Merevisi Pemilu Serentak

Ilustrasi Warga mengikuti pemungutan suara ulang pemilihan umum (pemilu) 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA – Suasana syukur dan lega dirasakan para pegiat dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak begitu Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Hamdan Zoelva, di ruang sidang mengetuk palu di atas mejanya, usai membacakan putusan MK. Saat itu hari Kamis, tanggal 23 Januari 2014, lebih dari lima tahun lalu.

Sidang MK, setelah memakan waktu berbulan-bulan, ketika itu mengabulkan sebagian permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang menginginkan pemilu digelar secara serentak, baik untuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif di tingkat pusat dan daerah. Namun, menurut hakim, ajang lima tahunan tersebut tidak bisa segera dilangsungkan untuk Pemilu 2014, yang saat itu akan berlangsung kurang dari tiga bulan lagi.

"Pelaksanaan Pemilihan Umum serentak berlaku untuk tahun 2019 dan Pemilihan Umum seterusnya," ujar Hakim Hamdan Zoelva sebagai pemimpin sidang  saat membacakan putusan di gedung MK, seperti yang diberitakan VIVA.

Kendati tidak semua permohonan koalisi itu dipenuhi MK, namun ada agenda utama mereka yang diluluskan: yaitu keinginan agar Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak akhirnya direstui. Pakar komunikasi politik Effendi Gazali saat itu menyebut putusan dari MK tersebut sebagai kemenangan rakyat, walau saat itu tidak bisa segera dilaksanakan pada Pemilu 2014.

Salah satu persidangan di Mahkamah Konstitusi

Effendi turut mendukung diselenggarakannya Pemilu Serentak, yang mengubah tradisi pemilihan terpisah presiden dan legislatif yang dilakukan sejak Pemilu 2004. Pada Januari 2013, Effendi bersama rekan-rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.

Pihak pemohon menilai Pilpres setelah Pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) merupakan pemborosan dan dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945. "Seharusnya dana itu digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain warga negara," ujar Effendi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2013, seperti yang diberitakan VIVA waktu itu.

Selain itu, dengan pemilu yang tidak serentak maka kemudahan warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya secara efisien, terancam. "Hak pilih dan kemampuan berpolitik warga negara akan mengalami kerugian konstitusional jika Pasal-pasal dalam Undang-Undang ini masih diberlakukan," kata dia.

Jika pemilu presiden dan wakil presiden dengan Pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak, maka pemilih akan menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan efisien.

"Jadi kalau kita yakin memilih presiden tertentu, kita juga akan memilih calon legislatif dari partai yang sama dengan presiden yang kita pilih. Kita juga bisa memilih legislatif dari partai tertentu, dan memilih presiden dari partai lain. Itu hanya bisa terjadi kalau Pemilu presiden dan legislatif serentak," ungkap Effendi.

Effendi Ghazali

Keuntungan dari pemilu serentak lainnya adalah setiap partai politik bisa mengajukan calon presiden. "Atau partai-partai politik bisa bersama-sama mengusulkan, jadi tidak mesti satu partai satu calon presiden," tegas Effendi saat itu.

Permohonan Pemilu Serentak akhirnya dikabulkan MK. Dikutip dari hukumonline.com, salah satu alasan MK mengabulkan permohonan pemilu serentak adalah pemilu yang terpisah, antara pileg dan pilpres, dianggap menyebabkan negosiasi politik terlebih dahulu antara calon presiden dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.

Sedangkan pilpres dinilai harus menghindari terjadinya tawar menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang.

Hampir semua pihak menerima putusan itu dengan sikap yang positif, tidak terkecuali Effendi Gazali selaku pemohon. Begitu juga elemen masyarakat lain, dari ahli hukum tata negara, sampai dengan anggota DPR. Secara umum mereka menilai putusan itu sebagai putusan yang arif dan bijaksana.

Tiga tahun kemudian, putusan MK itu berlanjut dengan keluarnya payung hukum bagi Pemilu Serentak.

Setelah ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 mengesahkan Undang-Undang Nomor (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 secara serentak.

Kondisi Berbeda

Namun, kondisi berbeda ternyata terjadi pada 2019. Pemilu serentak yang diharapkan lebih baik dan ideal, sesuai UUD 1945, faktanya malah menimbulkan banyak korban jiwa khususnya dari sisi para penyelenggara pemilu dan petugas keamanan. Padahal proses Pemilu belum sepenuhnya tuntas, masih ada tahap penghitungan suara secara riil (real count) dan pengesahan KPU atas siapa pemenang Pilpres dan Pileg.
***

Berdasarkan data terakhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis, 25 April 2019, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal menjadi 225 orang. Sedangkan mereka yang sakit sebanyak 1.470 orang.

