LIPI Digoyang, Peneliti Meradang
- Dok. Peneliti LIPI
VIVA – Puluhan ribu buku, termasuk tesis dan disertasi, yang berada di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tiba-tiba raib.
Beredar kabar bahwa buku-buku itu secara bertahap telah diangkut sejak awal Februari 2019. Diduga, buku-buku penting yang terbungkus rapih ini akan dibuang dengan cara ‘dikiloin’.
Namun, sumber lain di internal LIPI membantah, dan mengklaim puluhan ribu buku-buku tersebut akan didigitalisasi. Adalah Syamsuddin Haris yang berani berkoar atas raibnya puluhan ribu buku hasil karya peneliti LIPI tersebut.
"Poinnya, kalau buku akan didigitalisasi, kan, enggak mesti dibuang atau dimusnahkan. Ruangan itu banyak yang kosong. Kalau soal digitalisasi itu masih rencana, belum dilakukan," kata guru besar ilmu politik ini kepada VIVA, Senin, 11 Maret 2019.
"Puluhan ribu buku, termasuk disertasi dan tesis, koleksi PDII @lipiindonesia hendak dimusnahkan oleh Kepala LIPI demi kebijakan reorganisasi yang amburadul, salah kaprah dan keblinger. Ini jelas kabar duka bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia," ujarnya menjelaskan.
Menurut dia, koleksi buku-buku tersebut belum mengalami proses digitalisasi, tetapi sudah diikat untuk dibungkus atau dimusnahkan. "Digitalisasi bahkan belum dimulai tapi buku-buku ini mau dikiloin," papar Syamsuddin.
Demo para peneliti dan profesor di LIPI Jakarta
Ia bersama 65 guru besar riset dan peneliti utama sudah membuat mosi tidak percaya. Tuntutannya, lanjut Syamsuddin, apalagi kalau bukan mengganti Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko.
"Ya, karena sudah tidak ada suasana akademik lagi. Sudah saling curiga, konflik, dan kehilangan motivasi. Ini sudah terjadi demoralisasi," ungkap Syamsuddin.
Saat ditanya soal pemecatan atau pemberhentian kerja, yang merupakan bagian dari kebijakan reorganisasi, ia mengaku kalau itu bagian dari rencana yang belum dilaksanakan.
"Awalnya, kan, rencananya akan dirumahkan. Kalau tidak salah itu sekitar 1.600 orang tenaga honorer. Tapi rencana itu ditarik kembali setelah masalah ini heboh karena terjadi penolakan. Tapi rencana itu memang ada," kata dia.
Sebagai catatan, LIPI yang berdiri pada 1956, kini memiliki pegawai negeri sipil atau PNS sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi sebanyak 1.959 orang, di mana PNS sumber daya manusia pendukung penelitian berjumlah 2.766 orang, non-PNS 1.685 orang dan yang melaksanakan fungsi di Kebun Raya Bogor sebanyak 359 orang.
Awal Chaos
Kisruh LIPI makin meruncing. Nyaris satu tahun lembaga riset tertua Indonesia ini mengalami kekisruhan internal. Berawal dari seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi atau JPT.
Dalam dokumen surat keluhan ke Menteri Riset dan Teknologi Tinggi, Mohamad Nasir, menyebutkan kelompok peneliti sosial dan non-peneliti LIPI merasa kinerja lembaganya semakin menurun dan tidak jelas sepeninggal almarhum Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain.
Posisi Kepala LIPI digantikan Bambang Subyanto. Namun, Bambang dinilai lebih fokus pada tugas eksternal. Kebijakan internal kelembagaan lebih dominan dijalani Deputi Bidang IPT, yaitu Laksana Tri Handoko yang juga dipercaya sebagai Plt. Sestama LIPI.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Laksana Tri Handoko dianggap menyimpang oleh peneliti. Pertama, mengenai kebijakan Jabatan Fungsional Peneliti yang dianggap merugikan peneliti LIPI maupun peneliti nasional.
Kedua, kebijakan administrasi keuangan LIPI. Anggaran perjalanan Dinas yang dilaksanakan pegawai LIPI hanya diterima sekitar 30 persen dari yang seharusnya. Terakhir kebijakan mengenai redistribusi pegawai yang tidak manusiawi sehingga menyebabkan chaos pegawai LIPI.
Kekisruhan ternyata tak pernah selesai. Tuduhan terjadi korupsi dan komersialisasi aset meruak di gedung tersebut. Tak hanya itu, rencana reorganisasi dan redistribusi PNS di lingkungan LIPI juga mendapat penolakan keras.
