Radikalisme Kelas Menengah

Deklarasi Anti Radikalisme Perguruan Tinggi di Jawa Barat' di Aula Graha Sanusi Universitas Padjajaran Kota Bandung, Jumat (14/7/2017).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Adi Suparman

VIVA –  Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menghela napas. Di tengah menyampaikan sambutan Halal Bihalal dengan keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI Cilangkap, Rabu, 19 Juni 2019. Dia menyampaikan hal yang sangat penting dan memprihatinkan. Menguatnya radikalisme di kalangan TNI. 

Ryzmizard mengatakan, sekitar tiga persen TNI terpengaruh radikalisme dan tak setuju Pancasila sebagai dasar negara. Mereka menganggap ideologi khilafah layak ditegakkan di negara ini. "Ini memprihatinkan sekali," katanya. 

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu

Ryamizard juga menyampaikan temuan lainnya. Sebanyak 23,3 persen mahasiswa di seluruh tanah air setuju dengan wacana pendirian negara Islam atau khilafah. Kemudian 23,3 persen siswa SMA setuju dengan hal yang sama. Lalu ada 18,1 persen pegawai tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Kemudian 19,4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Data lain adalah 9,1 persen pegawai BUMN yang menyatakan tidak setuju dengan ideologi negara Pancasila. Bagi Ryamizard, angka-angka tersebut memperlihatkan paham radikalisme terus tumbuh dan menguat.

Ucapan Ryamizard menegaskan radikalisme mulai menguat di berbagai lini. Sebelum Ryamizard, lembaga sosial kemasyarakatan Setara Institute sudah lebih dulu merilis hasil temuan mereka soal merebaknya paham radikalisme di perguruan tinggi negeri. Hasil riset tersebut disampaikan kepada publik pada akhir Mei 2019. 

Riset tersebut dilakukan oleh Setara Institute pada Februari-April di 10 Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Unram), dan Universitas Airlangga (Unair). 

Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, gelombang radikalisme pada 10 PTN tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif yakni dari kelompok salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah. "Corak kegiatan keislaman di kampus itu monolitik. Cenderung dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusif," ujar Halili saat pemaparan hasil riset dalam diskusi 'Membaca Peta Wacana dan Gerakan Keagamaan di PTN', Jakarta Pusat, Jumat, 31 Mei 2019.

Diskusi soal radikalisme di kampus

Tapi ternyata tak hanya orang dewasa yang terpapar geliat radikalisme. Sebuah tulisan di ABC.net.au, bahkan menceritakan seorang anak di Yogyakarta yang tanpa disadari orangtuanya, ternyata telah terpapar radikalisme dari tempat ia bersekolah. Keterkejutan dialami oleh Bagas (bukan nama sebenarnya), ayah dari seorang putri yang berusia 9 tahun. Suatu malam Bagas dikagetkan dengan pertanyaan anaknya yang malam-malam tiba-tiba menangis ketakutan. 

"Pah, nanti kalau Palestina diserang Israel, kita juga ikut mati enggak, Pah?" Cerita Bagas, seperti dikisahkan oleh ABC Indonesia. Berusaha tetap tenang, Bagas lalu menanyai sang putri perihal asal-muasal pertanyaan itu.

Pertanyaan sang putri membuat dirinya terkejut. Anaknya mengetahui informasi soal konflik Israel-Palestina dari gurunya di sekolah A. Bocah ini belajar di sekolah dasar Islam yang berjargon sebagai sekolah pencetak hafiz qur'an. Di situs resminya, sekolah ini mengklaim telah memiliki 80 cabang di belasan provinsi Indonesia.

Kekagetan Bagas malam itu sebenarnya puncak dari segala pertanyaan yang ada di kepalanya. Di sekolah anaknya tak ada bendera merah putih, tak ada upacara bendera, tak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan selalu masuk pada hari libur nasional yang berkaitan dengan perayaan agama lain di luar Islam.

