Dangdut, Jelata yang Dicinta
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Puluhan ribu penonton di stadion Gelora Bung Karno ikut bernyanyi dan bergoyang ketika sebuah lagu bernada riang dan mengajak menang dilantunkan dengan energik oleh Via Vallen, penyanyi muda berusia 22 tahun.
“Tetap fokus kita kejar dan raih bintang..,” Berbarengan dengan berakhirnya lagu tersebut, telunjuk Via Vallen mengarah ke atas. Lalu kembang api pecah di udara. Suasana makin meriah diiringi tepukan tangan membahana.
Wajah Via Valen merona, kontras dengan stelan blazer putih bertabur bunga yang ia kenakan. Senyumnya lebar merekah. Via membungkukkan badan, lalu berpamitan. Perlahan fisiknya menghilang dari tatapan penonton, termasuk Presiden RI Joko Widodo dan perwakilan negara asing.
Penyanyi dangdut Via Vallen di pembukaan Asian Games 2018
Pesta pembukaan Asian Games 2018 yang digelar pada 18 Agustus 2019 menjadi perbincangan yang tak usai. Kemeriahannya bahkan disebut mengalahkan kemeriahan pembukaan Olimpiade, pesta olah raga terbesar di dunia, yang diadakan di Rusia beberapa bulan sebelum Asian Games digelar. Via Vallen terpilih untuk melantunkan lagu resmi Asian Games 2018, Meraih Bintang.
Meraih Bintang merupakan lagu beraliran dangdut modern yang diciptakan oleh Pay Siburian, salah satu produser ternama di negeri ini. Via terpilih sebagai penyanyinya setelah panitia Asian Games 2018, INASGOC, melakukan seleksi. Ketua INASGOC Erick Thohir saat itu menjelaskan kepada media, Via Vallen ditunjuk sebagai penyanyi lagu Meraih Bintang karena dinilai memiliki talenta luar biasa.
“Saat ini, Via Vallen punya pengaruh musikalitas yang besar di Indonesia. Makanya kami ingin seluruh masyarakat Indonesia berjaya dan bergoyang menyambut Asian Games 2018,” ujar Erick.
Naik Kelas
***
Asian Games 2018 menjadi tonggak baru dalam perjalanan musik dangdut. Asian Games adalah pesta olahraga bergengsi yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 1951 di India. Dan tahun 2018, pesta olahraga itu diikuti oleh 45 negara dengan 11.702 atlet.
Dangdut mendapat kesempatan untuk diperdengarkan saat pembukaan, dan menjadi lagu tema yang paling populer. Lagu ini juga diterjemahkan dalam bahasa Arab, Korea, Mandarin, Inggris, Jepang, Thailand, dan Hindi.
Sebelum tampil di pembukaan Asian Games 2018, Via juga mendapat sambutan sangat meriah ketika menjadi bintang tamu di ulang tahun sebuah stasiun televisi. Di acara tersebut Via tampil menyanyikan lagunya yang sedang populer, Sayang. Ketika nama Via disebut, suara tepuk tangan yang gemuruh terdengar. Seluruh undangan yang hadir berdiri, ikut bernyanyi dan bergoyang hingga lagu habis.
Di acara tersebut, Via juga bernyanyi dan meliukkan tubuhnya dengan identitas yang jauh berbeda dari tampilan penyanyi dangdut pada umumnya. Tak ada pakaian seronok atau goyangan seksi nan sensual yang ditampilkan pedangdut bernama asli Maulidia Octavia itu. Padahal selama ini dangdut lekat dengan identitas tersebut. Ia tampil mengenakan stelan blazer, seperti lazimnya penyanyi Korea. Goyangannya, dan para penari latar juga menggabungkan antara gerakan lagu pop Korea dan goyang dangdut.
Kini nama Via Vallen kondang sebagai penyanyi dangdut papan atas. Klip lagu Sayang yang dinyanyikan biduan berusia 22 tahun itu sudah ditonton oleh 175 juta pengguna youtube.
Via bukan satu-satunya penyanyi dangdut Pantura yang sedang hit dengan tampilan natural. Ada Nella Kharisma yang kini juga tengah digilai penggemar dangdut. Lagu Jaran Goyang yang dilantunkan Nella meledak tak hanya di kalangan penyuka dangdut, tapi juga di berbagai lapisan masyarakat.
Seperti Via, Nella juga tak banyak mengumbar goyang erotis. Meski berpakaian lebih seksi, Nella Kharisma tak tampil seronok. Ia bergoyang sewajarnya. Nella juga berdandan ala artis Korea. Dua penyanyi ini menampilkan citra baru perempuan penyanyi dangdut. Muda, energik, dan riang lebih tampak pada mereka ketimbang seronok, sendu dan erotis.
Penyanyi dangdut Nella Kharisma
Dengan tampilan yang lebih populer, dangdut jadi makin mudah diterima. Hal tersebut diakui oleh pengamat musik Bens Leo. “Dangdut sudah naik kelas. Acara dangdut di televisi sekarang kian banyak dan terus menunjukkan format yang semakin bagus. Apalagi sekarang banyak acara award untuk dangdut di televisi,” ujar Bens Leo kepada VIVA.
