Tren Uang Elektronik

Tcash menjadi LinkAja, salah satu platform uang elektronik yang jadi makin tren di Indonesia.
Sumber :
  • Dok. Istimewa

VIVA – Menteri Rini Soemarno datang ke lokasi Java Jazz Festival 2019 di Jakarta dengan gaya santai. Berkaos putih, dia pun melenggang sambil terus tersenyum. Rini langsung menuju sebuah booth.

Salah satu pejabat andalan Presiden Joko Widodo ini datang ke arena Java Jazz tidak sekadar menikmati asyiknya musik kelas dunia. Dia ternyata juga ingin mengujicoba transaksi non-tunai dengan menggunakan ponsel pintar. Transaksi non-tunai itu produk baru yang telah disiapkan sejumlah perusahaan negara di bawah pengawasan Menteri Rini.

Sesampai di booth, dia menyempatkan bertransaksi. Jarinya mengetuk layar ponsel dan kemudian memindaikan ke kode QR. Transaksi sukses dalam waktu singkat. Rini pun menunjukkan ke hadirin di booth yang ramai pengunjung itu, layar smartphone miliknya menunjukkan notifikasi sukses transaksi dengan mudah.

Selepas itu, dengan senang dan mengumbar senyum, sang menteri mengambil posisinya. "LinkAja, beres tanpa cash," sahut Rini sambil menunjukkan jempolnya. Menteri Badan Usaha Milik Negara itu menuntaskan promo LinkAja pada hari itu itu dengan melambaikan tangan ke hadirin yang disambut disertai sorak sorai pengunjung.

Menteri BUMN Rini Soemarno meluncurkan LinkAja

Momen tersebut terjadi pada Minggu 3 Maret 2019, Rini datang untuk meluncurkan platform uang elektronik baru, LinkAja, yang merupakan gabungan uang elektronik dari sejumlah bank pemerintah serta lembaga BUMN lainnya. LinkAja menjadi perhatian karena peleburan platform uang elektronik pemerintah menjadi satu entitas.   
 
Dalam beberapa tahun terakhir ini, uang elektronik ini bak cendawan di musim hujan. Tumbuh di mana-mana. Makin ke sini makin banyak platform penyedia layanan uang elektronik.

Selain LinkAja yang baru gebyarnya terasa awal bulan ini, masyarakat khususnya pengguna layanan transportasi online sudah akrab dan familiar layanan non tunai yakni OVO, Gopay. Selain itu masyarakat mendapatkan banyak alternatif platform Dana, iSaku, Sakuku, Paytren, True Money dan lainnya.

Maraknya penggunaan uang elektronik ini merupakan wujud dari evolusi sistem pembayaran. Menyesuaikan perkembangan zaman, orang dulu bertransaksi menggunakan sistem barter, uang emas dan uang perak. Setelah itu, muncul sistem pembayaran yang berkembang menjadi uang kertas.

Setelah lama uang kertas berlangsung, memasuki era elektronik, muncul sistem pembayaran elektronik. Uang elektronik merupakan salah satu wujud dari tren era elektronik saat ini. Tanpa uang tunai tak masalah. Tinggal mainkan jari dari layar smartphone, transaksi selesai hitungan menit, dan barang atau jasa layanan yang diinginkan segera datang.

Layanan uang elektronik Gopay

Penggunaan uang elektronik sebagai transaksi menjadi alternatif dari transaksi tunai yang konvensional.

Bank Indonesia telah merespons bakal munculnya tren sistem pembayaran elektronik atau non tunai sejak 2006. Pada 13 tahun lalu, bank sentral tersebut telah mendorong terbentuknya sistem pembayaran non tunai.

Cashless Society

Bank sentrak bak futurolog, uang elektronik bakal menjadi tren di masa depan. Alasannya jelas, Bank Indonesia melihat perkembangan transaksi pembayaran menuju cashless society merupakan tren yang tidak bisa dihindari.