Sementara itu, dari Badan Pengawas Pemilu, tercatat setidaknya 33 orang juga meninggal dunia, dan dari Kepolisian 16 personel yang gugur saat menjalankan tugas mengamankan pemilu.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengakui pemilu serentak kali ini belum ideal, salah satunya karena banyak anggota KPPS yang meninggal. Artinya, ada yang masih perlu diperbaiki.

Dia berpandangan ke depan pemilu, apakah pileg dan pilpres, atau pusat dan daerah, harus dipisah. Misalnya DPR RI, DPD RI dan presiden bersamaan, kemudian pilkada, DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan. "Jadi kali ini harus dievaluasi," katanya kepada VIVA, belum lama ini.

Petugas KPPS meninggal dunia

Andre berpandangan, sedikit banyak para korban yang meninggal itu akibat dampak dari pemilu serentak. Digabungnya pileg, pilpres, juga DPD membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra sehingga mereka kelelahan dan akhirnya banyak menimbulkan korban jiwa. Dia pun tak segan menganggap pemilu kali ini adalah pemilu terburuk. Selain banyak korban, juga banyak kecurangan.

Direktur Kampanye Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Benny Rhamdani, juga sepakat bahwa pemilu serentak 2019 ini harus dievaluasi, terutama dari segi regulasi. Di luar masalah korban jiwa, masyarakat jadi lebih mementingkan pilpres dibanding pileg. Juga terjadi pragmatisme di kalangan mereka dalam konteks pemilihan para caleg.

Kemudian, waktu kampanye yang begitu lama, tujuh bulan, juga menjadi masalah tersendiri. Apalagi calonnya hanya dua sehingga terjadi pembelahan di masyarakat. Ujungnya merusak persatuan masyarakat.

Benny menambahkan, pihak-pihak yang dahulu menginginkan pemilu serentak karena efisiensi anggaran terbukti salah. Karena menurutnya, anggaran yang dikeluarkan untuk pemilu sekarang justru lebih besar dari pemilu sebelumnya.

Sangat Berat

Mantan anggota KPU, Sigit Pamungkas menuturkan, pemilu serentak ini dari sisi penyelenggaraan memang sangat berat karena menggabungkan lima jenis pemilihan dalam satu waktu dan harus selesai dalam satu hari.
***

Di negara lain, waktunya tidak satu hari, bahkan ada yang satu bulan. Mereka juga hanya dua atau tiga jenis pemilihan. Sedangkan di Indonesia, lima jenis pemilihan dilaksanakan dalam waktu satu hari dan harus selesai.

"Dari sisi manajemen penyelenggara pemilu jadi sangat berat," kata Sigit saat dihubungi VIVA, belum lama ini.

Baginya, ada dua hal yang menjadi sebab munculnya berbagai persoalan saat ini. Pertama, dari sisi sistem pemilu yang membebani penyelenggara pemilu. Kedua, dari sisi manajemen penyelenggara pemilu.

Sigit menilai, penyelenggara pemilu seharusnya lebih bisa mengantisipasi persoalan yang muncul ketika pemilu dilaksanakan. Misalnya, terkait dengan penghitungan suara melalui sistem informasi penghitungan (Situng), mestinya sistem yang ada harusnya handal yaitu mampu meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesalahan input.

Kemudian, handal dalam hal dapat dipakai dengan efektif, tidak lelet. Lalu handal dari sisi kemungkinan kesalahan. "Bisa ditempuh dengan misalnya sistem itu memiliki alert atau peringatan atas data yang tidak wajar," katanya lagi.

Petugas KPPS menghitung suara sampai malam

Sigit menjelaskan, sistem peringatan tersebut. Misalnya sudah diketahui jumlah pemilih di setiap TPS ada 300, atau 500, ditambah 2 persen surat suara, tentu jumlahnya sudah diketahui.

Nah, jika dalam proses penginputan itu terjadi kelebihan jumlah, atau kesalahan data, maka muncul suatu peringatan dalam layar komputer. Bisa suatu informasi, atau warna tertentu. Menurutnya, bila sistem itu ada, maka tidak perlu muncul kegaduhan publik atas kesalahan-kesalahan dalam proses input.

Sayangnya, hari ini sistem seperti itu tidak ada sehingga ketika terjadi kesalahan, human error, orang mengasosialan dengan kecurangan. Padahal sebetulnya tidak karena sifatnya yang sporadis.

