Jurus Hadang Gadget

sorot sosial media - akses internet - smartphone
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Bos saya adalah pria yang sangat baik, dan saya menikmati bekerja dengannya. Tapi ada satu pengecualian.

Kami adalah perusahaan yang sangat kecil, jadi dia tak memiliki asisten untuk membantunya menangani lalu lintas panggilan. Inilah masalahnya. Ia menjadi orang yang terus-menerus mawas terhadap ponsel. Ia menjaga supaya telepon genggamnya tetap terlihat setiap saat. Sekalipun itu sedang rapat.  Bahkan pada saat rapat itu, meski ia tak menjawab telepon, setidaknya bos saya berhenti sejenak untuk melihat, kemudian memutuskan apakah panggilan itu harus segera diterimanya atau dapat menunggu.

Lantas, saya jadi bertanya-tanya. Jika mendapati bos saya sedang merunduk untuk memeriksa ponselnya, apakah saya harus terus berbicara atau berhenti sampai ia mendongak? Karena sering saya harus mengulangi materi yang saya sampaikan setiap kali notifikasi telepon genggam memecah konsentrasinya. 

Beberapa panggilan itu memang terkait dengan pekerjaan, tapi tak jarang bersifat pribadi. Saya mengerti dia berdedikasi untuk keluarga. Namun perilaku ini tampaknya tidak profesional dan buruk bagi bisnis. Adakah yang bisa saya lakukan tanpa dianggap sebagai orang yang tak simpatik? 

Penggalan cerita di atas adalah masalah yang dialami salah satu karyawan di New York. Ia mengirim surat pembaca di laman Seattle Times untuk mendapat tanggapan dari ahli mengenai perilaku atasannya yang kecanduan ponsel. Artikel ini dimuat pada 19 Desember 2018, dengan judul My Boss is Addicted to His Phone. What can I do?

Jika ditelisik dengan kondisi masa kini, masalah karyawan yang tak disebutkan namanya itu merupakan problematika umum di era ponsel seperti sekarang. Situs networkworld.com menyebutkan, sebagian besar pengguna gadget menyentuh ponselnya sebanyak 2.617 kali dalam sehari, dan jumlah terbanyak mencapai 5.427 kali sehari bagi pengguna yang sudah kecanduan.

Terkait dengan candu pada telepon genggam itu, ada istilah nomofobia yang mulai berkembang sejak tahun 2010. Nomofobia berasal dari kata no-mobile phone-phobia, yakni suatu sindrom ketakutan jika tak dapat mengakses telepon genggam. 

Orang-orang yang susah lepas dari gadget

Mengutip dari Wikipedia, istilah Nomofobia pertama kali muncul dalam suatu studi tahun 2010 di Britania Raya oleh YouGov. Ia meneliti tentang kegelisahan yang dialami di antara 2.163 pengguna telepon genggam. 

Dari studi tersebut ditemukan, 58 persen pria dan 47 persen wanita pengguna telepon genggam yang disurvei cenderung merasa tidak nyaman ketika berhadapan dengan situasi: kehilangan telepon genggam, kehabisan baterai atau pulsa, atau berada di luar jaringan.

Sembilan persen selebihnya merasa stres ketika ponsel mereka mati. Sementara separuh di antaranya mengatakan gelisah karena tidak dapat berhubungan dengan teman atau keluarga jika tidak menggunakan telepon genggam.

Fenomena kecanduan ponsel tersebut seolah tak terkesan berbahaya hingga mampu menghilangkan nyawa seseorang. Namun pada kasus bos perusahaan yang diceritakan di awal, jelas ada pihak yang dirugikan, yakni karyawan, sehingga ia mengadukan masalahnya pada surat kabar online. 

Akan tetapi, kecanduan ponsel bukan berarti tak berbahaya sama sekali.  Bahaya dalam arti berpotensi menyebabkan tewasnya seseorang. Terutama jika dikaitkan dengan kegemaran melakukan swafoto atau selfie. 

