Jakarta Kian Menua
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Wajah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berseri-seri. Kepada wartawan ia menceritakan berbagai program menyambut hari ulang tahun kota Jakarta tahun ini yang bertema "Wajah Baru Jakarta."
Serangkaian acara sudah disiapkan oleh Pemprov DKI. Mulai dari Live Mural, piknik dan keliling Kota Tua, bazaar kreatif, musik, pameran, garage sale (penjualan barang bekas), hingga car free night.
Khusus car free night akan menjadi malam puncak dari rangkaian peringatan HUT DKI Jakarta.
Acara ini dirancang spektakuler karena digelar dengan menutup jalan protokol. Pusat acara diadakan di Bundaran HI pada 22 Juni 2019, dengan memadukan unsur tradisional dan teknologi, menampilkan tari tradisional dengan lagu dan kostum tradisional dan digelar secara kolosal.
Selain itu ada pula pertunjukan video mapping, water screen, dan immersive. Acara akan dibagi menjadi tiga babak, mulai dari Jakarta Tempo Doeloe, Jakarta Membangun, hingga Wajah Baru Jakarta.
Jakarta Car Free Night
Pemprov DKI Jakarta juga akan menggelar sebuah festival musik bertajuk Seribu Islands ‘Indie Festival’ di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, pada 22 Juni 2019. Acara dimulai pada pukul 15.30-24.00 WIB. Festival ini menghadirkan sejumlah musisi indie ternama, seperti Pusakata, Danilla, Sisitipsi, dan Alviandra Project.
"Rangkaian acara ini kami hadirkan untuk seluruh warga Jakarta. Bahkan, harapannya, bisa mendatangkan turis domestik maupun mancanegara ," ujar Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dalam keterangannya, Kamis, 20 Juni 2019.
Anies mengajak seluruh warga Jakarta ikut berpartisipasi dan menikmati rangkaian acara yang telah disiapkan. Selain itu, mendukung berbagai karya anak Jakarta. "Karya bangsa kita ini, sehingga ke depannya semakin memajukan perekonomian di Jakarta dengan produk-produk kreatif buatan lokal,” ujarnya.
Pemilihan tema "Wajah Baru Jakarta" bukan tanpa alasan. Kepada wartawan Anies mengatakan, pemilihan tema itu memang untuk mengajak warga melihat perubahan besar yang terjadi di Jakarta. "Wajah baru Jakarta bukan sekadar penampilan fisik tapi pola pikirnya. Misalnya, pembangunan fasilitas transportasi. Dulu nomor satu kendaraan pribadi, baru kendaraan umum, kemudian sepeda dan pejalan kaki. Sekarang berubah," kata Anies di Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juni 2019.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
Saat ini, kata Anies, fasilitas transportasi nomor satu ialah pejalan kaki, kemudian sepeda, kendaraan umum, dan terakhir kendaraan pribadi. Mantan Mendikbud ini mengklaim, masyarakat mulai mengubah prioritas penggunaannya. Ia berharap, di usia yang baru ini, Jakarta akan semakin banyak bebenah.
492 Tahun, sebuah usia yang biasanya sudah merapuh dan menua. Tapi faktanya Jakarta memang terus bersolek mempercantik diri dan memunculkan wajah sebagai ibu kota yang mengacu pada negara-negara maju. Berbagai fasilitas transportasi publik dilengkapi, mulai dari menambah rute Trans Jakarta hingga MRT dan LRT untuk menghubungkan berbagai titik di ibu kota. Jalur trotoar diperbesar, pejalan kaki dimanjakan dengan jalur yang nyaman dan aman.
Dari Sebuah Bandar Kecil
Di awal berdirinya, Jakarta adalah bandar kecil yang menjadi tempat persinggahan dan penghentian kapal-kapal besar dari seluruh dunia. Bandar kecil ini lama kelamaan semakin membesar dan mulai menjadi pusat perdagangan. Sebelum namanya menjadi Jakarta, kota ini tumbuh dengan berbagai nama.
