Ada Apa dengan LIPI?
- Dok. Peneliti LIPI
VIVA – "LIPI ini mata air bangsa. Jernih. Tetapi mata air itu sekarang menjadi keruh. LIPI selalu di garda depan memperjuangkan bangsa. Pengakhiran dwifungsi ABRI. Reformasi. Itu sumbernya di sini. Baru sekali ini kita harus berjuang melawan diri sendiri," ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar melalui pengeras suara.
Hari itu, Kamis 7 Februari 2019, Dewi menggelar aksi demonstrasi di Gedung Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta. Ia tak sendiri. Sejumlah peneliti gaek juga ikut ‘turun ke jalan’. Ada mantan Ketua LIPI Lukman Hakim, Taufik Abdullah, Syamsudin Haris dan sejumlah peneliti lain. Melalui aksi ini, Dewi dan para peneliti serta profesor menyampaikan kegundahan dan kekhawatirannya pada nasib dan masa depan LIPI.
Dewi mengatakan, ini adalah pertama kalinya LIPI didemo oleh profesor dan penelitinya sendiri. Ia menegaskan, adanya aksi ini menandakan terjadinya masalah krusial, yaitu tersumbatnya jalur komunikasi. Menurutnya, demo tidak akan ada apabila aspirasi mereka disambut dan diterima dengan baik.
"Artinya, ada sesuatu yang keliru dari pihak yang mengelola LIPI. Ada komunikasi dua arah yang tidak berjalan. Lembaga ini selalu menjalankan kepemimpinan yang kolektif, apapun berdasarkan kesepakatan bersama. Begini jadinya kalau dihilangkan."
Para peneliti LIPI menggelar aksi demonstrasi
Sudah nyaris setahun lembaga tersebut didera kisruh internal. Semua kekisruhan selalu berujung pada protes atas keputusan Kepala LIPI yang dianggap tidak adil, tertutup, bahkan tidak manusiawi. Memasuki tahun 2019, aksi menentang Ketua LIPI Laksana Tri Handoko makin gencar dilakukan oleh jajaran elite lembaga ilmu pengetahuan di Indonesia tersebut.
Awalnya, kisruh ini berhubungan dengan seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Dalam dokumen surat keluhan ke Menteri Riset dan Teknologi Tinggi yang diterima VIVA, Sabtu 12 Mei 2018 atau nyaris setahun lalu, kelompok peneliti sosial dan non peneliti LIPI yang kantornya berada di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, merasa kinerja LIPI semakin menurun dan tidak jelas sepeninggal almarhum Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain.
Posisi Kepala LIPI diganti oleh Bambang Subyanto. Namun Bambang dinilai lebih fokus pada tugas eksternal. Kebijakan internal kelembagaan lebih dominan dijalankan oleh Deputi Bidang IPT, yaitu Laksana Tri Handoko yang juga dipercaya sebagai Plt. Sestama LIPI. Namun, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Laksana Tri Handoko dianggap menyimpang oleh peneliti.
Pertama, mengenai kebijakan Jabatan Fungsional Peneliti yang dianggap merugikan peneliti LIPI maupun peneliti nasional. Kedua mengenai kebijakan administrasi keuangan LIPI. Anggaran perjalanan Dinas yang dilaksanakan oleh pegawai LIPI hanya diterima sekitar 30 persen dari yang seharusnya. Dan terakhir adalah kebijakan mengenai redistribusi pegawai yang dianggap tidak manusiawi sehingga menyebabkan kekisruhan staf LIPI.
Kekisruhan meningkat eskalasinya ketika Laksana Tri Handoko kemudian diangkat menjadi Kepala LIPI sekitar Juni 2018. Meski baru diangkat menjadi Ketua LIPI, tuduhan terjadi korupsi, pemecatan, hingga komersialisasi aset yang dilakukan oleh Kepala LIPI yang baru berembus keras di gedung tersebut. Rencana reorganisasi dan redistribusi PNS di lingkungan LIPI yang dicanangkan oleh Laksana Tri Handoko pada Januari 2019 langsung mendapat penolakan keras.
Dari Laksana Kisruh Bermula
Protes atas berbagai kebijakan yang dibuat oleh Kepala LIPI Laksana Tri Handoko bermunculan. Protes datang dari para peneliti dan profesor senior yang menganggap kebijakan yang dilakukan Laksana semena-mena. Menurut mereka, kebijakan itu akan mematikan para ilmuwan di masa depan karena menjauhkan peneliti dari objek penelitiannya.