"Tapi kalau sistem didesain sedemikian rupa maka kesalahan bisa diminimaliasir," ujar Sigit.

Satu lagi yang disoroti oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu adalah soal administrasi dokumen. Dari lima jenis pemilihan, kelima-limanya disimpan dalam dokumen yang warnanya relatif sama. Seharusnya bisa dibedakan sehingga petugas di tingkat TPS, dan PPK nantinya dengan cepat bisa mengetahuinya.

Sistem yang ada saat ini mengandalkan kode huruf dan angka. Karenanya, dia mengusulkan sistem coloring, yaitu membedakan dokumen dari warnanya.

Ditata Ulang

Lebih dari itu, pria yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu menilai, sistem pemilu serentak, ada lima surat suara, memang harus ditata ulang. Salah satu solusi adalah dengan membaginya ke dalam pemilu nasional dan lokal.
***

Pemilu nasional terdiri dari pemilihan presiden, DPR RI, DPD. Sedangkan lokal terdiri dari pemilihan DPRD dan kepala daerah. "Jadi dipisah, membagi beban," kata dia.

Mengapa pembagian berdasarkan kategori nasional dan lokal, bukan dari jenis pemilihan, misalnya pileg dan pilpres? Sigit mengemukakan dari putusan MK pada 2014, pemilu yang pisah antara legislatif dan presiden dianggap tidak konstitusional. Tapi memang pemberlakuannya baru pada 2019.

Untuk penggabungan, menurutnya bisa ditafsirkan. Apakah lima seperti sekarang, atau pipres dan pileg tetap digabung, lalu dipisah dengan pemilu yang mengandung representasi politik lokal.

Logistik Pemilu

Sigit berpendapat pemisahan dengan kategori tersebut juga menguntungkan pemilu di tingkat lokal yaitu menjadi lebih terekspose. Selain itu, jika suatu partai politik mengalami kekalahan, bisa menjadi peringatan bagi mereka di tingkat nasional.

"Kalah di lokal, bisa jadi warning untuk nasional. Wacana politik lokal juga lebih kelihatan," katanya.

Bila akhirnya benar dipisah, maka Sigit menilai dari sisi penyelenggara pemilu tugasnya lebih ringan. Kemudian, pemilih lebih mudahkan untuk menyalurkan hak suara mereka, memilih dengan lebih hati-hati, cermat. Lalu dari sisi kampanye juga bisa lebih terekspose, tidak seperti sekarang yang semua tenggelam. Hanya Pilpres yang mengemuka.

Sigit juga menyarankan agar undang-undang yang digunakan sekarang perlu diperbaiki. Pada 2014, waktu yang dibutuhkan untuk menetapkan hasil pemilu nasional untuk pileg 30 hari. Begitu juga dengan Pilpres, 30 hari. Jadi  setelah pemilihan harus sudah ditetapkan secara nasional. Tapi sekarang, dengan pemilu yang digabung, waktu yang disediakan hanya 35 hari.

Padahal, proses rekapitulasi berjenjang membawa kerumitan tersendiri. Apalagi jumlah TPS yang bertambah, dari dulu pada 2014 sekitar 500 ribu, menjadi 800 ribu untuk 2019. Kondisi ini tentu saja membuat beban Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa/kelurahan, kemudian Panitia Pemungutan Suara Kecamatan (PPK) di kecamatan menjadi lebih berat lagi.

"PPS bebannya menjadi berat, padahal ruang hari tetap," kata Sigit.

Belum jenjang dari provinsi ke pusat yang juga relatif singkat. Padahal, dinamika rekapitulasi cukup tinggi. Sigit pun mengaku khawatir, apakah batas waktu yang disediakan itu mencukupi atau tidak.

Ke depan, Sigit mengusulkan bila pileg dan pilpres masih dilaksanakan secara serentak maka waktu yang dibutuhkan untuk penetapan hasil adalah 45 hari. Hal itu mempertimbangankan beban kerja yang bertambah, jumlah provinsi yang menjadi 35, juga dinamika politik yang terjadi.

Penghitungan suara

Terkait apakah pemilu sekarang lebih buruk dari pemilu sebelumnya bahkan menjadi yang terburuk, Sigit tidak sepakat. Alasannya, penyelenggara pemilu saat ini bekerja dalam konteks yang berbeda dengan pemilu sebelumnya.

Sigit mengatakan, bahwa konteks sekarang ini sangat berat. Pertama, sekarang pemilu serentak, sedangkan dulu dipisah, dibagi. Kondisi itu membuat beban menumpuk pada satu waktu penyelenggaraan pemilu, kemudian TPS bertamnbah.