Kegiatan LIPI untuk masyarakat
Gejolak internal yang tak bisa menerima kepemimpinan Laksana Tri Handoko akhirnya berujung pada terbitnya mosi tidak percaya. Di mata anggota Komisi VII DPR, Fadel Muhammad, bicara anggaran memang LIPI sejak dahulu sudah minim.
"Sekitar 0,02 persen dari PDB kita. Itu sangat rendah dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara. Memang sangat memprihatinkan. Tapi kita nanti akan memanggil untuk memverifikasi. Kita minta Pak Menteri (Ristekdikti, Mohamad Nasir) untuk membentuk tim untuk mengecek masalah ini," klaim Fadel kepada VIVA.
Informasi saja, Badan Pusat Statistik merilis Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia Tahun 2018 mencapai Rp14,900 triliun. Dengan demikian, jika dikalikan dengan 0,02 persen, maka anggaran LIPI hanya Rp3 miliar.
Pada kesempatan terpisah, peneliti senior LIPI, Yan Sopaheluwakan, menyebut kebijakan reorganisasi di bawah Laksana Tri Handoko banyak merugikan peneliti guru besar seperti dirinya. "Waduh cukup banyak. Salah satunya penurunan grade," ungkap dia, kala berbicara dengan VIVA.
Yan lalu bercerita kalau dari sejak dahulu LIPI tidak pernah ada masalah di internal. Karena, pimpinannya memiliki sifat mengayomi. Tapi sekarang berubah. Ia mengatakan LIPI yang sekarang dikendalikan oleh seorang otoriter.
Bola Liar
"Saya melihat kebijakan kepala LIPI sekarang adalah merasa yang paling benar. Jadi sumber masalah LIPI itu adalah dia pribadi. Kan, dari dahulu memang enggak pernah ada masalah kok. Prinsipnya harus diganti, tidak ada cara lain," tegas Yan.
Ia menambahkan, jika Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah membuat Tim Penyelaras yang mengundang para peneliti dan profesor LIPI untuk berbicara terkait persoalan ini. Akan tetapi, Yan mengaku tidak ada yang ikut di dalam diskusi tersebut.
"Kita juga ragu bahwa nantinya keputusan Tim Penyelaras itu cukup aspiratif. Karena, mereka juga cuma pilih-pilih membuat tim itu orang yang tidak tahu permasalahan terus ditarik. Orang yang pemahamannya cuma sepotong-sepotong, gitu," kata Yan, menyindir.
Dengan begitu, ia memandang keberadaan Tim Penyelaras kurang aspiratif dan fair. Saat ini, isu yang beredar hanya seputar dokumen perpustakaan yang jumlahnya 32 ribu yang terdiri dari tesis dan disertasi yang dimusnahkan.
"Bayangkan itu berani diloakin. Padahal itu produk intelektual, produk peradaban kita. Kalau dari daftarnya itu koleksi dari tahun 1912 sampai sekarang. Makanya jumlahnya sampai 32 ribu buku," tutur dia.
Yan berharap supaya pemerintah bersikap, dan tidak perlu merasa kehilangan muka. Ia pun mencontohkan sebuah surat keputusan atau SK saja bisa diperbaiki. Jadi kalau ditunda-tunda lagi dikhawatirkan menjadi bola liar, dan ujung-ujungnya, negara yang akan dirugikan.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI yang juga selaku Pelaksana Harian Kepala LIPI, Agus Haryono pernah bilang, saat ini pemerintah sudah membuat Tim Penyelaras yang terdiri dari unsur Kementerian PAN-RB, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Badan Kepegawaian Negara, dan LIPI.
"Tim akan memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian serta usulan kebijakan akhir yang obyektif dan komprehensif sesuai koridor regulasi yang ada," ujar Agus.
Menpan RB bertemu Kepala LIPI
Kisruh LIPI sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla harus memanggil Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dan Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko untuk menemukan solusi atas konflik internal di lembaga riset tersebut.
Buntutnya, sejumlah profesor dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akhirnya bertemu dengan Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, Jumat 8 Februari 2019.
Pertemuan ini terkait penolakan kebijakan reorganisasi. Kebijakan reorganisasi dinilai tidak memenuhi prinsip inklusif, partisipatif dan humanis. Tapi, di hari yang sama, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengambil keputusan untuk melakukan moratorium reorganisasi di tubuh LIPI.
Hal yang Biasa
Hal ini dilakukan pascamunculnya penolakan dari internal LIPI. "Sementara berhenti dulu, supaya tidak gaduh. Nanti akan kami ajak bicara detailnya. Apa sih yang diinginkan mereka," ujar Menristekdikti, Mohamad Nasir saat ditemui di Kantor Wakil Presiden, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Maret 2019.