Peneliti senior LIPI Profesor Syamsudin Haris mengatakan, akar masalah kekisruhan di internal LIPI adalah adanya kebijakan reorganisasi yang dilakukan Tri Handoko. Proses reorganisasi dianggap tidak mempertimbangkan prinsip keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Tapi lebih terkesan memaksakan dan tergesa-gesa. Sebab, akibat kebijakan itu, banyak peneliti yang tak mendapatkan posisi pekerjaan dengan jelas. Kondisi itu yang akhirnya menimbulkan ketidakjelasan nasib karyawan LIPI.
"Beliau kan baru menjabat 8-9 bulan ini kan, dan beliau mengeluarkan kebijakan reorganisasi yang bagi kami itu visinya tidak jelas, kemudian tidak ada naskah akademik sebelumnya, tujuan reorganisasi itu mau kemana. Kemudian juga tidak didasarkan pada rencana strategis, tidak ada roadmap LIPI itu mau kemana dengan reorganisasi itu. Itu yang menimbulkan keresahan internal LIPI," ujar Syamsudin kepada VIVA.
Demo para peneliti LIPI di Bandung
Syamsudin Haris menuturkan, tak hanya kebijakan reorganisasi dan redistribusi yang menimbulkan keresahan. Tapi kebijakan lain yang dilakukan oleh Laksana Tri Handoko juga membuat marah. Laksana Tri Handoko diberitakan telah memusnahkan 32 ribu lebih tesis dan disertasi, dijual ke tukang loak, dan itu dipastikan benar.
"Itu pengakuan dari salah satu karyawan kita juga, dan sekarang kita juga akan mencari perlindungan untuk dia juga ya. Itu diangkutnya tengah malam di hari libur, kemudian semua bukti dihilangkan termasuk CCTV, dah juga buku look di security juga dihilangkan tuh," ujarnya menjelaskan.
Bagi Profesor Yan Sopaheluwakan, kesalahan Laksana Tri Handoko adalah menggeser dengan cara halus sejumlah Unit Penelitian atau UPT yang selama ini menjadi basis penelitian LIPI. Memang tidak drastis. Ibaratnya, cangkang masih ada namun anggarannya sudah dipindah, dan orang-orang yang terlibat dalam teknis itu juga sudah digeser, kegiatannya sudah tidak ada, koleksi biota lautnya juga sudah dilepas lagi ke laut yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan.
"Beberapa UPT di Tual, Biak, Ternate, dibuat mati pelan-pelan, supaya tidak ada lagi kegiatan. Kalau sudah seperti itu, maka pemerintah akan menutupnya. Mereka tidak punya kewenangan menutup UPT, jadi mengebirinya pelan-pelan," ujar Yon kepada VIVA.
Tak hanya reorganisasi yang meresahkan. Kebijakan redistribusi karyawan yang disampaikan Kepala LIPI juga mendapat penolakan. Prof Rosichon yang mengepalai lembaga pelatihan di Bogor mengakui dirinya tidak sreg dengan pola reorganisasi yang diberlakukan. Sebab, tak ada nilai standar yang jelas, tiba-tiba Kepala LIPI mengeluarkan aturan yang membuat sejumlah peneliti rontok atau terpaksa digeser.
"Sebagai standar penilaian, kita punya Hasil Kerja Minimum (HKM). Biasanya aturan ditetapkan jika HKM sudah dipersiapkan. Harusnya dipersiapkan dua sampai tiga tahun sebelum HKM ditetapkan. Namun saat ini, peneliti yang gugur itu bukan peneliti yang goblok yang bodoh, tetapi peneliti yang tidak ada fasilitas dan sistem memadai, tidak dipenuhi. Oleh karena itu, akhirnya saat ini dinilai oleh peneliti muda, ya seperti itu dilakukan pembersihan," ujarnya.
Kegiatan ilmiah LIPI untuk masyarakat ecodome di Kebun Raya Bogor
Salah satu civitas LIPI dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Henny Warsilah, merujuk pada keputusan Laksana Tri Handoko yang menghapus unit penelitian di sejumlah daerah khususnya bagian timur Indonesia seperti Biak, Tual, dan Wamena dengan dalih memakan biaya besar. Padahal menurutnya, keberadaan unit penelitian itu sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo tentang kelautan.
"Alasannya karena high cost padahal tidak bisa digantikan high cost dengan kehadiran negara dan itu marwah ilmu pengetahuan. Kita harus perbarui ilmu pengetahuan kalau tidak maka akan diambil asing kekayaan kita," ujar Henny Warsilah kepada BBC.
Heny juga menyesalkan ditariknya sejumlah peneliti dari Kebun Raya Bogor. Sebab, di sana adalah pusat keanekaragaman hayati. Jika penelitinya ditarik, maka fungsi Kebun Raya Bogor akan menjadi tidak jelas. Jika dipaksakan menjadi tempat wisata semata, maka ia khawatir keanekaragaman hayati di sana akan cepat punah, sebab tak ada lagi yang mengawasinya, maka perawatan akan terbengkalai.