***
Awalnya kota ini menjadi bagian dari Kesultanan Banten atau Sunda Pajajaran, sekaligus menjadi lambang kejayaannya. Kota yang akhirnya menjadi pelabuhan ini diberi nama Sunda Kelapa. Tapi pada 22 Juni 1527, Pangeran Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tanggal penggantian nama ini akhirnya ditetapkan sebagai hari lahir kota Jakarta.
Pelabuhan Sunda Kelapa
Pada 30 Mei 1619, Belanda menyerang Jayakarta dan berhasil merebutnya dari Kesultanan Banten. Belanda lalu mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Pada 4 Maret 1621, Jayakarta resmi berubah menjadi Batavia. Tanggal 1 Maret 1945, pada masa pendudukan Jepang, nama kota ini kembali diubah. Jepang mengganti Batavia menjadi Jakarta. Dan akhirnya nama tersebut terus digunakan hingga saat ini.
Sebagai sebuah pelabuhan, Jakarta adalah kota yang sangat terbuka. Sejarawan Yahya Andi Saputra mengatakan, kota bandar atau kota pelabuhan adalah ibarat orang yang berdiri tegak dan merentangkan tangannya. Sikap berdiri seperti itu adalah sikap yang terbuka dan siap menerima siapa saja.
"Jakarta kota Bandar itu kan dulu disebut Bandar Kelapa, kemudian ketika kerajaan Sunda Pajajaran berkuasa maka dia berubah namanya menjadi Sunda Kelapa. Artinya bandar, kota pelabuhan, yang dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran. Kemudian berubah lagi menjadi Jayakarta, Batavia dan Jakarta. Jadi kota bandar itu artinya kota yang sangat terbuka. Kalau kamu berdiri, kamu bentangkan tangan kamu kamu menghirup udara, maka kamu ibarat kota bandar itu, pelabuhan itu, dan kamu menerima semuanya," ujarnya kepada VIVA.
Sejak awal, tutur Yahya, Jakarta telah menjadi kota yang sangat terbuka, karena memungkinkan orang mampir di situ dari segala suku bangsa. Dengan keterbukaannya itu, Jakarta tumbuh menjadi kota yang multikultur. Dan itu yang terus terbawa hingga sekarang.
Sejak periode setelah kemerdekaan, atau sejak tahun 1945 hingga hari ini, ada 18 orang yang pernah memimpin kota ini.
Gubernur pertama DKI adalah Soewirjo. Ia menjabat sejak 23 September 1945 hingga November 1947. Di masa transisi ini tugas utama Soewirjo adalah melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota. Ia juga membantu menyiapkan upacara pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI.
Batavia Tempo Dulu
Tahun 1948 hingga 1950, posisi Soewirjo digantikan oleh Daan Jahja. Tapi pada 17 Februari 1950 hingga 2 Mei 1951, Soewirjo kembali menjadi Gubernur Jakarta, tugasnya adalah membuat Rencana Dasar Tata Kota. Lalu berturut-turut Gubernur Jakarta adalah Syamsurijal, Sudiro, Soemarno Sosroatmodjo, Henk Ngantung, Ali Sadikin, Tjokropranolo, Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Soerjadi Soedirdja, Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Djarot Syaiful Hidayat, dan kini Anies Baswedan.
Setiap gubernur yang memimpin menorehkan jejak pembangunan. Mulai dari memeratakan air minum, listrik, pertanahan, perumahan, rumah sakit, pembangunan masjid Istiqlal, Gelora Senayan, Monumen Nasional, membangun jalur by pass, pendirian Taman Ismail Marzuki, hingga penataan penduduk.
Gubernur Ali Sadikin termasuk salah satu gubernur yang fenomenal. Di tangan Ali Sadikin Jakarta dimekarkan menjadi lima wilayah, membangun taman rekreasi margasatwa Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, TMII dan Museum Fatahillah, pembukaan Djakarta Fair pertama di Monas, juga membangun terminal di Lapangan Banteng, Jakarta Kota, Tanjung Priok, dan Blok M, juga 50 halte bus di Jakarta.
