul-umbul, dan mengibarkan bendera, JAI juga akan menggelar upacara, sejumlah lomba dan karnaval guna memeriahkan perayaan Hari Ulang Tahun ke-74 Kemerdekaan RI. 

“Warga pengungsi Ahmadiyah di Transito Lombok yang sudah mengungsi selama lebih 12 tahun juga akan menyelenggarakan berbagai macam perlombaan,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis 15 Agustus 2019.

***

Ahmadiyah dan Kemerdekaan

Ahmadiyah tak bisa dipisahkan dari kemerdekaan. Karena, mereka sudah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka sudah berkontribusi bahkan sebelum republik berdiri. Salah satu tokoh Ahmadiyah yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan adalah Tuan Sayyid Shah Muhammad. 

Pria asal Pakistan yang memimpin para mubaligh Ahmadiyah ini terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya terkait pengakuan kemerdekaan Indonesia dari negara-negara lain di dunia.

“Karena ketika itu Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara-negara lain untuk menjadi sebuah bangsa," ujar Yendra. 

"Karena selain mubaligh, beliau memiliki kecakapan bahasa asing, selain bahasa Arab, juga bahasa Urdu. Beliau sampaikan ke negara-negara luar bahwa dunia harus mengakui Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka,” tutur Yendra.

Selain itu, ada perintah khusus dari Khalifah Ahmadiyah yang meminta kepada seluruh jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia untuk berpuasa Senin Kamis demi kemerdekaan Indonesia. “Jadi itu perintahnya memang spesifik khusus untuk Indonesia,” Yendra menambahkan.

Tak mau kalah, tokoh Ahmadiyah asal Indonesia juga ikut berjuang merebut kemerdekaan. Sebut saja R Mohamad Muhyiddin. Ketua Hoofdbestuur Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini menjadi pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri dan aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. 

Pada 1946, ia diangkat sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan RI yang pertama, yang sedianya juga akan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan. 

Kemudian Entoy Mohammad Tayib. Pria kelahiran Singaparna 2 Februari 1900 ini merupakan pejuang kemerdekaan sejak masih aktif di Pemuda Serikat Islam pada 1918. Karena perjuangannya, ia mendapatkan penghargaan sebagai perintis kemerdekaan. 

“Belakangan juga kita mengetahui bahwa Wage Rudolf Supratman juga sebagai Ahmadi,” ujarnya. 

Meski demikian, Yendra mengaku belum pernah membaca literatur atau sumber resmi bahwa WR Supratman mempunyai kedekatan dengan JAI. Dia hanya sempat mendengar cerita jika pencipta lagu Indonesia Raya tersebut pernah tinggal di Petojo Utara, lokasi yang sekarang berdiri Masjid Al Hidayah.

Nanang RI Iskandar dalam bukunya ‘Fatwa MUI & Gerakan Ahmadiyah Indonesia’ menyebut bahwa H.O.S Tjokroaminoto adalah seorang Islam Ahmadiyah Lahore pertama di Indonesia. Pria yang bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto ini juga menerjemahkan buku Da'watoel Amal atau Pengadjakan Bekerdja dari Muhammad Ali sekitar tahun 1925.

Guru sejumlah tokoh pergerakan nasional ini juga menerjemahkan The Holy Quran: Teks Arab, Terjemahan dan Commutary karya Maulana Muhammad Ali Ke dalam Bahasa Melayu.

Proklamator dan Presiden pertama RI, Soekarno juga disebut dekat dengan Ahmadiyah. Di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menunjukkan ketertarikannya dan mengakui pandangan-pandangan Ahmadiyah. 

Di dalam buku tersebut Soekarno juga menceritakan penghormatannya kepada JAI. Dua mubaligh Ahmadiyah almarhum Abdul Wahid HA dan almarhum Malik Aziz Ahmad Khan yang pada akhir 1945 bertugas di Yogyakarta sebagai penyiar RRI untuk siaran Bahasa Urdu juga aktif memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke luar negeri.

***

Khilafah dan Nasionalisme 

Meski menggunakan sistem kekhilafahan, Ahmadiyah mengaku menjunjung nasionalisme. Yendra mencontohkan, pada 2012 Khalifah Ahmadiyah diundang untuk berpidato di markas tentara Jerman. 

Saat itu, ada isu terkait imigran asal Timur Tengah dan Islamphobia. Dalam pidatonya, Khalifah Ahmadiyah menyatakan bahwa patriotisme dalam Islam bukan cuma dianjurkan, tapi diwajibkan. 

“Jadi kecintaan kepada Tuhan itu mensyaratkan orang itu harus mencintai bangsanya sendiri,” Yendra menirukan.