Pemerintah Turun Tangan
Kisruh LIPI membuat pemerintah prihatin. Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko untuk menemukan solusi atas konflik internal di lembaga riset tersebut. Hasilnya, sejumlah profesor dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akhirnya bertemu dengan Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, Jumat 8 Februari 2019. Pertemuan ini terkait penolakan kebijakan reorganisasi. Kebijakan reorganisasi dinilai tidak memenuhi prinsip inklusif, partisipatif dan humanis.
Pertemuan ini terkait penolakan kebijakan reorganisasi bagi sebagian peneliti dan profesor. Dari pertemuan itu, terjadi penandatanganan perjanjian antara Handoko dengan sejumlah peneliti yang menolak reorganisasi tersebut. Ada lima poin yang diajukan, pertama mengenai penghentian sementara reorganisasi, membentuk tim evaluasi, mengkaji ulang kebijakan reorganisasi, membangun desain LIPI, dan mengembalikan struktur sesuai dengan Peraturan Kepala LIPI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Para profesor dan peneliti LIPI menemui Ketua DPR guna mengadukan kebijakan Kepala LIPI
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi PANRB Syafruddin akhirnya ikut turun tangan. Ia bertemu dengan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta Selatan, pada Senin, 18 Februari 2019. Menurut Syafruddin, terjadi semacam miss communication antara Kepala LIPI, staf dan aparatur anggotanya sehingga terjadi semacam gap (kesenjangan). Ia lalu meminta agar pihak yang bersengketa untuk saling menahan diri. Sebagai jalan keluar, Menpan RB akan membentuk tim penyelaras.
"Tim ini terdiri dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, (BKN) dan pihak LIPI itu sendiri," ujarnya.
Namun, kisruh tak kunjung selesai. Selang 10 hari kemudian, para profesor dan peneliti LIPI malah menjatuhkan mosi tidak percaya pada Laksana. Sebanyak 65 peneliti utama dan profesor riset LIPI menyampaikan mosi tidak percaya pada Pimpinan LIPI melalui konferensi pers yang digelar pada Kamis, 28 Februari di Gedung Widya Graha LIPI lantai 7. Mereka mengatakan, mosi tak percaya tersebut dijatuhkan karena Laksana Tri Handoko tak menepati sejumlah janji yang sudah disepakati.
Menanggapi mosi tak percaya yang dijatuhkan peneliti LIPI, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan moratorium reorganisasi di tubuh lembaga tersebut. "Sementara berhenti dulu, supaya tidak gaduh. Nanti akan kami ajak bicara detailnya. Apa sih yang diinginkan mereka," ujar Menristekdikti Mohamad Nasir saat ditemui di Kantor Wakil Presiden, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Maret 2019.
Belakangan, tak hanya mosi tidak percaya yang dijatuhkan, tapi Laksana juga dituntut untuk turun dari jabatannya.
Laksana Bergeming
Menanggapi gejolak yang terjadi di internal lembaga yang ia pimpin, Laksana mengatakan akan terus berjalan dengan kebijakan yang sudah ia tetapkan. Ia menganggap apa yang ia lakukan adalah program yang biasa. "Kita kan melakukan reorganisasi, yang fokusnya tentu mengubah proses di LIPI, administrasi penelitian. Ya mungkin di situ ada beberapa, sebagian kecil, yang zona nyamannya terganggu, intinya itu saja," ujarnya kepada VIVA.
Ia berdalih, semuanya dilakukan agar peneliti bisa fokus mengurus penelitian saja, tidak mengurus administrasi, dan tidak dibebani administrasi, termasuk pendidikan. "Karena selama ini di sub-unit itu rata-rata 60 persen sdm-nya administrasi, yang penelitinya 40 persen. Nah, ini kita tarik ke sekretariat utama, yang memang untuk mengurus administrasi. sehingga mereka yang di sub unit itu akan fokus mengurus penelitian aja. itu yang kemudian kita redistribusikan ke setiap kawasan yang ada. Tetapi mereka di bawah Sestama, kayak layanan 1 atap," ujarnya menjelaskan.
Laksana mengaku tak paham, mengapa tiba-tiba jadi ada kisruh. Ia mengatakan, mereka yang komplain tak pernah menyampaikan secara personal. Menurut dia, jumlah mereka yang menolak reorganisasi tidak banyak, tetapi vokal dan nyaring. Ia mengklaim, mereka yang silent majority dan mendukung keputusannya, jumlahnya jauh lebih banyak.
Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko
Laksana membantah soal kabar pemusnahan buku. Menurut dia, itu adalah salah satu isu yang digoreng. "Jadi, sudah diklarifikasi juga, bahwa itu tidak benar. Penjagaan koleksi pusaka itu kan sesuatu yang sangat penting dilakukan, hanya itu saja. Dan yang disiangi (weeding) itu pasti yang sudah memenuhi standar. Kan sudah ada indikatornya, apakah rusak, tidak relevan.
Melalui akun Twitternya LIPI menjelaskan soal puluhan ribu yang dibuang tersebut. LIPI mengatakan, mekanisme weeding adalah proses normal di dunia perpustakaan dunia untuk memeriksa koleksi, judul per judul untuk penarikan permanen terutama dokumen yang secara fisik sudah rusak parah. Adapun kriteria dalam proses penyiangan yang dilakukan LIPI atas koleksi dokumen ilmiah yakni umur dan fisik koleksi, keefektifan dan efisiensi pemanfaatan ruang perpustakaan, pemanfaatan koleksi tercetak, dan relevansi substansi koleksi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
“PDDI LIPI melakukan digitalisasi aset-aset tersebut agar tetap awet serta lebih mudah diakses masyarakat tanpa harus datang langsung ke PDDI LIPI," ujar LIPI dalam keterangan di akun Twitter-nya, Selasa 12 Maret 2019.
Sebelum dilakukan digitalisasi atau penyiangan, PDDI LIPI memastikan tesis dan disertasi aslinya masih tersimpan di perguruan tinggi asal.
Laksana menyayangkan isu yang berkembang saat ini. Menurutnya saat ini, semua bisa dijadikan isu. Ia juga mengendus kasus ini sudah mengarah ke politik. Dan, menurutnya, hal tersebut tidak pada tempatnya terjadi di LIPI.
Sikap Laksana yang tetap teguh dengan keputusannya disesalkan oleh Prof Yan Sopaheluwakan. Ia mengatakan, Laksana sebagai seorang yang otoriter. "Begini lho, dari dulu kan kita tidak pernah ada masalah, karena pimpinan itu harusnya bersifat mengayomi. Sekarang LIPI dipegang oleh orang yang otoriter. Dia merasa bahwa kebijakan dialah yang paling benar dengan menegasikan teman-teman deputi yang lainnya, tanpa berkomunikasi dengan deputi-deputi yang lain, jadi dia memang selalu sendiri saja. Jadi sumber masalah LIPI itu adalah dia pribadi, Kepala LIPI yang sekarang ini. Orang dari dulu enggak pernah ada masalah kok,” ujarnya.
Prof Rosichon mengamini pendapat Prof Yan. "Begini ya. Sejak dulu dia kontroversi ya. Tapi tidak tahu kenapa dia menduduki posisi yang tinggi. Saya tidak tahu siapa yang mengangkat, yang support. Tapi saya jelaskan. Dia tidak melalui proses perjenjangan penelitian seperti yang lain. Tidak melalui calon peneliti, peneliti muda, peneliti madya, peneliti utama, sampai profesor riset. Dia tidak mengalami semua itu," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR RI, Fadel Muhammad menyesalkan kisruh yang terjadi di LIPI. Ia mengaku sangat prihatin dengan adanya kisruh ini, karena mestinya tidak perlu ada sebuah lembaga ilmiah yang begitu hebat harus muncul hal seperti begini.
"Nah setelah kita pelajari, ternyata memang Pak Handoko sebagai Ketua LIPI yang baru ini mengadakan beberapa perubahan-perubahan dan kemudian perubahan-perubahan ini tidak dapat diterima oleh mereka-mereka yang senior maupun beberapa yang junior di sana," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR, Fadel Muhammad
Menurutnya, publik dirugikan dengan kerusuhan yang terjadi. Sebab, lembaga ilmiah itu terpaksa berhenti melakukan kegiatan-kegiatan mereka. Ada buku-buku yang dibuang, dan ada hal-hal yang tak pantas terjadi. Fadel berjanji akan mengagendakan pertemuan Komisi VII dengan Kepala LIPI dan para tokohnya untuk menjernihkan masalah ini.
Kisruh LIPI belum jelas kapan akan berakhir. Kedua pihak sama-sama merasa sedang memperjuangkan kepentingan publik. Keputusan pemerintah membentuk tim penyelaras bisa jadi tidak efektif, karena seperti berhadapan dengan jalan buntu. Tak ada celah untuk melangkah dan keluar dari masalah yang membelit LIPI. Publik jelas dirugikan dengan kisruh tersebut. Karena LIPI adalah lembaga negara yang bekerja dengan dana dari pajak rakyat. (mus)
Baca Juga