"Dulu pekerjaan bisa diangsur, sekarang harus dikerjakan secara bersamaan. Itu satu," kata Sigit.

Kedua, lanjutnya, saat ini konteks perkembangan teknologi informasi, media sosial jauh berbeda dengan yang dulu. Kalau dulu, penggunaan media sosial terbatas, sekarang menjadi sesuatu yang masif sehingga membuat semua individu terpapar dengan berbagai informasi kontestasi. Situasi itu menjadikan tekanan politik tersendiri terhadap setiap orang. Terlebih, informasi yang sampai ke mereka tidak sepenuhnya benar.

Ketiga, pertarungan politik antar kontestan pemilu sendiri nuansanya lebih keras dibanding dengan dulu yang makin memberatkan proses penyelenggaraan pemilu. Atas dasar itu, dia berpandangan bahwa publik tidak bisa menjustifikasi lebih buruk daripada yang lain. "Tidak serta merta," katanya.

Secara umum, Sigit menilai penyelenggaraan pemilu kali ini bagus, terlepas dari pernak-pernik persoalan yang muncul. Dia juga percaya terhadap kredibilitasan KPU beserta jajarannya.

Aktivitas Super Kolosal

Sigit mengingatkan bahwa pemilu merupakan aktivitas super kolosal di sebuah negara. Hampir tidak ada aktivitas yang bisa melampauinya kecuali perang. Tapi pemilu lebih rumit dari perang, karena dia menghindari korban. Sedangkan dalam perang, korban bukan masalah.
***

Dalam pemilu, timbulnya korban menjadi sesuatu yang harus dihindari. Kekerasan juga dihindari. Meskipun memang, keduanya memiliki karakter yang hampir sama yaitu memobilisasi massa, berbagai sumber daya yang dibutuhkan secara masif.

Oleh karena pemilu merupakan aktivitas super kolosal, maka mengharapkan tidak ada masalah adalah sikap yang tidak masuk akal. Walaupun semua pihak harus meminimalir masalah. "Menzerokan problem itu tidak mungkin, tapi memang harus diperkecil," kata Sigit.

Dalam konteks itu, Sigit menilai respons penyelenggara pemilu dan pemerintah sudah cukup bagus. Mereka bergerak untuk mengatasi masalah, termasuk para korban yang meninggal juga diupayakan agar mendapatkan santunan.

Proses penghitungan suara di Papua

Sedangkan yang terkait dengan pemilu, dugaan kecurangan juga sudah diambil langkah-langkah solusi seperti menggelar pemungutan suara ulang. Masalah dalam penginputan data juga diadakan perbaikan.

Sigit menegaskan bahwa undang-undang juga perlu direvisi. Bagaimana menciptakan regulasi pemilu yang memungkinkan para petugas bekerja secara normal, dan manusiawi. Tidak full time, 24 jam, ada ruang untuk istirahat yang cukup sehingga tidak kelelahan, atau kecapekan. Adanya dokter-dokter keliling di setiap TPS juga menjadi salah satu pertimbangan.

Bicara masalah korban, Sigit mengakui pada zaman dia menjadi anggota KPU, juga ada petugas KPPS yang meninggal dunia. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak saat ini.

Saatnya Gunakan Teknologi

Terpisah, kolega Sigit yang juga pernah menjadi anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, juga mengakui ada masalah yang muncul dari penyelenggaraan pemilu kali ini. Tapi dia berpendapat itu bukan sesuatu yang disengaja apalagi bagian dari satu bentuk kecurangan. Selain itu, beban penyelenggara pemilu juga memang bertambah.
***

Karena itu, Hadar menilai bangsa Indonesia harus mencari tata cara pelaksanaan pemilu yang lebih sederhana, lebih simpel. Terlepas dari apakah sistem yang dipakai nantinya, pemilu serentak, atau terpisah secara nasional dan lokal.

Salah satu cara yang dia usulkan adalah dengan mulai menggunakan teknologi informasi misalnya dari level TPS. Bukan dalam hal pencoblosannya, tapi bagaimana mengecek pemilih itu memang berhak memilih atau tidak atau proses autentifikasi.

Selama ini, jika pemilih masuk TPS, mereka dicatat, atau dicek. Cara itu dianggap memakan waktu, butuh salinan, penulisan yang panjang. "Carilah satu teknologi untuk itu," kata Hadar.