Ali Sadikin juga membangun pasar Jatinegara, Grogol, dan pasar induk Cipinang. Juga mendirikan rumah sakit khusus kanker di Slipi.
Meski terus tumbuh dan berkembang, Jakarta punya segudang masalah. Pakar tata ruang perkotaan Yayat Supriatana mengatakan, Jakarta punya problem urbanisasi. Sebab, mereka yang datang ke ibu kota tidak semuanya memiliki mental yang kuat, pendidikan dan pengalaman yang bagus, dan bukan yang memiliki skill.
Kebanyakan mereka datang ke Jakarta untuk mendapat sesuatu dari Jakarta, bukan orang-orang yang datang untuk memberi sesuatu. Dan hal itu masih ditambah dengan Jakarta yang belum maksimal memberikan kontribusi serta memanfaatkan para urbanis. Itu sebabnya urbanisasi di Jakarta tak memberikan dampak ekonomis.
"Kalau di negara-negara lain, satu pertumbuhan urbanisasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti di Cina itu 10 persen, Thailand 7 persen, bahkan di Vietnam bisa 8 persen pertumbuhan ekonomi di kotanya. Nah, sementara di Jakarta tidak, pertumbuhan ekonomi kita hanya sekitar 4 persen," ujarnya.
Dilema Kota yang Kian Padat
Sebagai pusat negara, Jakarta menjadi magnet kuat yang terus menarik orang untuk datang dan mengadu nasib. Jumlah penduduknya terus meningkat. Dikutip dari katadata.co.id, tahun 1961 penduduk Jakarta hanya sekitar dua juta. Tapi pada tahun 2017 jumlahnya sudah mencapai sekitar 11 juta. Layaknya kota yang kian padat, problem sosial kemasyarakatan dan lingkungan juga mengiringi.
Tema "Wajah Baru Jakarta," yang dipilih Anies Baswedan sebagai tema ulang tahun Jakarta yang ke 492 digunakan sebagai cara Anies untuk mengajak warganya mengubah perspektif mereka soal menjadi warga ibu kota. Meski usia Jakarta terus menua, tapi semangatnya tetaplah muda.
***
Yayat Supriatna mengakui, pertambahan penduduk dalam sebuah kota besar adalah kewajaran. Pertanyaan besarnya, adalah bagaimana pemerintah kota mengelola kotanya. Sebab, menurut Yayat, idealnya sebuah kota akan meminta setiap penduduk untuk memberikan kontribusi untuk pertumbuhan kota tersebut dan bukan menjadi penumpang gelap yang hanya mendapatkan penghasilan di kota tersebut lalu memberikan kesejahteraan di kota lain.
Tak hanya itu, Yayat juga meyakini, semakin tua usia sebuah kota harus disikapi dengan semangat muda.
"Semakin tua sebuah kota, maka harusnya kota tersebut akan semakin muda dalam konteks layanan infrastruktur, layanan kepada masyarakat, semakin canggih, dan semakin milenia.
"Jadi bukan makin tua makin renta, makin tua makin macet, makin tua makin menderita, makin tua makin banjir, bukan begitu. Justru sebuah kota itu semakin tua usianya, dia harus semakin mampu mengurangi prolematika," ujarnya.
Yayat menambahkan, semakin tua kota itu dia harus mampu memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada. Jadi kalau kota dari tahun ke tahun tidak mampu melakukan inovasi, tidak mampu melakukan terobosan, berarti ada masalah dalam pengelolaan. Artinya orang yang tinggal di kota itu bukannya tambah nyaman, tapi tambah menderita. "Orang yang tinggal di kota itu makin lama harus makin sejahtera," ujar Yayat.
Banjir di Cipinang, Jakarta
Hal lain yang terus menghantui Jakarta adalah banjir. Tapi Yayat punya sudut pandang yang berbeda soal banjir. Menurutnya, ada dua penyebab banjir di Jakarta, yaitu rob dan banjir kiriman. Untuk banjir kiriman, biasanya yang terdampak adalah mereka yang tinggal di bantaran sungai.
