Jejak Pemantau Pemilu di Tanah Air

sorot pemantau pemilu 2019
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Rombongan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat mendatangi sejumlah Tempat Pemungutan Suara atau TPS di Depok, Jawa Barat, Rabu, 17 April 2019. Kehadiran mereka untuk meninjau langsung pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Indonesia. 

Rombongan itu sempat mengunjungi dua TPS di kawasan Pondok Cina, Kecamatan Beji, tepatnya di TPS 27 dan TPS 28. Kedatangan rombongan tersebut diapresiasi Ketua Komisi Pemilihan Umum atau (KPU) Kota Depok, Nana Shobarna. 

“Tentu menurut kami ini bagian dari bentuk perhatian dunia luar terhadap Pemilu kita,” katanya.

Para pemantau asing saat memantau Pemungutan Suara Pemilu 2019

Hari itu, Indonesia menggelar pemilu serentak, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Seperti dikutip dari BBC, dengan 193 juta pemilih, menurut Lowy Institute, sebuah lembaga kajian strategis yang berbasis di Australia, pemilu di Indonesia menjadi ajang pilpres secara langsung terbesar di dunia.

Para pemantau dari dalam dan luar negeri, ikut mengawasi pesta demokrasi lima tahunan di Tanah Air. Terdapat 138 lembaga yang ikut memantau jalannya Pemilu 2019. 

Jumlah itu merupakan terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia. "Baru kali ini pemilu kita akan dipantau oleh lembaga pemantau sebanyak itu," ujar anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin.

Ketentuan terkait pemantau pemilu diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berdasarkan Pasal 435-447 beleid tersebut, pemantau pemilu harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, independen, teregistrasi, memperoleh izin dari Bawaslu, Bawaslu provinsi, atau Bawaslu kabupaten atau kota. 

Lembaga pemantau, terutama yang dari luar negeri pun harus mematuhi aturan di Indonesia. Aturan itu di antaranya, pemantau dari luar negeri dilarang membandingkan aturan Pemilu Indonesia dengan aturan di negara lain. 

Dengan kehadiran para pemantau dan delegasi luar negeri, KPU ingin menunjukan bahwa pemilu di Indonesia sangat terbuka, transparan, dan bisa diakses oleh semua orang.  

Akses tak hanya di TPS. Bahkan dari rumah, masyarakat juga bisa mengakses siapa pemilihnya, siapa peserta pemilu, hingga profilnya. Pada bagian akhir, mereka pun bisa mengakses hasil penghitungan suara. 

“Ini kita mau tunjukan kepada mereka,” ujar Ketua KPU RI Arief Budiman, Kamis, 18 April 2019.

Ketua KPU RI, Arief Budiman

Menurut Arief, keterlibatan pemantau dari dalam dan luar negeri di pemilu sudah mulai sejak 1999. Ada nilai positif dengan keterlibatan pemantauan dari dalam dan luar negeri di setiap pemilu.  

Pertama, penyelenggara pemilu makin bekerja profesional, transparan, bekerja cermat. Kedua, hal ini menjadi bagian dari 'promoting our democracy.' 

“Jadi kita beritahu pada dunia luar bahwa Indonesia ini walaupun pemilunya banyak, negaranya besar, kulturnya beragam, tapi bisa lho bikin pemilu yang baik, pemilu yang fair,” kata Arief.

Pada Pemilu 1999, pemantau dari dalam negeri, di antaranya ada Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR). Sementara itu, dari luar negeri, seperti dikutip dari salah satu media nasional, pemantau asing yang terlibat pada Pemilu 1999, di antaranya Carter Center, Observation Unit European Union (OUEU), ASEAN Network For Free Election (Anfrel), National Citizen Movement for Free Election (Namfrel), dan International Republican Institute (IRI).

Hingga kini, KIPP yang dibentuk pada 1996 masih terus ikut memantau pemilu. Menurut Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia Kaka Sumanta, KIPP selalu hadir di setiap pemilu.

Untuk Pemilu 2019, keikutsertaan KIPP karena merupakan mandat kongres KIPP pada Januari 2018. Salah satu kesimpulannya yaitu menurunnya kuantitas dan kualitas pemantauan pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun sejak 2004 sampai saat ini. 

“Itu yang menjadi latar belakang,” ujar Kaka.