Maut dari Selfie

***

Ketika ponsel dengan kamera depan mulai memasuki pasar, selfie menjadi sangat populer. Technology Review melaporkan, pada 2016, sepanjang tahun 2015 ada sekitar 24 miliar foto selfie yang diunggah ke Google Photos. Artinya, selfie benar-benar menjadi tren.

Sayangnya, tren itu disertai data yang tragis. Pada 2014, 15 orang meninggal saat mengambil foto selfie. Angka itu meningkat menjadi 39 korban tewas pada 2015, dan di bulan ke delapan tahun 2016, angka kematian akibat selfie tercatat 73 jiwa. Data tersebut mengacu pada situs Cornell University, arxiv.org

Selfie di atas tebing

Di Indonesia, kejadian tragis meninggal karena selfie juga pernah beberapa kali terjadi. Tentu saja kasusnya bukan karena seseorang memotret dirinya sendiri menggunakan kamera depan ponsel kemudian tewas. Namun, kondisi dan lokasi selfie yang menyebabkan seseorang itu berhadapan dengan situasi bahaya. 

Contoh yang terbaru, pada 1 Januari 2019 lalu, satu keluarga di Trenggalek Jawa Timur terjebur ke sungai di kawasan air terjun saat swafoto. Korbannya, ayah dan dua anak meninggal, sementara ibu dan anak lainnya luka-luka. “Diduga mereka terpeleset dan meninggal dunia ketika berswafoto (selfie),” ujar Kapolsek Suruh, AKP Yasir.

Sedangkan pada pertengahan 2018 lalu, pelajar SMK di Pacitan Jawa Timur meninggal dunia setelah terseret arus laut Pacitan saat sedang selfie dengan teman-temannya.

Tindakan berani mengambil risiko demi ber-selfie ria, kendati di lokasi berbahaya itu didorong oleh obsesi pamer foto di media sosial. Efek like di Instagram, Facebook, maupun situs jejaring sosial lain, bisa menimbulkan sensasi rasa senang.

Hal itu dijelaskan pakar Neurosience UHAMKA, dr. Rizki Edmi Edison, bahwa orang yang mengalami kecanduan gadget, lebih banyak mengakses ponsel untuk berselancar di media sosial ketimbang memenuhi kebutuhan akan informasi. 

“Orang-orang yang mengalami adiksi, kalau dilihat dari persentase, dia melihat handphone itu bukan dilihat untuk mencari sebuah informasi. Tapi kebanyakan untuk bermedia sosial, apakah itu Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan game online,” katanya pada VIVA, Jumat 18 Januari 2019.

“Saya ambil contoh di media sosial ya. Anda membuat status di FB atau meng-upload foto di Instagram, post Anda dapat satu like, atau mendapatkan love satu misalnya. Karena Anda newbie (pemain baru), Anda dapat satu like saja pasti merasakan senang. Hore gue dapat satu like,” ujarnya menambahkan.

dr. Rizki menjelaskan, informasi jumlah like itu ditangkap oleh mata kita, masuk ke otak kemudian diantarkan ke bagian otak tengah yang dinamakan centro tagmental area.

Dari centro tagmental area akan muncul hormon yang dinamakan hormon dopamine. Hormon dopamine itu dilepaskan ke berbagai bagian otak, utamanya ke otak depan, yang dinamakan neucleos acumben. Di sini informasi akan diolah, sehingga hasilnya memunculkan rasa senang. 

“Nah, yang jadi masalah adalah manusia itu kan tidak mengenal batasan rasa puas. Tahun ini punya motor, sudah punya motor, mau ganti mobil, sudah punya mobil, masih kurang, mau tambah mobil lagi, begitu seterusnya,” katanya.

Sifat tak pernah puas ini juga yang mendorong orang untuk memunculkan foto lebih bagus lagi di media sosial, dengan harapan jumlah like bertambah atau orientasi kesenangan dari kepuasan pribadi.