Padahal di masa lalu, dangdut adalah musik yang dilihat dengan tatapan sinis. Pengamat musik Denny Syakrie, dalam bukunya 100 Tahun Musik Indonesia menyebutkan, musik yang merupakan hibrida dari musik Timur Tengah, Melayu dan India ini di awal kemunculannya memang dianggap murahan dan kampungan, bahkan pernah disetarakan dengan kotoran hewan.
Tahun 1970-an, pedangdut dan juga pemimpin Soneta Group, Oma Irama yang kini menjadi Rhoma Irama, bahkan pernah terlibat polemik sengit dengan Benny Soebardja, gitaris sekaligus vokalis kelompok rock Giant Step.
Dalam buku tersebut Denny Syakrie menjelaskan, bagaimana dangdut yang dekat dengan kelompok akar rumput sempat terhantam di tahun-tahun tersebut. Group rock baru yang bermunculan dengan alat band yang lebih mutakhir terus menggerus musik yang mengandalkan gendang dan seruling sebagai ciri khasnya..
Tapi kegigihan Oma Irama mempopulerkan musik Melayu yang khas tak juga berhenti. Tahun 1973, Oma Irama membentuk kelompok Soneta. Ia membuat terobosan yang inovatif dengan menggabungkan musik Melayu dengan sentuhan rock. Di bawah naungan label mayor Yukawi, Oma Irama mempopulerkan lagu Begadang, Penasaran, Darah Muda, dan lain sebagainya.
Terobosan Oma Irama, yang akhirnya diberi gelar Raja Dangdut oleh publik, berbuah manis. Perlahan band dan para penyanyi musik pop, bahkan rock, mulai menggeser musik mereka. Sentuhan dangdut disertakan. Sebuah label mayor besar, Remaco, mencium peluang. Eugene Timothy, pemiliknya kemudian meminta seluruh pemusik yang ada di bawah naungannya juga memasukkan unsur dangdut dalam salah satu lagu mereka. Tahun 1979, Achmad Albar dan God Bless merilis Zakia. Musiknya digarap oleh Ian Antono, gitaris God Bless. Achmad Albar bahkan bermain film bertema dangdut bersama Elvy Sukaesih, sang Ratu Dangdut.
Rhoma Irama dan Soneta
Awal 1980-an giliran Reynold Panggabean, drummer The Mercy’s dan istrinya Camelia Malik, berkolaborasi membentuk orkes Melayu Tarantula yang juga menggabungkan musik rock dan Melayu. Eksperimen lainnya dilakukan oleh Muchsin Alatas dan Abadi Soesman, yang mencoba menggabungkan musik dangdut dengan reggae dan jazz. Musik kelas akar rumput itu mampu menyeruak dan menembus kalangan menengah. Stasiun televisi yang sebelumnya emoh, akhirnya membuka pintu untuk dangdut.
Dangdut dan Transformasi Sosial
***
Dangdut semakin naik kelas. Membincang dangdut tanpa menyebut nama Rhoma Irama seperti membuat sayur tanpa kuah, kering. Bagaimana pun Rhoma Irama memiliki pendengar fanatik dan konsisten menciptakan lagu bertema kritik sosial.
Bagi Suryahanda, Ketua DPC FORSA Tangerang yang menggemari Rhoma Irama, dangdut adalah musik yang penting. Selain karena populer di seluruh Indonesia, dari masyarakat kelas bawah sampai menengah. Dangdut, terutama yang disajikan oleh Rhoma Irama dan Soneta memperlihatkan sesuatu yang berbeda.
Suryahanda, yang mengatakan dirinya adalah penggemar Rhoma Irama sejak usia SD, menyebut Rhoma Irama sebagai sosok yang paling berjasa dalam perjalanan musik dangdut di tanah air. “Bahkan beliau sempat mau dibunuh,” ujarnya kepada VIVA.
Ia berkisah, sebelum berhaji Rhoma membawakan dangdut sebagai musik biasa bernada Melayu. Tapi setelah Rhoma dan 11 rekannya di Soneta pergi haji, Raja Dangdut itu mulai menggeser musiknya menjadi musik dakwah. Rhoma bahkan sempat mengubah nama Soneta group menjadi Voice of Muslim. Setiap kali akan manggung, Rhoma akan menyapa penggemarnya dengan mengucap “assalamu’alaikum.”
Dari situlah masalah berasal. Musik dangdut yang identik dengan sensualitas, keseksian, bahkan keseronokan dijadikan media berdakwah oleh Rhoma. Bahkan kesantunan Rhoma mengucap ‘assalamu’alaikum” di atas panggung setiap menjelang pentas dianggap sebuah kesalahan. Rhoma dikejar-kejar, termasuk diancam akan dibunuh karena mencampuradukkan dakwah dengan dangdut. Tapi Rhoma bergeming. Ia terus mencipta dan menyanyikan lagu-lagu dakwah bahkan kritik sosial.