Dalam melibatkan relawan, KIPP menggunakan pola yang agak berbeda pada Pemilu 2019 dengan Pemilu 1999. Pada Pemilu 1999, menurut Kaka, mempertemukan dua sektor, antara masyarakat yang ingin berubah saat itu, kemudian adanya dukungan funding asing ketika itu.

“Kalau sekarang ini, kita mencoba membangun kerelawanan di setiap daerah sehingga sampai saat ini kami belum bekerja sama dengan pihak asing untuk melakukan pemantauan itu,” kata Kaka.

Begitu juga JPPR, hingga saat ini lembaga yang dibentuk pada 1999 di Yogyakarta itu masih memantau pemilu. Pada Pemilu 2019, menurut Manajer Pemantauan JPPR Indonesia, Alwan Ola Riantoby, lembaganya fokus pada dua hal sebagai ciri khas JPPR, yaitu pemantauan tahapan pemilu dan pendidikan pemilih. 

Ada yang membedakan kondisi politik antara pemilu sebelumnya dan saat ini. Hal itu lebih pada iklim politik yang tidak substansial yaitu dipenuhi dengan hoaks (hoax) dan ujaran kebencian. 

“Pada Pemilu 2014, iklim pemilu kita tidak banyak diwarnai oleh isu hoax dan ujaran kebencian sehingga iklim politiknya relatif aman,” ujar Alwan.

***

Animo Relawan

Alwan melanjutkan, animo masyarakat dalam melakukan pemantauan semakin menurun. Namun, JPPR terus berupaya untuk tetap melakukan kerja-kerja pemantauan.

Pemantauan JPPR pada Pemilu 1999 terdapat 220.000 relawan, Pemilu 2004 ada 140.000 relawan, Pemilu 2009 terdapat 13.500 relawan, dan Pemilu 2014 ada 1.300 relawan. Tahun ini,  JPPR melakukan pemantauan pada 15 provinsi dengan menurunkan relawan berjumlah 85.000 orang.

Sementara itu, Kaka menilai, animo masyarakat masih tinggi untuk melakukan pemantauan. “Sebenarnya kalau ada upaya untuk memfasilitasi masyarakat, secara minimal hanya dengan atribut, kostum, itu akan banyak sekali,” ujarnya. 

Sebab, di tengah masyarakat seperti ada kejenuhan melihat polarisasi pertarungan calon presiden dan calon wakil presiden ini, menimbulkan ketegangan antarkelompok, sehingga mereka bosan melihat situasi itu. Kemudian, mereka ingin mencari hal yang berbeda, dan ternyata bertemu di pemantau.

Pemantau sedang mengawasi pelaksanaan Pemilu di Indonesia

Pada Pemilu 2019, tak hanya KIPP dan JPPR. Ada juga  pemantau lainnya, Kawal Pemilu dan Matamassa. Pada tahun ini, menurut penggagas Kawal Pemilu, Rully Achdiat, pihaknya melakukan tabulasi real count seperti saat Pemilu 2014. Namun, tahun ini sumber data adalah C1 Plano dan mentabulasi tidak hanya pilpres tapi juga pileg DPR.

Pada 2014, Kawal Pemilu dibentuk atas respons klaim kemenangan dua pihak yang tidak didasarkan pada data. Kondisi itu membuat ketidakjelasan, terlebih KPU saat itu sudah mengumumkan akan menetapkan pemenang dua pekan setelah pelaksanaan pilpres. 

Tahun 2019, situasi tidak jauh berbeda. Karena pelaksanaan pemilu serentak dan jumlah TPS yang naik dari 470 ribu menjadi 810 ribu, KPU berencana menetapkan pemenang dalam waktu 35 hari. 

“Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan kerawanan. Kawal Pemilu bertujuan menjadi alternatif data pembanding KPU tapi menyajikan data real count lebih cepat dari KPU,” ujar Rully.

Adapun lembaga pemantau MataMassa menawarkan pemantauan independensi berdasarkan informasi yang berasal dari lapangan dan dapat diverifikasi kebenarannya. “Sistem verifikasi yang berjenjang, membuat semua informasi yang masuk tidak otomatis diterima,” ujar Project Officer MataMassa, Jekson Simanjuntak.

MataMassa memutuskan menjadi pemantau tahun ini, karena sudah punya pengalaman pada Pemilu 2014. Sekaligus ingin berpartisipasi di Pemilu 2019 yang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. 

Jekson pun menilai, pemantauan mereka sangat efektif karena semua informasi didapat langsung dari lapangan dan dikirimkan secara langsung oleh setiap pemantau MataMassa. (art)