Mereka Korban Sengatan ITE
- ANTARA Foto/Kahfie Kamaru
VIVA – Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 21 April 2008 silam. Selang lima bulan, atau tepatnya 6 September 2008, seorang ibu dua anak dari Tangerang, Banten, terkena 'sengatan' UU ini.
Adalah Prita Mulyasari yang didakwa melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal 310-311 KUHP lantaran dianggap mencemarkan nama Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera.
Prita mengirim surat elektronik atau email yang berisi keluhan atas layanan rumah sakit itu kepada beberapa rekannya. Namun email itu menyebar ke sejumlah milis komunitas. Tak ayal, kasus ini menjadi sorotan publik hingga memunculkan gerakan “Koin untuk Prita”.
Prita, korban UU ITE
Fantastis, uang yang terkumpul dari gerakan ini mencapai Rp825.728.550. Angka ini empat kali lebih besar dari denda yang harus dibayar Prita, yakni sebesar Rp204 juta. Meski begitu ujian untuk Prita belum terhenti.
Kendati RS Omni mencabut gugatan perdata atas Prita sehingga ia terbebas dari kewajiban membayar denda, namun pada tingkat kasasi, Prita tetap dinyatakan bersalah dan dipidana enam bulan penjara. Tapi kemudian, pada 17 September 2012, Mahkamah Agung menyatakan secara tegas bahwa Prita tidak bersalah.
Di mata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Anggara Suwahju, pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE yang diketahui memiliki pandangan yang sama dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), perlu untuk dihapus.
"Itu dari dulu sudah kita kritisi. Enggak perlu ada pemidanaan baru. Karena, dengan KUHP yang ada, menurut saya sudah cukup. Nah, model baru ini justru menambah ketidakjelasan. Karena, kan, unsur-unsurnya jadi terlampau longgar," kata dia kepada VIVA, Jumat malam, 12 Juli 2019.
Anggara melanjutkan, bila unsur-unsur di dalam kegiatan harus tetap dirumuskan. Sementara UU ITE perumusannya terlampau longgar. Hal ini berbeda dengan KUHP yang saat ini digunakan. Menurutnya revisi UU ITE yang baru-baru ini dilakukan hanya mengubah pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan.
"Perlu direvisi. Dari dulu kita bilang bahwa pasal-pasal yang ada padanannya dengan KUHP itu tidak perlu ada. Status di UU ITE, kan, juga masih belum jelas. Apakah pasalnya masih berlaku atau ikut dengan KUHP," ungkap dia.
Anggara berharap, satu sisi, regulator menghapus pasal-pasal yang padanannya ada di KUHP. Sementara, sisi lain, ia pun tidak ingin jika UU ITE dihapus. Ia juga berpendapat mengenai masalah yang membelit Baiq Nuril.
Menurutnya, masalah utama ada di Mahkamah Agung (MA) karena tidak memperhatikan bukti-bukti yang dibawa. Padahal, lanjut dia, bukti tersebut hanya persoalan sederhana alias bisa dievaluasi menggunakan teknologi deepfake.
"Bagaimana MA merespons terhadap teknologi deepfake kalau yang sekarang saja mereka enggak paham," tegas Anggara. Sedikit informasi, deepfake pertama kali dicetuskan pada 2017.
Deepfake adalah teknologi rekayasa atau sintetis citra manusia menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Deepfake juga dilakukan dengan cara menggabungkan gambar atau video original dengan gambar atau video yang ingin dimanipulasi.
Dengan memiliki kemampuannya ini deepfake sering dipakai untuk tindak kejahatan seperti membuat video porno selebritas atau tokoh publik, revenge porn, informasi palsu (hoax) atau digunakan untuk tipuan jahat.
Florence Sihombing, korban UU ITE di Yogyakarta
Pada kesempatan terpisah, Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto, menyebut apa yang menimpa Baiq Nuril adalah apa yang sudah dikhawatirkan jauh sebelumnya. "Artinya, bisa dikatakan bahwa sejak disahkan oleh DPR, UU ini sudah kontroversi. Mengapa? Karena ada sebagian besar masyarakat yang merasa tidak puas dari perumusannya," tutur dia kepada VIVA.
Damar melanjutkan, menurut catatan MA, jumlah kasus yang disidang mencapai dua kali lipat lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Tahun lalu saja jumlah kasus yang disidang terkait dengan UU ITE ada 252 kasus di pengadilan. Pada 2017 hanya ada 140 kasus.