"Saya pernah berkirim pesan dengan salah satu guru. Dan dia pakai logo bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai foto profilnya," ujar Bagas. 

Kampus dan Kelas Menengah

Menurut riset yang dilakukan Setara Institute, ada tiga wacana keagamaan yang dominan di 10 kampus yang mereka teliti. Pertama,  propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap “jalan Islam," yaitu jalan yang mengikuti Alquran dan hadits. Hal ini, menurut Halili adalah sebuah pandangan puritan yang membatasi kebijaksanaan agama ini hanya di dua sumber utama tersebut.

***

Kedua, propaganda bahwa Islam sedang di dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal. Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr) dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam. 

Di perguruan tinggi, kelompok ini menjadikan masjid dan musala kampus sebagai basis kegiatan mereka. Paham radikalisme masuk dan menyebar melalui kelompok-kelompok dan kegiatan keagamaan. Mereka juga masuk melalui kelas menengah. Menurut Halili, kelompok ini sadar betul bahwa masyarakat urban, masyarakat kelas menengah itu mengalami semacam kekeringan spiritual, dan mereka memiliki kebutuhan spiritualitas urban baru yang bisa mengisi kebutuhan rohani mereka.

Disdik Depok menarik buku-buku yang dinilai berisi ajaran radikal

Ia menunjuk gerakan hijrah, gerakan hijabers sebagai ruang untuk mengisi kekeringan spiritual bagi masyarakat perkotaan yang setiap harinya disibukkan dengan aktivitas perkotaan, atau karena selama ini mereka tertundukan oleh sistem kapitalisme yang menuntut mereka bekerja dengan sangat sempurna, dan akhirnya merasa membutuhkan "hiburan" ekstra. 

"Ini juga cara mengisi spiritualitas secara mudah dan instan, menjanjikan surga yang cepat, akan ada kenikmatan kehidupan yang abadi pascakematian, dan sebagainya. Jadi kesadaran akan kebutuhan spiritualitas masyarakat urban ini berbeda dengan masyarakat perkampungan yang kebanyakan memilih pesantren misalnya untuk menjadikan sarana mengisi kekosongan spiritual mereka. Dan kelompok kanan ini hadir di situ," ujar Halili kepada Vivanews, Selasa, 30 Juli 2019. 

Dengan mengisi dan menguasai musala dan masjid, baik di kampus atau di kementerian/lembaga, kelompok lalu menyuapi kaum urban dengan ajaran-ajaran keagamaan. Berbeda dengan masyarakat rural yang lebih memilih pesantren sebagai cara mengisi kekosongan spiritual, maka kaum urban memilih sendiri masjid dan musala mereka. Celah perbedaan itulah yang diambil oleh kelompok kanan untuk merebut paham keberagamaan kaum urban.

Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Ismunandar mengakui terjadinya penyebaran paham radikalisme di kampus semakin menguat. Menurut dia, ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, kurang/parsialnya pemahaman keagamaan banyak mahasiswa dibarengi dengan semangat belajar agama yang tinggi. Hal ini menjadi lahan doktrinasi kelompok radikal. 

Kedua, kurangnya wawasan atau pengetahuan kebangsaan mahasiswa. Ketiga, faktor psikologis yang merujuk kepada pencarian jati diri dan sifat polos mahasiswa, terutama mahasiswa baru yang rentan (jauh dari orang tua) dan tengah mengalami krisis identitas (unfinished becoming).

Menurut Ismunandar, merujuk pada beberapa hasil penelitian, paham tersebut mulai menyebar pada tahun 1980-an. Penyebaran ini terjadi setelah  pemerintah memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1977-1978 yang melarang mahasiswa melakukan gerakan politik. Pemberlakuan aturan NKK/BKK oleh pemerintah Soeharto ini dianggap sebagai upaya membungkam daya kritis mahasiswa. Menurut Ismunandar, pembungkaman itu berakibat terjadinya kekosongan politik yang membuat bibit-bibit tersebut masuk secara perlahan.