Menurut dia, cinta Tanah Air itu dilakukan dan diajarkan Nabi Muhammad SAW. Pandangan Ahmadiyah yang menunjukkan patriotisme hanya ingin melanjutkan hal itu. “Karena patriotisme kepada bangsanya dan agamanya itu harus menjadi satu tarikan napas, tidak boleh itu dipisahkan,” ujar Yendra.

“Kalau misalnya hari ini kita berperang dengan Pakistan, dan kita tahu banyak Ahmadiyah di Pakistan, kalau kita harus berperang, kita perang-perang saja. Tanpa harus kita berpikir bahwa saudara-saudara kita Ahmadiyah ada di sana,” ujarnya menegaskan.

Iskandar Zulkarnain dalam bukunya ‘Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia’ menulis bahwa Ahmadiyah menerima dan memperjuangkan Pancasila sebagai asas negara. Keputusan itu diambil dalam muktamar Ahmadiyah di Purwokerto pada 1947.

Pada waktu itu hingga menjelang Pemilu 1955, arus yang menghendaki Islam sebagai asas negara masih sangat kuat. Namun, Gerakan Ahmadiyah Indonesia nampaknya menyadari bahwa sebagai dasar perjuangan untuk syiar Islam, Pancasila sudah tepat apabila dijadikan sebagai dasar negara.

Nasionalisme itu tak hanya diwujudkan dalam politik, namun juga ditunjukkan dalam bidang lain. Salah satunya di dalam olah. “Piala Thomas pertama diraih Ali Solihin. Dia Ahmadi. Kemudian Jamaludin juga orang Ahmadi, mereka jadi pendekar-pendekar bulu tangkis,” ujar Yendra.

***

Atas Nama Kemanusiaan

Jamaah Ahmadiyah kerap menjadi korban kekerasan, intimidasi dan persekusi. Sebut saja di Lombok, Cikeusik, Tasikmalaya, Depok, Parung, dan sejumlah wilayah lain. Meski demikian, mereka mengaku tak sakit hati apalagi dendam.

“Kita meyakini bahwa Ahmadiyah ini meneruskan gerakan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Maka kami meyakini sepenuhnya bahwa kami akan mengikuti atau menjadikan Rasulullah SAW sebagai contoh,” ujar Yendra.

Menurut dia, esensi Islam sejati itu adalah berbuat baik dan adil. “Soal kemudian apakah perlakuan kepada kita baik atau tidak, itu bukan hal yang harus terlalu kita pikirkan. Kita memberi, ya memberi saja,” ujarnya.

Berangkat dari pemahaman tersebut, JAI tak pernah bosan menebar kebaikan dan berbagi untuk kemanusiaan. Mereka melakukan sejumlah aktivitas sosial mulai dari donor mata, donor darah, memungut sampah hingga turun di wilayah-wilayah yang tertimpa bencana. Di bawah bendera Humanity First, jemaah Ahmadiyah membantu para korban bencana alam.

Wakil Direktur Humanity First Indonesia Ahmad Masihudin menuturkan, tak jarang mereka mendapat penolakan dan perlakuan tidak menyenangkan dari para korban. Namun mereka tetap bertahan karena alasan kemanusiaan. 

“2015 kita pernah diusir dari Bangka,” ujarnya.

Dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan, mereka juga tak memandang orang. Siapa pun akan dibantu apa pun latar belakang dan agamanya. Di Lombok, mereka bahkan membantu warga korban gempa yang telah mengusir mereka dari rumah dan desanya.

“Di Lombok itu yang kami bantu bisa dikatakan di semua tempat yang menolak kehadiran Ahmadiyah di situ. Kita diusir di Lombok Timur itu. Kita tetap turun ke sana membantu korban gempa di sana. Bahkan yang turun ketika itu tim lokal kita yang rumahnya dihancurin warga waktu itu,” tuturnya.

Hal yang sama juga dilakukan waktu gempa dan tsunami Palu. Meski jemaah Ahmadiyah pernah diusir di Sigi, mereka tetap turun dan membantu warga di sana. Menurut Masihudin, Ahmadiyah tetap membantu masyarakat tanpa melihat bahwa yang dibantu adalah orang-orang yang pernah mengusir mereka.

“Meskipun kita pernah diserang, ditindas. Tapi kecintaan kita kepada sesama menjadi motivasi untuk membantu mereka tanpa melihat siapa orang yang kita harus bantu. Tanpa ada beban, tanpa ada rasa takut turun di sana,” tuturnya.

Suara azan Asar berkumandang. Yendra, Masihudin dan sejumlah aktivis Ahmadiyah pun beranjak dari tempat duduknya. Sebagian dari mereka ada yang langsung mengambil wudu. 

Sementara, sisanya pamit pulang atau balik ke kantor untuk melanjutkan kerja dan kegiatan. Di luar, umbul umbul warna merah putih tampak berkibar tertiup angin. (art)