Sistem pembayaran konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran telah bergeser. Konsepnya jelas, sistem transaksi non tunai menawarkan inovasi pembayaran yang efisien, aman, nyaman dan cepat.

***

Kemudian pada 14 Agustus 2014, Bank Indonesia meluncurkan program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk mendorong dan menggenjot masyarakat beralih ke transaksi non tunai. Benar saja transaksi uang elektronik melanda.

Dalam cacatan Bank Indonesia transaksi uang elektronik telah tumbuh sejak 2009. Pada bulan pertama 2009 saja, volume transaksi uang elektronik sudah mencapai 492.818 volume transaksi dengan nilai mencapai Rp21,6 miliar. Tren transaksi uang elektronik terpantau terus meningkat saban bulannya Pada Desember 2009 saja, volume transaksi uang elektronik sudah mencapai 2 juta transaksi dengan nilai Rp64,9 miliar. Transaksi uang elektronik dari bulan ke tahun makin meningkat baik dari segi volume transaksi dan nilai nominal transaksi.

Data Bank Indonesia menunjukkan, pada Januari 2019, atau satu dekade setelah munculnya uang elektronik yang berlisensi bank sentral, tercatat ada 274 juta volume transaksi uang elektronik dengan nilainya mencapai Rp5,8 triliun.

Pertumbuhan ini juga bisa dilihat dari daftar penyelenggara uang elektronik yang telah mengantongi izin dari Bank Indonesia. Gelombang awal penyelenggara yang mendapat izin yakni pada Juli 2009, ada sembilan penyelenggara. Satu dekade kemudian, data per 4 Maret 2019, menunjukkan jumlah penyelenggara kini 37 badan usaha.

Iklan layanan uang elektronik OVO

Meski menunjukkan tren terus tumbuhnya transaksi uang elektronik, nyatanya transaksi uang tunai masih mayoritas dilakukan masyarakat di Tanah Air.

Data survei Bank Indonesia per Desember tahun lalu menunjukkan, masyarakat Indonesia yang masih menggunakan uang tunai yakni 76 persen dan masyarakat yang bertransaksi non tunai naik menjadi 24 persen. Malahan data Bank Dunia, masyarakat Indonesia masih secuil yang menggunakan transaksi uang elektronik atau non tunai. Data Bank Dunia menunjukkan pemakaian uang tunai di Indonesia kasih 90 persen dan non tunai 10 persen.  

Maraknya penggunaan uang elektronik ini tak lepas dari fungsi fleksibilitas sistem pembayaran ini. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng mengatakan keuntungan menggunakan uang elektronik dan instrument pembayaran non tunai lain antara lain praktis tanpa kembalian, efisien, aman, dan transaksi lebih cepat.

Siapkan Aturan

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, dengan uang elektronik, pengguna mudah bertransaksi, lebih dinamis dan tak repot bawa uang kertas yang berisiko. Dengan demikian dengan mudah transaksi pada akhirnya akan menggerakkan aktivitas ekonomi secara multiplier effect.

"Kan dalam ekonomi itu ada velocity of money. Jadi orang lebih cepat bertransaksi. Perkembangan e-commerce juga membuat orang lebih mudah berbelanja dan lain-lain dan itu dibantu sistem pembayarannya," kata David.

***

Karena maraknya uang elektronik ini, Bank Indonesia perlu mengawalnya dengan mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan terbaru yang dirilis yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Sugeng mengungkapkan peraturan ini mengatur prinsip penyelenggaraan uang elektronik, perizinan, mekanisme penyelenggaraan, kelembagaan, pengawasan, dan sanksi.

"Tujuan utama pengaturan adalah menjaga efisiensi melalui interkoneksi, kelancaran dan keamanan transaksi, termasuk menjaga perlindungan konsumen serta penguatan kelembagaan penyelenggara uang elektronik melalui persyaratan modal," kata Sugeng.

Dalam peraturan tersebut, bank sentral membatasi jumlah penggunaan uang elektronik, untuk simpanan uang maksimal Rp10 juta dan batas nilai transaksi dalam sebulan maksimal Rp20 juta.

