Mereka yang Bakal Terkubur
- ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
VIVA – Pileg 2019 ini diprediksi akan menjadi kuburan bagi sejumlah partai level kecil dan menengah. Angka Parliamentary Treshold sebesar empat persen dianggap terlalu tinggi dan membuat partai megap-megap. Apalagi Pemilu kali ini berbarengan antara Pileg dan Pilpres, membuat konsentrasi partai terpecah di antara memenangkan caleg dan partainya, atau memenangkan capres yang didukung partainya.
Sekjen Partai Bulan Bintang Afriansyah Ferry Noor tertawa kecil. Sambil memperbaiki posisi duduknya, Ferry mengibaskan tangan kanannya. "Sudah biasa itu," ujarnya sambil terkekeh.
Ia bertutur, Partai Bulan Bintang sejak awal berdiri sudah sering disebut tak akan lolos ambang batas parlemen atau Parliamentary Treshold. Dalam beberapa survei Pemilu, angka PBB disebut berada di bawah dua persen. "Tapi faktanya, kami tetap berdiri hingga hari ini," ujarnya kepada VIVA.
Ferry memastikan, kader PBB tak pernah lelah bekerja agar suara mereka tetap terjaga. Tahun ini, dengan angka PT yang kembali meningkat, Ferry mengajak kader PBB bekerja lebih giat di lapangan. Mereka siap menyebar lima juta stiker untuk memancing publik. Bukan sembarang stiker, sebab di stiker itu tertera wajah Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB.
Di stiker itu juga dibubuhkan nomor hotline bagi siapa saja yang ingin melakukan konsultasi hukum dengan Yusril. Nama besar Yusril sebagai pengacara yang berpihak pada Islam diyakini Ferry masih kuat untuk menarik perhatian publik.
"Kami yakin bisa menembus ambang batas itu. Sampai saat ini, diluar penyebaran stiker, kami ada 2,5 juta suara Masyumi yang tak tergoyahkan. Ditambah kerja keras memperkenalkan PBB melalui Yusril, Insya Allah kami bisa menembusnya," tutur Ferry.
Partai Bulan Bintang
Jelang Pemilu 2019, Partai Bulan Bintang memang diprediksi tak akan lolos ambang batas parlemen. Tak hanya PBB, sejumlah partai lain juga diprediksi tak lolos PT, mulai dari partai yang baru berdiri hingga partai yang sudah ada sejak Orde Baru. Hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga survei, hanya lima partai yang bakal lolos dari jeratan PT, yaitu PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PKB. Sementara partai lainnya diprediksi tak akan mampu meloloskan diri dari angka empat persen.
Ketentuan mengenai ambang batas parlemen sebesar 4 persen tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ambang batas empat persen membuat satu parpol harus mengumpulkan sebanyak lima juta suara untuk masuk ke parlemen. Jumlah itu cukup besar dan akan membuat partai harus bekerja keras memenuhi kuota tersebut. Pemilu 2014, ambang batas parlemen yang ditetapkan hanya sebesar 3,5 persen. Angka empat persen ini adalah angka tertinggi yang pernah ditetapkan sebagai ambang batas parlemen.
Survei litbang Kompas yang dirilis pada Kamis, 21 Maret 2019, menunjukkan hanya PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, dan PKS. Sementara partai yang diprediksi nyungsep antara lain PKPI, Garuda, PBB, Berkarya, Perindo, Hanura, PSI, PAN, PPP, dan Nasdem. Kondisi ini tak beda jauh dengan hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia. Menurut LSI, yang merilis hasil surveinya pada Januari 2019, hanya PDI Perjuangan, Gerindra, Demokrat, Golkar, dan PKB yang dianggap aman. Sementara PPP, Nasdem, PKS, PAN, dan Hanura adalah lima partai yang paling terancam tak lolos PT.
Sekitar September 2018, lembaga survei LSI Denny JA juga menyampaikan, ada 11 partai yang diprediksi tak lolos ambang batas parlemen. Sebelas partai yang diprediksi terancam adalah PKS, PPP, NasDem, Perindo, PAN, Hanura, PBB, PSI, Partai Berkarya, Partai Garuda, dan PKPI. Menurut LSI Denny JA, 11 partai tersebut masih bisa lolos jika mampu memainkan strategi untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Dua siswa sedang memperhatikan parpol peserta Pemilu 2019
Meski hasil survei memperlihatkan data yang berdampak besar, namun partai-partai yang diprediksi tak lolos ambang batas menanggapi dengan santai. Seperti tanggapan ringan Afriansyah Noor, politisi PKS Mardani Ali Sera mengaku tak kaget dengan hasil survei yang banyak beredar. Menurut dia, PKS sudah sering disebut hanya mampu meraup angka maksimal tiga persen. Tapi faktanya, PKS selalu berhasil menempatkan kadernya di kursi parlemen. Untuk Pemilu kali ini, PKS juga tak mau bergantung pada hasil survei. Mardani menyampaikan, kader PKS tetap bekerja keras agar mereka tak sekadar lolos ambang batas parlemen, tapi juga mampu mengejar target suara.