Artinya, jumlah kasus yang menumpuk di persidangan jauh lebih besar dari total kasus yang sudah disidangkan dari 2017 hingga 2018. "Ada persoalan yang memang yang tidak tuntas dari cara kita melihat apa pentingnya UU ITE untuk masyarakat," tutur dia.
Kendati demikian, yang harus dilihat dalam UU ITE bahwa ada pada beberapa pasal yang biasa disebut sebagai pasal bermasalah. Apa saja? Damar mengatakan pasal 27 sampai pasal 29.
"Pasal 27 ayat 1 tentang Kesusilaan. Pasal 28 ayat 2 tentang Kebencian. Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Terakhir, pasal 29 tentang pengancaman," tegasnya. Damar memberi contoh sebagai berikut.
Misalkan, ada orang yang menyebarkan foto ibu yang sedang menyusui anaknya, yang sebenarnya, dalam konteks edukasi foto itu tidak ada persoalan. Tetapi, karena pasal 27 ayat 1 UU ITE ini tidak spesifik mengatur ketentuan kesusilaan, maka pembuat atau penyebar foto tersebut bisa terkena dampaknya.
Selanjutnya, pada kasus yang berbeda di dalam pasal 27 ayat 3, rumusan tentang pencemaran nama baik, yang menurut Damar, terlalu luas pengertiannya. Sementara di dalam KUHP rumusannya sampai dipilah-pilah menjadi enam pasal.
Orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah atau aparat penegak hukum misalnya, itu bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Padahal rumusan dalam pencemaran nama baik itu sebenarnya harus orang tidak bisa badan, institusi ataupun perusahaan. Begitu pula dengan pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 tentang ujaran kebencian (hate speech).
Ia memandang UU ITE sebenarnya lahir ketika negara ingin mengatur alur informasi dan transaksi elektronik seiring dengan perkembangan zaman. Lantas, apa yang menjadi titik beratnya waktu itu? Damar menjawab kejahatan siber (cyber crime) di institusi keuangan seperti perbankan, serta dalam bentuk manipulasi informasi.
"Itu sebenarnya mengapa UU ITE sangat diperlukan," kata Damar. Selain Prita yang sudah merasakan 'sengatan' UU ITE, ada sejumlah kasus lain yang menarik untuk diungkap.
Ariel eks Peterpan, 2010
***
Vokalis eks Peterpan dan Noah, Nazriel Irham atau dikenal sebagai Ariel, dijerat pasal berlapis dalam UU ITE dan juga UU Pornografi karena merekam video porno yang dituduh diperankan dirinya dan dua perempuan mirip artis Luna Maya dan Cut Tari.
Kasus Ariel ini menarik perhatian luas publik karena sebagian pakar hukum menilai Ariel tidak bersalah mengingat rekaman videonya untuk konsumsi pribadi, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Tetapi UU ITE menjeratnya karena kemudian rekaman video itu tersebar luas.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat pada 2010, Ariel dinyatakan bersalah dan divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta.
Ariel eks Peterpan
Ia sempat dipenjara di Lapas Kebun Waru Bandung, sebelum akhirnya dipindahkan ke Mabes Polri dan kemudian ke Lapas Sukamiskin. Setelah mendapatkan beberapa kali keringanan, Ariel hanya menjalani hukuman dua tahun satu bulan penjara.
Muhammad Arsyad, 2013-2014
Aktivis anti-korupsi ini diperiksa selama tiga hari di Polda Sulawesi Selatan dan dipenjara selama 100 hari di rutan Makassar setelah dituduh melanggar UU ITE pada tahun 2013 lalu.
Ia dilaporkan oleh seorang anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar karena menulis pernyataan di Blackberry Messenger (BBM) yang dinilai mencemarkan nama baik pengusaha Nurdin Halid.
Belum jelas bagaimana tulisan “No fear, Nurdin Halid koruptor! Jangan pilih adik koruptor!” itu tersebar luas, tetapi sebelum dijerat UU ITE ini, Arsyad juga dituduh menghina keluarga Nurdin Halid ketika menjadi narasumber di Studio Celebes TV Makassar pada 24 Juni 2013.
Setelah siaran Arsyad dikeroyok sekelompok orang. Pelaku sempat ditahan, tetapi dibebaskan tak lama berselang. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada 28 Mei 2014 Arsyad dibebaskan dari seluruh tuntutan jaksa karena tidak ada bukti kuat tentang kebenaran status BBM tersebut.
Ia pun berkelakar jika UU ITE yang diberlakukan sejak 2008 harus dicabut. Sebab, kata Arsyad, jika masih ada, tindak kriminalisasi terhadap warga masyarakat masih akan terus terjadi, di mana menurut catatannya, sudah 300 orang lebih menjadi korban UU ITE hingga kini.
