Menakar Peluang Jokowi
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – "Jangan lupa, saya ingatkan tanggal 17 April itu kita pakai baju putih. Karena yang mau dicoblos nanti bajunya putih," Joko Widodo di depan ribuan pendukungnya di lapangan Bukit Gelanggang, Dumai, Riau.
Sore itu, Selasa, 26 Maret 2019, dari atas panggung dengan mikrofon di depan wajahnya, Calon Presiden Nomor Urut 01 itu berapi-api menyampaikan pesan kepada massa pendukungnya. Sisa waktu tiga pekan jelang pencoblosan Pilpres 2019 terus diingatkan Jokowi.
Sorakan dengan mengelu-elukan calon presiden petahana itu pun bersambut dari bawah panggung. Ribuan pendukung yang menanti sejak siang berlomba-lomba mengabadikan pria 57 tahun itu dengan kamera ponsel.
Kampanye Jokowi
Disambut riuh pendukungnya, Jokowi makin percaya diri menyampaikan orasinya. Pengalaman 4,5 tahun yang sudah dilaluinya memimpin RI kembali diceritakan oleh eks Gubernur DKI itu. Namun, cerita Jokowi ini soal dirinya yang kerap dihina, difitnah selama menjadi RI-1. Meski diserang dengan hujatan dan fitnah, ia mengklaim selalu sabar.
"Saya diam, saya diam, saya sabar, sabar ya Allah, sabar ya Allah. Tetapi hari ini saya minta, saudara-saudara sekalian meluruskan fitnah-fitnah itu," ujar Jokowi.
Rapat Akbar di Dumai merupakan salah satu rangkaian kampanye terbuka Pilpres 2019 yang dimulai sejak 23 Maret 2019. Kini, dengan sisa waktu jelang pencoblosan di Pilpres 2019, mantan Wali Kota Solo ini punya tantangan berat mempertahankan kursi RI-1 dari Prabowo Subianto.
"2014 ini beda dengan 2019. Di survei, Jokowi boleh di atas angin, tapi lihat faktanya pelan-pelan Prabowo juga mengejar," kata founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi), Hendri Satrio kepada VIVA, Kamis, 11 April 2019.
Sebagai petahana, Jokowi memiliki peluang cukup besar untuk menang dan mempertahankan kursi RI-1. Namun, dengan pengalaman 4,5 tahun yang dilalui, Jokowi jangan sampai membuat blunder dengan janji program barunya.
Menurut dia, masyarakat pemilih sudah kritis dalam memberikan pilihan politik. Program yang sudah dijalankan Jokowi dan belum akan menjadi perhatian. "Jangan buat janji-janji harapan baru yang sulit dipenuhi realitanya. Ini beliau petahana, sudah terlihat oleh rakyat," kata Hendri.
Lebih Dinamis
Persaingan memperebutkan kursi RI-1 di Pilpres 2019 dinilai lebih dinamis. Dinamika persaingan ini berbeda dengan Pilpres 2014. Meski capres yang bersaing sama yaitu Jokowi dan Prabowo Subianto.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta Adi Prayitno mengatakan, dari dinamika saat ini, Jokowi unggul di sejumlah lembaga survei. Namun, keunggulan Prabowo bukan di survei melainkan kedatangan jumlah massa yang hadir saat kampanye terbuka.
"Dua keyakinan yang berbeda ini yang saya lihat akan dijadikan bekal preferensi untuk memenangkan Pilpres 2019. Persaingan lebih ketat dan dinamis. Pemenangnya nanti saya prediksi hasil perbedaannya tipis," kata Adi kepada VIVA, Jumat, 12 April 2019.
Suasana kampanye akbar pasangan 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno di GBK, Jakarta
Mengukur peluang mempertahankan kursi RI-1, Jokowi menurutnya punya beberapa kelebihan. Salah satunya tingkat kepuasan publik yang merujuk survei masih cukup positif terhadap Jokowi. Eks Gubernur DKI itu punya keunggulan karena sudah pengalaman memimpin RI selama 4,5 tahun. Profil Jokowi juga dinilai sebagai figur pemimpin yang sederhana dan merakyat. Gambaran ini menurutnya masih bisa menjadi magnet elektoral terutama di daerah.