"Kader bekerja luar biasa sekarang ini. Jadi dengan kerja keras ini, kami yakin target 12 persen bakal tercapai," ujar Mardani penuh keyakinan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional, Yandri Susanto, juga berkomentar senada. Ia mengatakan partainya memang selalu diprediksi tak pernah lolos ke parlemen.
"Setiap ditanya masalah survei apapun, memang PAN itu semenjak reformasi sampai sekarang semua survei pernah yang mengatakan itu, (tapi) lolos parliamentary threshold selama ini. Apakah itu pemilu 2004, 2009, 2014, di survei itu PAN tidak pernah melampaui itu, di atas 3 atau 4 persen," kata Yandri.
Ia mengatakan, faktanya PAN selalu lima besar. Makanya, PAN selalu mendapatkan posisi pimpinan DPR. Selama pemilu berlangsung sejak reformasi.
Perampingan Parpol
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah batas suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Ambang batas parlemen ini dibuat untuk menstabilkan hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam suatu negara demokrasi.
Penetapan ambang batas parlemen di Indonesia hingga empat persen tidak terjadi dengan serta merta, tapi melalui perjalanan panjang. Pemilu tahun 2009, menggunakan pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008 menetapkan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Tahun 2012, dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Penetapan ini ditolak dan digugat oleh 14 partai politik. Gugatan itu diadu di Mahkamah Konstitusi. MK kemudian menetapkan ambang batas 3,5 persen tersebut hanya berlaku untuk DPR dan tidak berlaku untuk DPRD. Pada pemilu 2014, ketetapan itu diberlakukan.
Menjelang Pemilu 2019, Pansus RUU Pemilu yang dibentuk di DPR RI mengambil keputusan baru. Dengan menetapkan UU Nomor 7 Tahun 2017, ambang batas parlemen dinaikkan menjadi empat persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggreini
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggreini memprediksi, Pileg kali ini akan menjadi ajang bunuh diri partai. Sebab mereka harus berjuang ekstra keras untuk bisa menyelamatkan diri dari angka tersebut. "Konsekuensi logis dari pilihan kebijakan untuk menaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari 3,5 persen menjadi 4 persen," kata dia.
Di saat yang sama partai politik peserta pemilu jumlahnya malah bertambah dari 12 jadi 16. Tentu secara alamiah kompetisi yang terjadi akan makin sengit dan berat. Kalau 2014 dengan 12 parpol ada 10 parpol lolos ke DPR, maka 2019 pasti jumlah parpol yang lolos akan lebih sedikit lagi dibanding 2014.
Menurut Titi, angka itu jadi berat bagi parpol. Apalagi ketika Pemilu diselenggarakan serentak dan jumlah partai politik peserta pemilu bertambah. Titi mengatakan, dampak serta merta dari ambang batas parlemen yang tinggi adalah akan meningkatnya jumlah suara pemilih yang terbuang, akibat tidak bisa dihitung dalam konversi suara DPR karena partai yang dicoblosnya tidak lolos ambang batas 4 persen.
Ahmad Riza Patria, politisi Partai Gerindra yang menjadi Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu mengatakan, angka itu memang dikehendaki oleh pemerintah dan sejumlah partai. Gerindra sendiri, ujar Riza Patria, lebih menginginkan tak ada ambang batas parlemen. Tapi menurut perwakilan partai saat itu, semakin banyak partai maka pengambilan keputusan menjadi semakin lama.
"Awalnya ada usulan tujuh persen, lima persen, atau tetap 3,5 persen, tapi akhirnya semua sepakat di angka empat persen," ujar Riza. Tapi akhirnya disepakati, tanpa melalui proses voting, angka empat persen menjadi ambang batas parlemen.
Suasana pembahasan RUU Pemilu
Menurut Riza, saat itu perwakilan partai dan pemerintah meyakini, jumlah parpol yang terlalu banyak membuat proses pengambilan keputusan menjadi lama. Itu sebabnya disetujui angka tersebut untuk membuat parpol menjadi ramping. Sebab, dengan PT empat persen, maka peluang Parpol untuk bisa lolos menjadi semakin sempit. Semakin sedikit parpol yang berhasil menembus PT, maka jumlah perwakilan parpol di Senayan juga semakin berkurang.