Dialog soal radikalisme

Di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementerian atau lembaga negara, penyebaran paham radikal terjadi dengan cara yang lebih ekstrem. Halili menceritakan, setelah mereka terpapar ada penguatan identitas di lembaga negara. Misalnya ekspresi keagamaan secara terbuka oleh kelompok tertentu bagi kepentingan warga negara tertentu, itu terjadi di banyak tempat. Misalnya salah satu syarat menjadi ASN atau pegawai adalah harus bisa membaca Alquran, audio ruangan dipakai untuk menyiarkan azan lalu diikuti dengan ajakan untuk solat berjamaah. 

"Itu baik, tetapi itu kan tindakan otoritarisme. Di satu sisi yang non-muslim tidak pernah diberikan ruang untuk melakukan penguatan kerohanian secara kelembagaan, di sisi lain mayoritas muslim melakukan itu. Nah di situlah salah satu penguatan diskriminasinya. Dan itu terjadi di banyak tempat," ujarnya.

Menurut Halili, hal tersebut menjadi problematik. Sebab, harusnya audio ruangan bisa dipakai untuk menyetel lagu kebangsaan, lagu daerah, untuk memperkuat nasionalisme. Tapi kejadian yang nampak malah sebaliknya. Dan itu banyak terjadi di kantor K/L, lembaga publik yang didanai APBN. 

Hal-hal tersebut masih pula diperkuat dengan terjadinya penguatan politisasi keagamaan di pemerintahan daerah. Sekarang ini banyak pemerintahan daerah yang nuansa keagamaannya tinggi. Misal di Depok yang mengharuskan kehidupan religius di kotanya. "Agama itu sebenarnya bukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan desentralisasi, agama itu urusan pusat. Sekarang Kita menemukan begitu banyak pemerintahan daerah yang nuansa keagamaannya tinggi," tuturnya.

Ali Fauzi, pengamat radikalisme, mengatakan cara termudah untuk melihat menguatnya paham radikalisme adalah dengan memantau media sosial. Facebook, Instagram, Twitter bisa menjadi gambaran umum bagaimana paham tersebut mewarnai pemilik akun media sosial. Apalagi, proses penyebaran paham tersebut saat ini telah berubah. Jika dulu penyebaran paham radikalisme terjadi secara door to door, maka sekarang tinggal memanfaatkan mesin pencari dan ajaran-ajaran radikalisme mudah ditemui.

Tak Mengakui 

Hasil riset Setara Institute ternyata tak begitu saja diterima oleh perguruan tinggi negeri yang masuk dalam daftar terpapar menguatnya paham radikalisme. Rektor perguruan tinggi yang dikonfirmasi Vivanews membantah temuan tersebut. 

***

Rektor Unair Mohammad Nasih mengaku belum menerima informasi saat ini tentang menguatnya radikalisme di kampusnya, seperti hasil riset yang dikeluarkan Setara Institute. Ia mengatakan, mahasiswa di Unair baik-baik dan normal saja. Seluruh kegiatan di Unair juga dilaksanakan sesuai SOP. 

"Jika pun ada kemungkinan satu dua saja, itu pun tidak hanya ekstrem kanan, tetapi juga kiri. Sejak kapan masuk (radikalisme di Unair) dan seperti apa penyebaran dan salurannya, silakan tanya kepada yang meneliti (Setara Institute)," katanya melalui jawaban tertulis. 

Mahasiswa baru Unair

Juru bicara Unair Suko Widodo, mempertanyakan metodologi penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute, termasuk pada penetapan sampel PTN. Menurutnya, kualitas penelitian itu subyektif, kata Suko.