Kemampuan Rhoma menulis syair dan menggubah lirik juga dikenang dengan baik oleh penggemar lainnya. Komar, dari kelompok pecinta dangdut Cengkareng. Pria berusia 32 tahun itu mengaku lebih bisa tersentuh dengan lagu-lagu Rhoma yang bernada kritik sosial. “Kalau lirik cinta-cintaan saya tak tertarik, “ ujarnya.
Musik yang sangat dekat dengan kelas grass root, dan kerap berada dalam hubungan yang tidak harmonis dengan musik lain membuat dangdut dalam syair lagunya sering kali muncul unsur protes, persis seperti yang dilakukan oleh Rhoma. Menurut seorang etnomusikologi dari Barat, Jeremy Wallach Ph.D dangdut bisa disebut sebagai musik underground. “Dia underground karena mewakili sikap yang kritis,” ujarnya.
Dan meluasnya perkembangan dangdut sekarang menurutnya menandakan era baru yang lebih segar dan optimis. “Dangdut adalah era optimis, industrinya sangat luas. Sebelum marak pembajakan, industri masih kuat, dan ada sikap optimis selama reformasi,” ujarnya menambahkan.
Zaman terus bergerak. Rhoma tak terlalu sering lagi mencipta lagu baru. Meski demikian, lagu-lagu Rhoma yang bertema kritik sosial tak lekang tegilas zaman yang serba cepat. Dangdut yang sempat dimanfaatkan Rhoma sebagai sarana berdakwah mulai tergeser lagi. Tapi hal itu dianggap lumrah oleh senior yang lain, sebab tak semua penyanyi menganggap dangdut adalah sebuah sarana penyampai pesan. Sebagian lain menganggap bernyanyi dangdut adalah sebuah kebanggaan dan kegembiraan.
Pedangdut senior Rita Sugiarto mengakui, kelebihan dangdut adalah musiknya yang merakyat. “Musik dangdut itu memang merakyat, jadi karena lagunya yang mudah dicerna, dekat dengan keseharian lirik-liriknya, banyak yang mengena di hati. Karena notasinya yang enak, semakin mudah dicerna, dan edukatif juga,” ujarnya.
Pedangdut Rita Sugiarto dan Elvy Sukaesih
Ia menolak dangdut diidentikkan dengan hal-hal yang berbau porno atau seronok. “Seronok itu bukan musiknya. Musik itu suci tergantung yang menyanyikan siapa. Kalau dibilang seronok itu bukan musiknya. Musik itu suci, tergantung yang menyanyikan siapa. Kalau dibilang seronok, itu mungkin dari pakaian dan cara goyang,” ujar Rita Sugiarto.
Rita juga mengakui, dangdut di masa Rhoma Irama bisa memiliki penggemar fanatik yang terpaku pada syair-syair bertema sosial dan religius. Tapi kini mulai terjadi pergeseran. Penggemar dangdut ala Rhoma mulai ditinggalkan, tapi penggemar Via Vallen dan Nella Kharisma terus bertambah.
Pedangdut senior semacam Lesty Kejora mengaku senang dengan kondisi sekarang. Sebab, menurut Lesty, kini orang-orang tak malu lagi mengaku sebagai penggemar dangdut. Kemasan dangdut sekarang menurut Lesty sangat menarik. “Sejumlah televisi menyajikan ajang pencarian bakat, dan setelah itu mereka mencari juaranya,,” ujarnya.
Acara-acara semacam itu, menurut Lesty, menjadi salah satu upaya yang efektif untuk memasarkan dan mencari generasi baru penyanyi dangdut. Ucapan Lesty Kejora didukung oleh si kembar Ridho dan Rizky, finalis Dangdut Academy musim kedua. Penyanyi kembar ini merasakan tak harus membawakan dangdut dengan aroma kritik sosial. Meski mereka melantunkan lagu-lagu dangdut bertema cinta, patah hati, ditinggal kawin, hingga pasangan galak, penggemar tetap sangat banyak.
Keduanya berharap musik dangdut akan terus berkembang dan tetap disukai kalangan muda. “Musik dangdut sekarang sudah dikemas dengan keren, sampai banyak yang tak menyangka bahwa sebuah lagu yang sedang ngetop itu ternyata lagu dangdut,” ujar kedua kepada VIVA.
Meski tak semua penyanyi dan pencipta lagu dangdut memilih tema-tema kritik sosial atau religius, namun dangdut tetap disuka. Tema yang lebih umum semacam jatuh cinta atau patah hati tetap punya penggemar sendiri.
Tak heran Via Vallen dan Nella Kharisma memilki fans fanatik. Sebab, dangdut sudah menjelma menjadi musik sebagaimana umumnya. Musik yang boleh disukai siapa saja, musik yang menyeberangi batas kelas sosial, sekaligus musik yang menjadi simbol meleburnya perbedaan. (hd)
Baca Juga