Titi Anggraeni dari Perludem juga mengakui beratnya angka tersebut bagi Parpol. "Apalagi ketika pemilu diselenggarakan serentak dan jumlah partai politik peserta Pemilu bertambah. Dampak serta merta dari ambang batas parlemen yang tinggi adalah akan meningkatnya jumlah suara pemilih yang terbuang, akibat tidak bisa dihitung dalam konversi suara DPR karena partai yang dicoblosnya tidak lolos ambang batas 4 persen," ujarnya menjelaskan.
Peneliti Litbang Kompas Toto Suryaningtyas juga mengakui, angka PT mencapai empat persen itu relatif tinggi."Dulu ketika kita masih 3 persen saja banyak yang teriak-teriak kok, terus 3.5 persen juga banyak yang teriak. 4 persen lebih-lebih lagi," kata Toto.
Ia memberikan penjelasan, dari faktanya, 100 persen suara pemilu itu diperebutkan oleh 16 partai. Artinya kalau dibagi 16, masing-masing partai hanya mendapat 8 persen jika kalau dibagi rata. "PT nya 4 persen, sementara maksimum potensinya hanya 8 persen, artinya sudah 50 persen sendiri dari angka maksimum 8 persen pembagian rata itu. Jadi berat itu 4 persen Parlementary Threshold," ujarnya menegaskan.
“Angka 4 persen itu menurut saya rasional. Bahkan sampai 5 juga masih rasional. Karena kalau kita merujuk pada Pemilu 2014, itu 10 partai yang lolos itu angkanya minimal 5 persen mereka. Sekarang masalahnya, ketika jumlah partai politik lebih banyak yang ikut, ya tentu risiko partai yang tidak lolos ambang batas menjadi lebih besar.”
Berbeda dengan Titi, pakar hukum tata negara Refli Harun justru sepakat dengan ambang batas empat persen. Menurut Refli, angka itu rasional dan sudah tepat untuk menyaring partai-partai politik. Refli merujuk pada Pemilu 2014, di mana 10 partai yang lolos PT, angkanya minimal lima persen. Dan, untuk Pemilu 2019, jumlah partai politik lebih banyak yang ikut, maka risikonya adalah partai yang tidak lolos ambang batas juga menjadi lebih besar.
"Menurut saya. Itu memang cara penyederhanaan parpol dengan cara yang konstitusional. Bahkan menurut saya seharusnya yang ikut di Pemilu 2024 seharusnya ada dua kategori," kata dia.
Pertama, partai yang lolos ambang batas parlemen sekarang. Kedua, yang tidak lolos parliamentary treshold tidak boleh ikut pemilu nasional, tetapi bisa ikut pemilu DPRD provinsi kabupaten kota. Sehingga tidak ada partai baru yangg tiba-tiba ikut pemilu tanpa diketahui dia ini berakar di massa apa nggak, seperti Perindo, Berkarya, dan PSI.
Suara yang Terbuang
Titi Angraeni mengakui, yang memberatkan dari PT yang tinggi adalah kemungkinan terbuangnya suara pemilih. Titi mengatakan, ia termasuk yang tak setuju dengan perampingan partai melalui cara ambang batas parlemen. Pemberlakuan PT yang tinggi membuat suara pemilih yang terbuang atau wasted votes makin tinggi. Titi menjelaskan, semestinya pemilu sebisa mungkin menjaga kemurnian suara pemilih.
"Bayangkan, pemilih sudah datang ke TPS, mencoblos, namun suaranya tidak bisa dihitung karena parpol pilihannya tidak lolos masuk DPR akibat suaranya di bawah DPT," ujarnya.
Menurut Titi, ada cara lain yang lebih bisa diambil selain menaikkan PT. Misalnya dengan merampingkan alokasi kursi di Daerah Pemilihan. Atau jika mau parlemen yang efektif, tidak perlu ada PT tapi bisa dengan memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi. "Ambil saja angka 10 persen maka hitung-hitungan saya, paling banyak akan ada 5 sampai 7 fraksi saja di parlemen," tuturnya memberikan penjelasan.