Kendati begitu, Suko mengamini upaya kelompok tertentu menyusupi Unair dengan paham radikal memang ada sejak beberapa tahun lalu. Dia juga mengiyakan paham-paham radikal lebih banyak menyusup di fakultas-fakultas eksakta, seperti Fakultas Kedokteran. Tetapi, dia menegaskan, itu dulu. "Kedokteran itu gudangnya, tapi itu dulu, dan  itu pun sebenarnya kecil," katanya.

Pakar komunikasi politik itu menegaskan, yang kerap menjadi sasaran adalah mahasiswa baru. Misalnya, kalau bingung itu dulu kan banyak diambil kemudian dicarikan kos. "Itu modusnya dicarikan kos, tapi sekarang langsung kita dampingi, ada asramanya, dan semacamnya," ujarnya. 

Ia memastikan Unair terus berupaya menangkal dan mencegah merebaknya paham radikal di lingkungan kampus. Di kalangan pengajar, misalnya, rektorat memberikan pilihan dan sanksi secara tegas apabila ditemukan dosen atau pegawai yang terpapar. Ia mengisahkan, dua tahun lalu seorang dosen diberikan sanksi tegas setelah secara terbuka mengumumkan di media sosial bahwa ia pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Hal lain yang dilakukan Unair adalah mencegah radikalisme melalui pendekatan kebudayaan. Suko mengambil contoh, tradisi salawatan yang semula jarang dilaksanakan di masjid kampus, perlahan digalakkan. Ahli pengetahuan agama yang nasionalis kerap diundang. 

"Pak Rektor orangnya kan (suka) ke masjid, Mas. Jadi tahu betul bagaimana virus-virus (radikalisme masuk), karena itu beliau melakukan apa yang kami sebut pendekatan kebudayaan. Kita kan karakter Jawa Timur itu Sunan Kalijogo, jadi meletakkan budaya menjadi bagian dari membangun spirit keagamaan," ucap Suko.

Kegiatan-kegiatan keagamaan tetap diakomodasi, tapi kampus ikut melakukan pemilihan narasumber. "Pak Rektor bilang sepanjang itu masih di dalam kampus, hal-hal seperti itu (radikalisme) kita sapu bersih. Di luar itu sudah bukan tanggung jawab kita lagi," kata Suko.

Bantahan  juga disampaikan oleh Rektor UI Profesor M. Anis juga mengklaim kampus yang dipimpinnya terbebas dari paham-paham radikalisme. “Enggak ada, saya berani bilang enggak ada. Tapi kalau kemungkinan ada kelompok kecil yang intoleran mungkin ada,” katanya

Pemikiran intoleran, lanjut Anis, kemungkinan bisa tumbuh akibat pengaruh pihak luar. “Tapi ini kan yang ramai di tatanan besarnya, dikaitkan dengan politik identitas dan sebagainya. Ini ada peran eksternal,” ujarnya menegaskan. 

Seperti Unair, Anis justru mempertanyakan survei atau riset tersebut. Ia juga meminta lembaga riset tak menyudutkan perguruan tinggi. “Ya kita kan harus yakin secara nasional, jangan ujug-ujug disalahin universitas. Universitas kan komponen bangsa, emangnya komponen bangsa cuma universitas. Semua di kementerian pun ada, jangan tiba-tiba yang diserang universitas,” katanya.

Rektor UI Profesor M. Anis

Anis mengatakan, pihaknya sangat serius mengantisipasi adanya paham radikal maupun intoleran tumbuh di dalam kampus. Salah satunya ialah dengan menerapkan sejumlah program-program diantaranya, AKU ID atau aku Indonesia.

“Aku ID ini di mana kita membangun simbol itu untuk menciptakan rasa cinta tanah air, kebangsaan, kebersamaan, rasa ingin berkontribusi berkarya dan sebagainya. Kami ada juga forum kebangsaan, nah ini merajut semuanya dalam tatanan bagaimana kita menumbuh kembangkan rasa cinta tanah air," katanya. 