Kemudian, sistem rekapitulasi manual yang saat ini dipakai juga dia rasa tidak efektif, memakan waktu sampai 30 hari lebih. Akibatnya, ada saja pihak-pihak yang berusaha mengklaim telah memenangkan pemilu atau menuduh pihak lain curang. Tapi, untuk proses pencoblosan perlu dipertahankan.

Begitu TPS selesai, barulah menggunakan teknologi informasi untuk proses rekap suara. Menurut Hadar, cara itu bisa membuat beban kerja di lapangan menjadi berkurang.

Dia juga terbuka bila sistem pemilu nanti diubah, dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Tapi, dia mengingatkan jika prosesnya masih seperti sekarang, banyak kertas yang harus diisi, ditandatangani, hasilnya pun menunggu berbulan-bulan, maka problem yang sama akan tetap muncul.

Hadar menyarankan begitu pemilu ini selesai, KPU sudah menetapkan hasilnya, dan gugatan di MK tuntas, segera evaluasi sistem pemilu secara mendalam dan menyeluruh. Mulai dari mengubah undang-undang pemilu.

Jangan sampai perubahan undang-undang itu dibahas jelang pemilu dilaksanakan. Akhirnya menjadi terlambat, mepet, dan tidak ada waktu. Yang terjadi justru tidak masuk kepada subtansi persoalan, tapi hanya memenuhi kepentingan pemilu berikutnya saja alias pragmatis.

Rapat UU Pemilu di DPR

Terkait komparasi pemilu sekarang dengan pemilu sebelumnya, apakah lebih buruk, ataukah malah terburuk, Hadar tidak sepakat. Bahwa ada masalah, jatuh korban di kalangan penyelenggara pemilu, juga aparat kepolisian, dugaan pelanggaran pemilu, dia setuju.

Hadar mengatakan persoalan-persoalan itu sebaiknya diselesaikan. Soal adanya korban meninggal, pada 2014 juga terjadi meskipun tidak sebanyak sekarang dan secara umum akibat kecelakaan.

Kemudian terkait kecurangan, dia tidak setuju bila disebut terstruktur dan masif. Dia menilai tuduhan itu terlalu berlebihan dan lebih kepada adanya motif politik.

Hadar percaya KPU hari ini tetap netral, independen, dan profesional dalam bekerja. Karena itu, setiap ada dugaan kecurangan, dia menyarankan agar Bawaslu segera memberikan rekomendasi dan KPU melaksanakannya.

Terkait dengan revisi undang-undang, Hadar berharap aturan presidensial treshold ke depan bisa dihapus. Dia melihat aturan itu membatasi kemungkinan munculnya pemimpin-pemimpin baru bangsa. Dan bila tetap dipertahankan maka kekuatan politik yang bertarung kemungkinan besar tidak berubah.

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Refli Harun berpendapat pemilu era reformasi itu adalah pemilu yang penuh dengan kekurangan dan kecurangan. Tetapi kalau kekurangan dan kecurangan itu diorkestrasikan oleh hanya satu kekuatan saja, dia menilai terlalu naif.

Dia menyampaikan semua kekuatan pasti berlaku curang. Karena ini menyangkut soal hulu dan hilir. "Hulunya, yang namanya management pemilu dibuat lemah sekali. Mulai dari pembentukan undang-undangnya, sampai yang namanya rekrutmen penyelenggara pemilunya," kata Refli kepada VIVA.

Untuk perbaikan, Refli mengatakan yang dibutuhkan pertama adalah komitmen presiden terpilih untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Kedua, Undang-undang Pemilu tidak dibuat oleh politisi tapi disiapkan oleh ahli-ahli, pakar-pakar pemilu, pakar hukum, pakar politik yang konsen di wilayah ini, dibuat seideal mungkin dengan exercising yang luar biasa.

"Nanti di DPR tinggal mengesahkan, formalnya saja," katanya.

Kemudian, penyederhanaan badan penyelenggara pemilu. Refli mengusulkan hanya ada dua yaitu KPU dan Bawaslu. Tidak perlu lembaga lain seperti DKPP. Setiap ada sengketa maka Bawaslulah tempat menyelesaikannya. Jika ada kecurangan di kalangan KPU, maka KPU sendirilah yang akan menyelesaikannya.

Terakhir, Refli mengusulkan agar pemilu tidak boleh mahal. Untuk itu, sistem pemilu memang harus diperbaiki, bisa kembali pada proporsional tertutup. Dengan demikian, pertarungannya jadi lebih mudah, tidak menyuburkan money politics di kalangan masyarakat, dan juga mengurangi dampak orang-orang gila setelah tidak terpilih. (ren)