“Karena manusia memang tidak pernah merasa puas, makanya yang dilakukan oleh orang-orang ini adalah stimulasinya diganti, bagaimana cara memunculkan gambar yang lebih bagus agar dapat mendapatkan like yang lebih banyak,” ujarnya.

Jangan Abaikan Candu

***

Kecanduan gadget memang tak selalu mengarah pada selfie berujung maut. Namun apapun alasannya, kecanduan hingga menyebabkan ketergantungan tetaplah merupakan suatu hal yang negatif.

“Dampak paling besarnya adalah kita jadi tidak bisa berfikir rasional. Itu dampak paling besarnya. Kalau sudah jadi adiksi dampaknya juga akan berpengaruh pada fungsi sosial seseorang. Karena fungsi sosialnya pasti bermasalah. Misalnya kita lagi ngomong sama orang penting, tapi kita terus menerus main gadget, kan itu bermasalah,” kata dr. Rizki.

Sementara itu, efek lainnya dari kecanduan gadget juga ditegaskan psikiatri dr. Eva Suryani, SpKJ, di antaranya mencakup dampak bagi fisik dan psikologis. 

Efek bagi fisik, misalnya digital eye strain (penglihatan kabur, lelah, rasa terbakar dan gatal pada mata); text neck (sakit pada leher karena menunduk untuk lihat gawai terus-menerus dalam jangka waktu lama), cepat lelah, pusing, mual, sakit di tangan atau lengan, penurunan konsentrasi, dan lainnya.

Sedangkan kerugian psikologis, dapat berupa penurunan kualitas tidur, timbul ringxiety (phantom phone rings), gangguan cemas, depresi, dan gangguan tidur. Selain itu, kecanduan gawai juga menyebabkan problem komunikasi/ relasi dengan orang lain termasuk keluarga.

Eva mengatakan, untuk menangani kecanduan itu, prinsip pencegahan lebih baik daripada mengobati. Sebaiknya segera konsultasi jika sudah ada gejala-gejala ketergantungan atau perubahan perilaku. “Butuh pengobatan karena adiksi adalah penyakit otak, sama seperti adiksi substance, narkoba, napza. Adiksi perilaku seperti adiksi gawai, internet, medsos butuh diobati ,” kata Eva.

“Misal tadinya senang beraktivitas bersama, sekarang senang menyendiri dan asyik dengan gawainya sendiri. Tidak mau melepaskan gawainya selalu bawa kemana-mana bahkan ke kamar mandi, tidur dan tidak mau diganggu saat pegang gawai.” 

Kecanduan selfie

Jurus Hadapi Pecandu Gadget

Bagaimana jawaban dari pertanyaan karyawan mengenai bos-nya yang kecanduan gadget? Uraian yang ditulis Rob Walker dari New York Times berikut ini bisa berlaku untuk banyak orang lainnya. 

Bos Anda terkesan baik. Terlalu banyak orang yang tidak memahami bahwa menjalankan adat istiadat sosial juga penting untuk menjaga agar bisnis berjalan dengan lancar. Inilah salah satu strategi yang bisa Anda terapkan. Jika Anda berbicara dengan seseorang yang memalingkan muka untuk memeriksa teleponnya, berhentilah berbicara segera. Tak perlu berubah dramatis. Tapi jelaskan bahwa Anda tidak akan mengomunikasikan informasi kepada seseorang yang menerima informasi lain, yang sama sekali tidak terkait.

Tidak harus bermusuhan. Kamu bisa tersenyum! Dan katakan dengan nada seramah mungkin: "Oh, saya tidak ingin mengganggu apa yang Anda hadapi di sana. Semuanya baik-baik saja?"

Ya, ini mungkin tampak pasif-agresif. Tetapi Anda tidak dapat memerintahkan bos Anda untuk mengatur teleponnya pada mode pesawat. Jadi cobalah menunjukkan perilaku terbaik dan mendorongnya ke arah itu. Bahkan jika dia tidak segera mematuhinya, setidaknya Anda tidak akan harus mengulang penjelasan sebanyak mungkin.