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. DR. Amany Lubis tak menyetujui hasil penelitian yang disampaikan oleh Setara Institute. Menurutnya, meski UIN Jakarta berada pada level paling bawah dari 10 kampus yang lain, tapi menurutnya indikasi penelitian itu tak mencerminkan keseluruhan. 

Ia mengatakan, saat ini radikalisme tidak ada di kampus. Kajian kajian keagamaan bukan mencerminkan radikal, kalau membahas sejarah Islam masa lalu dan masa kini, itu bukan radikal. Begitu pula jika ada kajian untuk membina keluarga Islam supaya kuat dan kreatif dan inovatif, hal itu menurut Amany Lubis juga bukan radikal.  Ia menegaskan, mahasiswa di kampusnya diberikan kebebasan untuk mengkaji sejarah Islam dan juga mengkaji situasi sekarang di Indonesia dan diberi pilihan untuk memilih mana yang terbaik. 

"Di UIN Jakarta tidak ada yang radikal apalagi ekstrem. Terlihat dari proses kemarin. Pilpres lancar tidak ada dari UIN Jakarta yang ikut demo, tidak ada yang ikut apapun. Itu mencerminkan UIN Jakarta berdemokrasi secara dewasa dan sangat paham dan tidak mau ikut pada hal hal yang bersifat instabilitas," ujarnya menegaskan.

Komentar dengan tone menerima datang dari kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan, meski sehari-hari tak terlihat dan tak bisa membedakan dengan yang lain, namun menurutnya hasil riset tersebut memiliki nilai bagi pimpinan perguruan tinggi. 

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Siapa pun yang melakukan penelitian dan itu memberikan hal yang valid itu hal yang valuable bagi pimpinan perguruan tinggi. Karena dengan penelitian itu bisa mengambil langkah-langkah antisipasi dengan tepat. Kami prinsipnya penelitian dari siapa pun yang datanya valid akan kami terima kemudian kami manfaatkan untuk pengambilan keputusan. Tentang misalnya radikalisme. Bagaimana sebuah universitas harus memberikan tindakan-tindakan atau program untuk menangkal radikalisme. Mendidik mahasiswa baru yang akan masuk ke UGM, kita berikan nilai-nilai," ujarnya.

Panut mengatakan tak ada resistensi pada siapa pun yang akan meneliti. Apalagi pihaknya merasa telah berbuat banyak. "Kalau ada orang yang meneliti silakan saja. Hanya memang metodologinya, data yang diperoleh haruslah valid. Bebas dari kepentingan apapun yang dalam arti ingin mengelompokkan sesuatu. Jangan sampai sebuah penelitian sudah ada kesimpulannya di awal baru data diotak-atik. Ini tidak ilmiah," katanya menambahkan. 

Panut mengatakan, sebetulnya paham radikal tak tampak dalam kehidupan sehari-hari. Dan aktivitas di dalam kegiatan keagamaan disinyalir mengarah pada radikalisme. Pemahaman dosen dan asistensi agama Islam yang sempat ditunggangi juga sudah ditutup celahnya. 

Hal lain yang dilakukan UGM adalah mengkoordinasi pembelajaran agama, juga memberi mandat pada Fakultas filsafat untuk menjadi pelaksana pengajaran agama Islam.

"Para pengajarnya bisa dari berbagai fakultas pun tidak apa. Kita laksanakan FGD. Kita samakan persepsi mengajar agama itu seperti ini. Sehingga sekarang sudah tidak bisa lagi yang mengajar agama lalu memasukkan ide-ide pribadi atau kelompoknya karena sudah kita antisipasi," ujarnya menjelaskan. 

Kemudian beberapa kali dalam satu semester UGM mengadakan kuliah umum bersama. "Kita datangkan BNPT, datangkan mantan teroris, korban terorisme dan tokoh-tokoh. Saat ospek juga ada materi khusus, sehingga yang datang dengan paham radikal bisa diubah pemahamannya," katanya. 