Rencana reorganisasi dan redistribusi pegawai yang ingin dilakukan oleh Laksana Tri Handoko selaksa menemui jalan buntu. Rencana itu akan dimoratorium untuk sementara waktu.
Padahal ini adalah satu-satunya lembaga negara yang concern pada penelitian dan ilmu pengetahuan. Membiarkan kisruh ini berlarut seperti mengizinkan semakin tenggelamnya dunia penelitian dan pengetahuan yang pernah sangat populer pada 1980-an.
VIVA lalu berkesempatan berbincang dengan Kepala LIPI Laksana Tri Handoko, untuk menjelaskan duduk masalahnya. Ia menilai bahwa kisruh ini adalah hal yang biasa.
"Kita, kan, melakukan reorganisasi yang fokusnya tentu mengubah proses di LIPI, seperti administrasi penelitian. Ya, mungkin di situ ada beberapa tapi sebagian kecil. Yang zona nyamannya terganggu. Intinya itu saja," kata Laksana.
Ia mengaku kebijakan yang dikeluarkan justru membuat peneliti itu bisa fokus mengurus penelitian saja, tidak mengurus administrasi dan tidak dibebani administrasi, termasuk pendidikan.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menandatangani kesepakatan dengan pegawai
Karena, menurut Laksana, selama ini di sub-unit itu rata-rata 60 persen SDM administrasi. Sedangkan, yang penelitinya SDM-nya hanya 40 persen. Dampak kisruh ini jelas mengganggu kinerja LIPI.
"Ya, secara kegiatan riil. Ini, kan, masalah hanya bagian kecil saja. Yang kontra atau tidak setuju dengan reorganisasi, saya enggak tahu jumlahnya berapa. Tapi, ya minimal yang 65 orang itu sebagian pensiunan," jelas dia.
Yang menolak reorganisasi, diklaim Laksana, tidak banyak namun vokal. Sebaliknya, yang silent majority sangat mendukung kebijakannya. Contohnya, bisa dicek di petisi online http://forbetterlipi.id.
"Tapi perlu saya tegaskan di sini. Yang penting bukan jumlah pendukung, namun apakah yang kami lakukan ini benar dan perlu atau tidak. Karena LIPI adalah lembaga eksekutif, bukan lembaga politik," tutur Laksana.
Ada yang Terganggu
Mengenai mosi tidak percaya, Laksana mengaku membiarkan hal itu terjadi. Karena, ia tidak memiliki kapasitas untuk beropini tentang hal itu. "Saya kira itu tidak pada tempatnya saja. Kita ini, kan, lembaga eksekutif bukan lembaga politik," tegasnya.
Ia juga menjelaskan reorganisasi supaya peneliti fokus ke penelitian dan tidak mengurus administrasi. Laksana menuturkan efek dari reorganisasi ke pelaksanaan anggaran di LIPI bahwa selama ini anggaran penelitian itu hanya 40 persen. Artinya, banyak anggaran yang tidak jelas yang dipakai di luar penelitian.
"Kalau sekarang ini sudah 100 persen untuk penelitian. Inilah kewajiban kita sebagai PNS di tengah gelombang reformasi birokrasi sekarang. Mau sampai kapan pakai cara-cara dulu. Intinya untuk tujuan yang baik," papar dia.
Laksana pun memahami adanya 'pemberontakan', karena ada sebagian yang merasa zona nyamannya terganggu. Akan tetapi, ia memastikan kalau itu hanya sebagian kecil.
Kantor LIPI
Lantas, bagaimana cara menyelesaikan kisruh yang berkepanjangan? Ia mengaku melakukannya secara internal. Namun, dia menyayangkan ramai sampai ke luar. Meski begitu, Laksana mengklaim tetap fokus kerja dan membenahi yang ada.
"Yang penting apa yang kita lakukan itu harus segera berjalan, smooth. Supaya orang bisa melihat hasilnya," katanya. Mengenai desakan untuk mundur, lagi-lagi Laksana menjawab tidak harus bersikap apa-apa. Ia hanya menjalankan sesuai koridor saja.
"Biasa saja. Saya, kan, kepala lembaga eksekutif, bukan politik. Saya melakukan sesuatu apa yang diamanatkan dari pemerintah," tegas Laksana. Soal pemberangusan karya ilmiah, Laksana secara lantang mengatakan tidak ada yang dimusnahkan, apalagi sampai 'dikiloin'.
"Itu isu yang digoreng. Sudah diklarifikasi juga bahwa itu tidak benar. Semuanya bisa di cek dan dilihat sendiri di lantai 4," kata Laksana, menutup pembicaraan.
Entah sampai kapan internal LIPI akan terus bergolak. Padahal ilmu pengetahuan dan penelitian terus bergerak. (umi)