Pendapat Titi juga diaminkan Ahmad Riza Patria. Riza menjelaskan, Partai Gerindra sejak awal menolak penetapan ambang batas. "Kita maunya parlemen treshold nol persen, karena itu suara rakyat. Kalau orang duduk di parlemen, suara rakyat enggak boleh hilang. Sekalipun partainya cuma punya dua calon buat anggota dewan di DPR RI, tapi dia terpilih. Sekarang kalau dia terpilih jadi anggota dewan tapi PT di bawah 4 persen, enggak bisa duduk dia. Kan kejadian dulu, PBB enggak bisa duduk padahal ada yang terpilih," tuturnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu, Ahmad Riza Patria
Menurut Refly Harun, PT hingga lima persen masih terhitung rasional dan itu penting untuk membatasi jumlah partai. Sebab, partai yang ada saat ini menurut Refly sangat pragmatis. "Menurut saya idealnya partai untuk konteks ke-Indonesiaan itu maksimal lima atau sampai tujuh partai. Jadi polarisasinya begini, partai kanan yang berbasis massa islam, partai kiri yang nasionalis, partai tengah itu yang non ideologis seperti Golkar, partai agak kanan dan agak kiri. Jadi lima partai cukup," ujarnya.
Ia menegaskan, ideologi sangat diperlukan sebagai platform perjuangan sebuah partai. Sebab, partai yang pragmatis akan membuat publik tak lagi percaya dan mengandalkan partai. Merujuk ke dirinya sendiri, Refly yakin saat ini sebagian besar masyarakat tak lagi menganggap keberadaan partai sebagai hal yang penting. Publik saat ini lebih memilih melihat calon, dan tak terlalu peduli apa partainya. Dengan kondisi ini, konflik berdasarkan partai tak setajam konflik Pilpres, yang memilih sosok.
"Makanya saya termasuk orang yang tidak setuju ambang batas presiden. Karena hanya mengarahkan calon itu kepada dua itu aja. Dan dua calon ini tidak produktif perdebatannya dalam beberapa tahun terakhir ini," tuturnya.
Meski angka PT ditetapkan tinggi dan hasil survei memberi data banyak parpol yang akan berguguran, namun itu semua masih belum final. Margin error yang selau dimunculkan di setiap survei masih berpotensi mengubah hasil, begitu juga undecided voters. Merujuk hasil survei di pemilu-pemilu sebelumnya, sering kali hasil akhir jadi berbeda. Partai yang sebelumnya diprediksi tak lolos PT, ternyata tetap lolos, dan angka yang sebelumnya diprediksi rendah, ternyata melampaui ambang batas. Sebab, di hari pemilihan, biasanya terjadi pergeseran margin error dan kelompok swing voters atau undecided voters akhirnya mengambil keputusan.
Mengamati itu, Totok Suryaningtias dari Litbang Kompas menolak mengatakan bahwa partai yang tak berhasil lolos dari angka minimum PT akan terkubur. Menurut Totok istilah kuburan jadi berlebihan. Sebab, partai yang tak lolos PT tak serta merta mati. Sebab, PT yang berlaku saat ini hanya untuk DPR RI, tapi tidak untuk provinsi dan kota.
"Artinya dia masih bisa hidup. Contohnya PKPI. PKPI kan tidak ada di DPR RI, tapi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota dia banyak kok. PBB dia tidak ada di DPR RI, tetapi di provinsi dan kabupaten/kota dia banyak, dan masih hidup tuh, dia masih ikut lagi tuh, artiya dia tidak mati kan. Jadi istilah kuburan itu terlalu melebih-lebihkan saja menurut saya. Mungkin istilah yang lebih tepat gagal masuk Senayan, nah itu lebih faktual itu," ujar Toto.
Ia meminta publik membedakan antara parlemen Senayan dengan tingkat provinsi dan kabupaten kota. Bisa saja sebuah partai gagal masuk ke Senayan, tapi tetap berhasil menembus provinsi atau kabupaten/kota.
Penjelasan Totok tentu melegakan dan bisa menghibur partai-partai yang diprediksi tak lolos PT. Ungkapan Totok yang mencontohkan PBB bisa jadi ada benarnya. Sebab, seperti yang dituturkan Afriansyah Noor atau Ferry, Sekjen PBB kepada VIVA, perjuangan PBB memang Senayan. Tapi itu tak berarti PBB melupakan provinsi dan kota. Itu juga yang menjadi alasan PBB bergerak menyebar jutaan stiker ke berbagai pelosok wilayah. Dengan menjadikan Yusril Ihza Mahendra sebagai brand PBB, maka PBB berharap partainya akan mengakar kembali di masyarakat.
Pileg dan Pilpres 2019 sudah di hadapan. Publik mungkin sudah semakin mengkristal dengan pilihannya. Seperti ucapan Refly Harun, polarisasi karena partai jauh lebih rendah dibanding polarisasi karena Pilpres. Mungkin pemerintah dan anggota dewan mendatang bisa mempertimbangkan ambang batas untuk presiden. Sehingga kelak, partai menjadi lebih ideologis, dan Pilpres memiliki banyak pilihan. (umi)
Baca Juga