"Artinya butuh pemimpin yang merakyat, apa adanya. Secara gestur, tubuh Jokowi sederhana. Dan, itu dikapitalisasi oleh Jokowi," ujarnya menambahkan.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Hasto Kristiyanto menilai, peluang duet nomor urut 01 itu untuk merebut kepemimpinan RI periode 2019-2024 cukup besar. Ia merujuk dari hasil sejumlah lembaga survei, Jokowi-Ma'ruf unggul.
Dia juga mengklaim, dari pelaksanaan debat capres-cawapres, Jokowi-Ma'ruf unggul dibanding Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Lalu, dari segi pengalaman, Jokowi punya kelebihan karena sudah 4,5 tahun merasakan sebagai kepala negara.
"Pengalaman pak Jokowi sangat konkret, makanya mampu mengubah Indonesia menjadi iklim yang sangat menarik bagi investasi," ujar Hasto kepada VIVA, Rabu, 10 April 2019.
Janji Manis
Jelang pencoblosan, Jokowi sebagai petahana memiliki kelemahan terkait kepuasan di bidang ekonomi. Adi Prayitno menilai, tingkat kepuasan di bidang ekonomi masih lemah. Sektor ini pula yang menjadi sasaran kubu Prabowo menyerang pemerintahan Jokowi.
"Satu-satunya kelemahan Jokowi memang tingkat kepuasan publik di bidang ekonomi. Angka pengangguran dan harga sembako itu jauh di luar ekspektasi lainnya," ujar Adi.
Kelemahan di sektor ekonomi ini dinilai belum bisa diatasi Jokowi. Kondisi ini yang tak bisa disikapi kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) dengan memberikan argumen rasional ke publik. Faktor ini yang menjadi kekurangan Jokowi sebagai petahana dalam bersaing dengan Prabowo.
Jokowi meluncurkan Kartu Sakti
Program janji Jokowi untuk lanjut periode kedua juga jadi sorotan. Tiga ‘kartu sakti’ yaitu Kartu Prakerja, Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah yang disodorkan Jokowi dinilai tak menjawab 'kegagalan' era Jokowi di periode pertama. Sebab, di periode kedua ini, Jokowi sebagai petahana seharusnya sudah membuktikan dengan hasil di sektor ekonomi. Pembangunan sektor infrastruktur dinilai bukan jawaban terkait kesulitan ekonomi rakyat.
"Tiga kartu sakti itu blunder menurut saya. Waktu Jokowi luncurkan KIP, KIS itu pas 2014 bagus jual harapan karena belum tahu Jokowi. Lah, ini tiga kartu sakti muncul dijanjikan saat berkuasa kayak Kartu Sembako Murah berarti akuin harga sembako memang mahal dong," ujar Hendri Satrio.
Kritik serupa juga disampaikan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Anggota BPN, Ferdinand Hutahean menyindir banyak janji Jokowi yang tak ditepati di periode pertama. Pembangunan infrastruktur bukanlah program yang dijanjikan Jokowi. Ia mengkritisi janji pertumbuhan ekonomi sampai meningkatkan ekspor gagal ditepati Jokowi.
"Bagaimana mau maju lagi di periode kedua. Kalau yang periode pertama aja masih banyak bolong-bolong janjinya. Banyak janji manis itu kekurangan Jokowi menurut saya," tutur Ferdinand.
Direktur Eksekutif Media Nasional (Median) Rico Marbun mengatakan, catatan lain yang bisa membuat elektabilitas Jokowi tergerus adalah sejumlah elite partai koalisi yang tersandung kasus hukum dalam operasi tangkap tangan atau OTT. Rangkaian operasi tangkap tangan yang mencokok elite parpol pendukung Jokowi ikut menjadi faktor pembeda.
Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy kena OTT KPK terkait kasus suap
Rico menekankan hal ini merujuk survei terbaru Median yang menyatakan selisih antara Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandi hanya 7,7 persen. Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 47,2 persen, dan Prabowo-Sandi 39,5 persen. Artinya, secara perlahan Prabowo-Sandi sudah bisa mengejar. Sebaliknya, Jokowi-Ma'ruf stagnan yang salah satunya disertai faktor OTT terhadap elite partai pendukungnya.
"Untuk Jokowi, faktor OTT terhadap beberapa tokoh dari parpol koalisi juga jadi kelemahan. Ini bisa gerus Jokowi di koalisi dan elektabilitas," ujar Rico.
Cegah Blunder
Sisa waktu sebelum pencoblosan akan menjadi catatan dua kubu dalam memainkan strategi. Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa menilai, sisa waktu menjadi penting. Untuk itu, dua capres terutama Jokowi sebagai petahana jangan membuat blunder. Hal ini penting untuk menarik suara yang belum menentukan pilihan atau swing voters.
"Jangan sampai ada blunder ya. Karena dengan zaman informasi yang demikian luas, blunder politik ini sangat mudah tersebar luas," kata Ardian di kantor LSI Denny JA, Jakarta, Rabu, 10 April 2019.
Blunder yang dimaksud seperti terkait langsung dengan yang dilakukan baik capres dan cawapres. Jokowi sebagai petahana jangan sampai melontarkan ucapan kontroversial yang membuat heboh. Begitupun tim pemenangan agar tak tersandung kontroversi yang menjadi sorotan publik.
Namun, kata dia, bila hanya dilakukan oleh barisan relawan pendukung seperti dugaan surat suara tercoblos di Malaysia dinilainya tak terlalu berpengaruh. "Dan, kalau pun ada efeknya saya kira ya sangat-sangat kecil," ujar Ardian.
Sebagai capres petahana, Jokowi mestinya bisa mudah memenangkan Pilpres 2019. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY di Pilpres 2009 menjadi contoh. Namun, memang SBY saat periode pertama dinilai berhasil dengan program-programnya. Maka saat maju lagi di periode kedua, SBY yang berduet dengan Boediono unggul dari pesaingnya termasuk pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
"Kejadian SBY tak bisa disamakan dengan Jokowi sekarang. SBY bagus di periode pertama," tutur Hendri Satrio.
Lalu, koalisi pengusung Jokowi seharusnya bisa menjadi keunggulan eks Gubernur DKI itu. Dukungan partai besar dan menengah macam Golkar, PDIP hingga PKB serta PPP menjadi kendaraan kuat pelindung untuk maju merebut RI-1 kedua kalinya. Tokoh-tokoh di dalam koalisi juga menjadi jaminan. Namun, kendaraan koalisi pengusung juga memerlukan kesolidan.
"Ada Megawati, Surya Paloh, Akbar Tanjung, Jusuf Kalla yang notabene kuat secara politik. Belum lagi tokoh partai yang punya basis massa seperti Cak Imin," ujar Hendri.
Kesolidan koalisi ini akan diuji dalam kampanye akbar Jokowi-Ma'ruf di Stadion Gelora Bung Karno, Sabtu, 13 April 2019. Bila acara ini berhasil dan menyedot massa maka gengsi politik bisa dimenangkan. Setidaknya perhatian publik bisa diambil Jokowi dalam acara tersebut dengan momen positif.
"Kita lihat nanti kampanye Jokowi di tanggal 13 April apakah akan lebih besar menandingi karena itu show of force, gengsi saja. Manakah yang lebih penuh GBK-nya karena untuk memenuhi GBK itu kan semua mesin infrastrukrur partai itu harus bergerak." (mus)
Baca Juga
Mengukur Elektabilitas 01 dan 02
Prabowo Tak Punya Skenario Kalah