Panut juga menjelaskan, UGM sudah lama menjalankan sistem dan membentuk tim khusus untuk menahan laju radikalisme. Dewan Guru Besar juga dilibatkan dalam menjalankannya. Mereka memasang Garuda Pancasila dan Bendera Merah Putih sebagai simbol kebangsaan. 

UGM sudah punya sistem. Dengan sistem itu kampus bisa mengambil keputusan untuk mengeluarkan orang yang terpapar radikalisme. Informasinya kita berdasarkan dari laporan, informasi dari luar. Era sekarang bisa semuanya mudah dideteksi. Informasi banyak. Dosen masuk kelas mengucap kata-kata yang intoleran itu masuk ke rektor. Jika terbukti ada proses hingga sampai ke penjatuhan sanksi. UGM punya dewan kehormatan universitas yang memberikan rekomendasi ke rektor untuk kemudian diambil keputusan.

Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius memaparkan soal bahaya radikalisme

Meski sejumlah Rektor membantah menguatnya penyebaran paham tersebut. Namun Kemristekdikti tetap melakukan upaya untuk menghentikan penyebarannya.  Ismunandar menjabarkan, kementerian berupaya mendorong peningkatan literasi keagamaan dan mendorong upaya pemahaman dan internalisasi prinsip kesamaan di depan hukum. Literasi keagamaan maknanya mendorong semua untuk berpegang teguh pada iman masing-masing, namun sekaligus mengimplementasikan keyakinan dan keimanannya secara sosial dan budaya di ruang publik secara bertanggungjawab.

Selain itu, kementerian juga melakukan aksi untuk meneguhkan dan menguatkan Pancasila sebagai titik temu bangsa yang majemuk, yang intinya adalah menguatkan mahasiswa agar mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan, mampu mengakomodasi perbedaan, dan mendesain berbagai aktivitas agar mahasiswa mengalami bersama perbedaan sebagai kekuatan tersebut.

"Kegiatan-kegiatan kami buat beragam mulai pembelajaran di kelas, bela negara, KKN tematik, berbagai pekan ilmiah, pekan olaharaga, pekan seni, dan lain-lain," ujarnya. 

Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra Samal, mengatakan kementeriannya memilih untuk mengantisipasi. Saat ini, aturan untuk mengantisipasi penyebaran paham sedang disusun. Ia menolak berkomentar banyak, namun sepakat bahwa semua pintu yang memungkinkan terjadinya penyebaran paham radikalisme harus ditutup. 

"Justru sekarang ini kita melalui Diklat-diklat di BUMN itu kita jadikan sebagai ajang untuk mencegah itu. Semua (pegawai BUMN) harus bisa terbebas dari gerakan itu. Langkah untuk menjaga masalah tersebut di BUMN itu adalah sesuatu yang harus kita lakukan, ada atau pun tidak ada saat ini di BUMN itu harus kita lakukan," ujarnya saat dihubungi VIVA, Jumat, 2 Agustus 2019

Hambar memastikan, menteri sangat concern banget soal itu, dan pihaknya serius menangani hal ini terkait dengan masa depan bangsa, dan masa depan anak cucu bangsa ini.

Sementara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara memilih untuk mengawasi ASN dengan taat pada UU tentang ASN. Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PANRB Mudzakir, mengatakan pihaknya  berkepentingan agar nilai dasar ASN sebagaimsna pasal 4 UU ASN yaitu memegang teguh ideologi pancasila dan setia kepada NKRI bisa berjalan sebagaimana seharusnya.  

"Aturan ditegakkan, serta menekan tugas ASN sebagai perekat NKRI, setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 45 merupakan kewajiban seabgaimana diatur dalam PP 53/2010 tentang disiplin PNS," ujarnya. (hd)

Baca Juga

Waspada Benih Radikalisme

Definisi, Indikasi dan Dampak Radikalisme