David mengakui tren transaksi dengan uang elektronik ini makin tinggi. Umumnya yang menggunakan ini adalah generasi muda dan milenial, sebab generasi tua lebih nyaman dengan transaksi konvensional.

Namun demikian, meski sudah menjadi tren masa kini, menurut David, keberadaan uang tunai masih dibutuhkan. Uang konvensional ini perlu untuk fungsi cadangan. Dia menyebutkan, misalnya ada kasus bencana di daerah dan saat jaringan listrik mati total, maka masyarakat mau nggak mau akan menggunakan transaksi tunai.

Layanan pembayaran digital Paytren

Senada dengan David, Sugeng mengatakan Bank Indonesia memang mengedukasi masyarakat dengan GNNT untuk menggunakan transaksi non tunai. Bank sentral menyarankan masyarakat memakai instrumen non tunai untuk mendorong ekonomi. Namun di sisi lain tetap memastikan ketersediaan uang tunai rupiah. Artinya uang kartal tetap akan ada.

"Karena terdapat kebutuhan yang belum bisa dipenuhi instrumen non tunai, misalnya dalam keadaan bencana, kondisi infrastruktur yang belum optimal, dan lain-lain," ujar Sugeng.    

Meski menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan, Sugeng menekankan, pentingnya aspek keamanan dalam transaksi uang elektronik. Jangan sampai data konsumen beredar untuk kepentingan yang tidak semestinya. Maka menutunya perlu sistem keamanan berlapis dan peningkatan keamanan yang terus menerus dijaga.

Dia membandingkan, uang konvensional saja memiliki pengamanan misalnya benang hologram dan benang pengaman, maka sudah seharusnya uang elektronik perlu keamanan berlapis.

David juga menekankan perlunya back up sistem serta instituti penyelenggara uang elektronik yang harus-benar-benar dipercaya.

Soal keamanan, Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha sepakat perspektif uang elektronik tak melulu cuma bicara soal finansialnya. Menurutnya, penting untuk memastikan tiap platform uang elektronik aman.

Dia mengingatkan bagaimana Gopay menjadi andalan masyarakat pernah bermasalah dengan celah keamanan pada sistem mereka. Banyak konsumen yang kehilangan uangnya. Pengamat siber itu menunjukkan, China saja yang industri uang elektroniknya sudah matang tetap saja ada noda.

Pakar telik sandi itu mengatakan, di China ada banyak kasus gambar QR barcode yang palsu dan mengandung malware. Makanya tak heran software jahat ini menguras dompet elektronik dan mengambil data konsumen. Korban lainnya dari insiden ini, tenant atau merchant tidak mendapatkan bayaran.

"Lalu yang sudah pernah terjadi adalah lubang pada sistem dieksploitasi dan mengakibatkan hilangnya dana konsumen. Ini pernah terjadi di Gopay, namun tidak ada kabar lebih lanjut penyebabnya adalah bug atau terjadi peretasan," jelas pria asal Cepu, Blora tersebut.

Layanan pembayaran digital Sakuku

Kompleksitas keamanan sistem uang elektronik ini juga bisa dilihat dari perangkat atau smartphone pengguna. Bila ponsel yang dipakai pengguna terjangkit malware, maka berisik mengambil alih aplikasi pembayaran elektronik.

Pratama menuturkan, soal keamanan ini jangan dianggap enteng. Sebab dengan kemajuan teknologi, penjahat elektronik bisa mencuri data kartu kredit dan e-money dalam jarak beberapa meter.

Problem fraud atau penipuan juga harus diantisipasi. Pratama mengatakan, jangan dilihat nominal kecil uang elektronik yang dicuri oleh penjahat elektronik atau peretas.  

"Bayangkan saja ada 10.000 orang kehilangan Rp1 juta dalam aplikasi mereka, ini tentu berbahaya," ujar Pratama.

Dengan demikian, aspek keamanan uang elektronik harus menyeluruh yakni sistem, server, pengembang aplikasi serta perangkat yang digunakan.