"UU ITE hari ini menjerat Ibu Baiq Nuril, lima tahun lalu menjerat saya, delapan tahun lalu menjerat Ibu Prita. Bukan tidak mungkin besok, minggu depan, bulan depan atau tahun depan, menjerat Anda karena menyampaikan keluhan atau kritik atau curhat terhadap orang atau pihak lain," kata pria yang kini menjadi Ketua Paguyuban Korban UU ITE, seperti dikutip dari VOA.
Benny Handoko, 2014
Hanya lantaran kicauan di Twitter, Benny Handoko, menjadi tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik seorang politisi dari Partai Keadilan Sejahtera, Mukhammad Misbakhun. Kicauan pria yang biasa dipanggil Benhan ini terkait dengan kasus Bank Century, kini menjadi Bank JTrust.
Dalam kasus tersebut, Benhan menyatakan Misbakhun sebagai "perampok" Bank Century. Pada Februari 2014, Benhan divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut majelis hakim, Benny terbukti melanggar pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Benny satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Florence Sihombing, 2016
Karena membuat status di Path yang berisi hinaan terhadap warga Yogyakarta, Floren Sihombing sempat ditahan 2 hari oleh Mapolda DI Yogyakarta. Kepolisian menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 310 dan 311 KUHP untuk menjerat Florence. Selain mendapat hukuman dari kepolisian, Florence juga mendapat hukuman sosial dari masyarakat, khususnya para netizen.
Buni Yani, 2016
***
Bermula dari dirinya mengunggah cuplikan video pernyataan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat bertugas sebagai gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu. Dalam video itu Ahok menyitir surat Al Maidah ayat 51.
Cuplikan video Ahok yang diunggah Buni Yani menjadi viral di media sosial Facebook. Postingan itu dia beri judul 'PENISTAAN TERHADAP AGAMA?' Dalam unggahannya, Buni Yani menyertakan tiga kalimat. Pertama, "PENISTAAN TERHADAP AGAMA?" Kedua, "Bapak-ibu [pemilih muslim]... dibohongi Surat Al Maidah 51"... [dan] "masuk neraka [juga Bapak-Ibu] dibodohi"].
Ketiga, "Keliatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini". Nah, kalimat itu rupanya jadi semacam self-fulfilling prophecy atau ramalan-yang-menggenapkan-dirinya. Sontak, unggahan pria kelahiran Lombok Timur itu viral.
Buni Yani, korban UU ITE
Ia sukses membuat Ahok dicaci-maki, dianggap menista agama sampai menjadi tersangka. Tapi "sesuatu yang kurang baik" juga terjadi pada dirinya sendiri. Karena transkrip yang ditulisnya tak sesuai ucapan Ahok, Buni disebut sebagai penyebar kebencian.
Ia akhirnya menjadi tersangka atas dugaan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis 1,5 tahun pada 14 November 2017.
Perbuatan Buni Yani dinilai memenuhi unsur pasal 32 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video pidato Ahok. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Anindya Joediono, 2018
Perempuan cantik yang juga aktivis Front Mahasiswa Nasional Universitas Narotama, Surabaya, Jawa Timur ini dijerat UU ITE karena mengunggah ‘curhat’ lewat akun Facebook pribadi, seperti dikutip dari VOA.
Isi curhatan ini mengisahkan kronologi penggerebekan di asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan 10 Tambaksari, Surabaya, oleh aparat keamanan Juli 2018, dan pelecehan seksual yang dialaminya.
Anindya menilai penggerebekan itu hanya untuk menghentikan diskusi tentang pelanggaran HAM di Papua, karena aparat gabung yang terdiri dari polisi, TNI dan Satpol PP ketika itu tidak dapat menunjukkan surat perintah penggerebekan mereka.
Ketika kemudian diperiksa, Anindya dilecehkan secara seksual dan diseret beramai-ramai. Anindya menuliskan kronologi yang dialaminya di Facebook.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya IKBPS Pieter F. Rumaseb, yang membantah adanya pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap mahasiswa dalam operasi penggerebekan itu, melaporkan Anindya ke otoritas berwenang.
Hingga kini kasusnya masih berjalan. Anindya, mahasiswa semester lima Universitas Narotama, kini masih berstatus saksi. Ia sendiri berharap tuntutannya dicabut dan pemerintah serius merevisi UU ITE, terutama yang menyangkut pasal pencemaran nama baik. (umi)