Namun, hal yang krusial adalah genangan. Sebab, semakin banyak daerah-daerah di ibu kota yang rendah karena penurunan permukaan tanah, maka potensi genangannya semakin tinggi. Problem besar tentang penduduk yang makin padat, penurunan permukaan tanah, dan urbanisasi yang tak berdampak ekonomi menjadi beban ibu kota. Tak heran wacana pemindahan ibu kota keluar pulau Jawa menguat di era pemerintahan Jokowi.
Bagi Yayat, wacana pemindahan ibu kota justru hal menarik. Sebab, dengan pindahnya ibu kota, maka Jakarta akan lebih mandiri dan akan lebih mampu dikelola oleh masyarakat, oleh para pelaku usaha, dan sebagainya. Saat ini, menurut Yayat, orang berkantor di Jakarta karena ada kantor kementerian, kantor presiden dan lain sebagainya.
Jika semua dipindahkan ke luar Jawa, maka Jakarta tak akan menarik lagi. Dan pusat bisnis bisa bergeser ke wilayah lain yang lebih murah.
"Orang berkantor di Jakarta pusat sekarang itu karena orang melihat di sana itu ada Kalau kantor-kantor itu pindah semuanya ke luar Jakarta, sama saja, Jakarta tidak akan menarik sebagai kota bisnis saya kira. Karena orang akan lari ke BSD, Cikarang, dan sebagainya. Karena kan sudah tidak ada lagi tempat lobby di Jakarta kan, perkantoran akan lebih menyebar ke perbatasan-perbatasan Jakarta. Dan sekarang sudah mulai didorong kota-kota satelit di sekitar Jakarta untuk berlomba-lomba menjadi kota service," tutur Yayat.
Dampak lainnya dari perpindahan ibu kota adalah diperkirakan ada 1,5 juta warga yang ikut pindah. Dan mereka adalah golongan menengah ke atas. "Mereka pasti akan menjadikan kota baru itu sebagai lahan memperkuat ekonominya. Sementara di sini, kelas menengahnya pindah akan muncul kelas menengah baru, pelaku-pelaku bisnis baru, yang akan melihat potensi bisnis baru yang lebih efisien buat mereka," katanya.
Presiden Jokowi meninjau lokasi di Balikpapan, Kalimantan terkait wacana pemindahan ibu kota
Dengan berpindahnya ibu kota, maka kemungkinan akan ada kota-kota bisnis baru di sekitar Jakarta. Sebab, Jakarta tak lagi menarik sebagai kota bisnis dan tempat tinggal. Jika itu terjadi, maka tantangan sebagai gubernur DKI akan lebih berat. Pindah ibu kota akan membuat status DKI hilang karena status itu akan diberikan ke ibu kota yang baru.
"Jika ibu kota pindah, maka posisi Gubernur Jakarta tak akan seksi lagi. Sebab dia hanya sekadar gubernur, bukan gubernur ibu kota negara," ujarnya menambahkan.
Jika ibu kota jadi pindah, dan Jakarta tak lagi menjadi istimewa, Jakarta tetap harus bebenah. Sebab, beban Jakarta cukup besar, Peneliti dari Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Galuh Syahbana mengatakan, Jakarta harus tetap menyelesaikan masalahnya pasca tidak menjadi ibu kota.
Menurut Galuh, Jakarta berpotensi menjadi kota yang lebih rentan untuk mampu menanggulangi masalah. Dalam perspektif ancaman bencana, sampai saat ini masalah banjir belum ada penyelesaian yang maksimal. Apa lagi jika Jakarta akan dijadikan pusat bisnis dan penghubung global di Indonesia. Masalah Jakarta demikian kompleks, dan pemerintah provinsi dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat untuk membenahinya. (umi)
Baca Juga
Dari Bandar Kelapa hingga Pusat Kekuasaan