Selain masalah keamanan, David menekankan dampak dari popularitas transaksi uang elektronik yang berpotensi ‘mengganggu’ bisnis perbankan.

Makan menurutnya sudah ideal penggunaan uang elektronik perlu rambu-rambu alias pembatasan. David mengatakan, prinsip pembatasan harus bisa menguntungkan pemangku kepentingan, konsumen, masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan.

Tren ke Depan

Dengan perkembangan dan dinamika teknologi, David meyakini model transaksi uang elektronik akan berkembang terus ke depan. Dia membandingkan di luar negeri tren transaksi uang elektronik sudah sampai melibatkan teknologi biometrik dari pengenalan wajah sampai sidik jari.

Beberapa sektor industri di Swiss, kata David, sudah menggunakan teknologi biometrik meliputi finger print sampai face recognition. Sedangkan di beberapa negara Skandinavia, malah sudah menggunakan chip uang elektronik untuk sistem transportasi mereka.

***

Menurut David, rupa model transaksi uang elektronik itu hanyalah bagian kecil dari perkembangan sistem pembayaran tersebut.

Melihat sejarah perkembangan sistem pembayaran di masa lalu, David mengatakan, mengikuti perkembangan teknologi yang dinamis, transaksi uang elektronik bakal lebih cepat dan melibatkan teknologi biometrik.

Penyedia jasa sistem pembayaran uang elektronik juga akan berevolusi. Dengan demikian nanti kompetisi transaksi uang bukan cuma terjadi di perbankan tapi juga sampai pada antarpenyelenggara uang elektronik.

Soal kemajuan uang elektronik, David tak ragu menyebutkan keberhasilan China. Dia mengatakan, tren uang elektronik di Negeri Tirai Bambu ini sudah melibatkan kode QR lewat smartphone untuk transaksi pembayaran. Kemajuan uang elektronik di Negeri Tembok Raksasa itu, menurut David, salah satunya terdorong dengan sistem pemerintahan negara komando.

Sedangkan di Eropa dan Amerika Serikat industri uang elektronik lebih mengedepankan privasi.

Transaksi Gopay

Soal moncernya uang elektronik di China, pakar konsultan manajemen firma konsultan PT Manajemen Kinerja Utama, Yodhia Antariksa mengatakan, kesuksesan di China bisa dilihat dari perkembangan Alipay dan WeChatPay. Dua layanan uang elektronik ini sudah sampai ke gang-gang perkampungan alias warung kelontong.

"Di China regulasi agak longgar. Cepat pertumbuhannya. Mereka booming gara-gara ada fitur angpao elektronik dari WeChatPay," ujar Yodhia.

Dia memprediksi, perkembangan uang elektronik ke tahap selanjutnya butuh waktu yang lumayan. Alasannya, uang elektronik masih menjadi tren dalam beberapa tahun ke depan. Yodhia memperkirakan tren transaksi uang elektronik akan berlangsung cukup lama dari saat ini.

Pratama menambahkan, uang elektronik menyadarkan kalangan perbankan yang sebelumnya tidak banyak bermain dalam tren baru ini.

Selama ini, kata Pratama, perbankan di Indonesia lebih memilih bermain aman dan kurang total dalam berinvestasi dalam sisi teknologi informasi. Barulah setelah melihat banyak platform uang elektronik mengambil keuntungan finansial, bank-bank besar di Tanah Air batu ikut bermain. Makanya, Pratama tak heran dengan munculnya LinkAja yang merupakan gabungan dari uang elektronik BNI, Bank Mandiri, BRI, BTN, Pertamina, Jiwasraya dan Telkomsel.

Promo dan Bakar Uang

Hal menarik dari berkembangnya penyedia uang elektronik ini adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. Skema yang banyak dijalankan yakni pertama menarik perhatian pengguna untuk sesering mungkin memakai uang elektronik masing-masing platform dengan cara membakar uang dan mengobral promo.

Jalan membakar uang ini, kata Yodhia sudah dipraktikkan oleh Gopay. Cara ini masih dianggap salah satu paling ampuh untuk menaikkan transaksi uang elektronik.

***

Yodhia menunjukkan, berdasarkan survei DailySocial, pemimpin pasar uang elektronik di Indonesia saat ini adalah Gopay dengan pengguna mencapai 79 persen dari 1400-an responden yang disurvei, sedangkan OVO sebanyak 58 persen. TCash, yang melebur menjadi LinkAja, dipakai 55 persen responden.

Beberapa waktu lalu, Gopay menjalankan skema promosi besar-besaran dengan cashback 30 persen di banyak merchant. Jelas, kata Yodhia, cara ini untuk bertujuan membuat pengguna loyal menjadi pelanggan Gopay dan akhirnya tetap memakai uang elektronik ini meski tanpa promo lagi.

Skema bakar uang ini akan pelan-pelan dilepaskan dan akan menerapkan biaya atau tarif pada merchant meski dengan nominal yang terjangkau. Menurutnya fee merchant ini akan menjadi andalan ke depan dari penyedia uang elektronik.

"Akan tetap andalkan fee merchant. Akan bagus kalau volume transaksi sudah tinggi. Tahun 2018 transaksi Gopay sudah Rp87 triliun," kata dia.

Mengingat potensi menggiurkan uang elektronik ke depan, sebagai pemimpin pasar Gopay menargetkan banyak menjalin kemitraan ke berbagai lembaga. Gopay meyakini melalui kolaborasi, ekosistem pembayaran nontunai dapat dibangun menjadi semakin kuat sehingga akan semakin banyak pula lapisan masyarakat
yang dapat kita bantu melalui ekosistem ini.

Gopay tentunya akan terus berupaya agar manfaat pembayaran nontunai dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat agar perekonomian Indonesia juga ikut terdorong.

"Gopay akan tetap berfokus pada misi utamanya, yaitu untuk menjadi jembatan bagi masyarakat menuju layanan jasa keuangan. Namun ke depan nya, kami juga berharap agar kolaborasi dengan berbagai pihak dapat terjalin sehingga kita dapat membangun ekosistem bersama-sama," kata Head of corporate communication Gopay, Winny Triswandhani.
 
David mengatakan tren uang elektronik ini memang bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan pengguna bertransaksi, namun di sisi lainnya jika tak terkendali ada kecenderungan membuat pengguna konsumtif.

"Makanya harus diperhatikan juga agar produk e-commerce itu juga didorong produksi dalam negeri. Kalau tidak, nanti transaksi berjalan kita itu jebol lagi," ujar David yang juga pengamat keuangan tersebut.

Dia memberikan catatan, dampak dari uang elektronik bisa dilihat dari mulai sepinya pusat perbelanjaan. Berkurangnya pengunjung di mall, kata dia, bukan berarti aktivitas ekonomi tidak bergerak namun terjadi perubahan pola.

"Bukan berarti aktivitas ekonomi tidak bergerak karena kita lihat pergerakan e-commerce itu eksponensial karena barang bisa setiap hari datang paketan ke rumah. Kalau ibu-ibu bapak-bapak tidak ke mall saya rasa itu bisa saja ke rumah," kata dia.

Pengamat Gaya Hidup Dwi Sutarjantono menyarankan supaya tak terjebak pada budaya konsumtif akibat uang elektronik yakni harus benar-benat memperhatikan pengeluaran, pendapatan dan gaya hidup.

Budaya konsumtif saat ini diuntungkan dengan gaya hidup mewah yang kerap tersaji dalam pamer foto di media sosial misalnya Instagram.

"Kalau enggak bisa menjaga diri, mengimbangi itu, ya habis. Jadi kontrol mereka terhadap keuangan harus kuat karena godaan semakin tinggi. Karena itu sudah nggak bisa dihalangi teknologi," ujar Dwi. (ren)

Baca Juga

Sengitnya Perang Uang Elektronik

Profil Penyedia Uang Elektronik