Sasaran Tembak Bernama PSSI
- VIVA/Tim Desain
VIVA - Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menjadi organisasi olahraga paling banyak mendapat sorotan dari publik sepanjang 2018 ini. Mulai dari sang Ketua Umum, Edy Rahmayadi, hingga kontroversi di dalam maupun di luar lapangan pada kompetisi kasta tertinggi sampai yang terendah.
Kontroversi bermula dari pengajuan cuti Edy sebagai Ketum PSSI per tanggal 12 Februari hingga Juni 2018. Sebabnya, mantan Pangkostrad itu mengadu nasib sebagai calon gubernur Sumatera Utara.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, mengaku terkejut begitu mengetahuinya. Bukan tanpa alasan, karena saat itu Asian Games 2018 Jakarta-Palembang sudah dekat.
Dan Edy jadi orang yang menargetkan Timnas Indonesia U-23 menembus semifinal. "Saya kaget saja. Situasi perang begini kok cuti. Ini perang ini," kata Imam, ketika dikonfirmasi wartawan.
Sejak pengajuan cuti, Edy benar-benar hilang dari isu sepakbola nasional. Tugas tersebut dialihkan kepada Joko Driyono yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt).
Desakan pun mulai bermunculan baik dari pihak luar maupun internal PSSI. Edy diminta mundur saja, ketimbang konsentrasinya terbelah dalam mengurus sepakbola dan kampanye pemilihan.
Begitu dia terpilih sebagai gubernur Sumut, muncul petisi di laman change.org yang diinisasi oleh Presiden Madura United, Achsanul Qosasi. Yang menjadi dasar petisi tersebut adalah Surat Edaran Mendagri Nomor 800/148/sj 2012 yang melarang kepala daerah untuk memimpin federasi olahraga, dan konflik kepentingan salah satu klub.
"Saya memberikan saran ke Pak Edy. Selebihnya terserah beliau. Saya memberikan saran yang komplet dan masuk akal," kata pria yang akrab disapa AQ tersebut, kepada VIVA.
Sayangnya, alasan dari petisi tersebut mudah dipatahkan oleh Edy. Kepala Biro Hukum Kemendagri, Sigit Widodo Pudjianto, memberi penjelasan mengenai kedudukan surat edaran tersebut.
"Surat edaran itu sifatnya imbauan. Jadi kita harus jernih melihatnya. Kalau posisinya bisa menjalankan tugas sebagai gubernur dengan baik, ya tidak apa-apa. Kan repot nanti kalau saya ditanya bagaimana menteri atau kepala daerah yang juga jadi ketua partai. Intinya tugas sebagai kepala daerah bisa dijalankan dengan baik," ujar Sigit saat dihubungi VIVA.
Kekhawatiran Jadi Kenyataan
Kekhawatiran publik sepakbola Indonesia akan terbelahnya fokus Edy dalam memimpin PSSI akhirnya menjadi kenyataan. Pria berusia 57 tahun itu tak mampu lagi melakukan kontrol seperti sebelumnya.
Semuanya menjadi berbeda ketika saat dia masih aktif sebagai Pangkostrad. Ketika itu, hampir seluruh anggota PSSI, baik Asosiasi Provinsi (Asprov) juga klub selalu patuh terhadap keputusan yang diambil.
Lewat media sosial, publik menggemakan tagar #EdyOut. Desakan itu muncul dengan banyak alasan lagi, termasuk adanya berbagai kontroversi di kompetisi berbagai strata.
Dalam beberapa polemik, Edy terlihat mencoba untuk berdamai dengan publik. Salah satunya terkait masalah perpanjangan kontrak Luis Milla Aspas sebagai pelatih Timnas Indonesia usai gagal mencapai target empat besar Asian Games 2018.
Memimpin rapat Exco, ketika itu, Edy didukung suara beberapa anggota memutuskan untuk memperpanjang kontrak pelatih asal Spanyol tersebut. Anggapan publik permainan Timnas Indonesia lebih baik di bawah arahan Milla menjadi alasan utama.
Tapi, penolakan juga diajukan beberapa Exco lainnya. Sebuah kejadian yang tidak biasa ketika Edy masih menjadi Pangkostrad. Alasan beberapa orang menolak karena menganggap gaji Milla terlalu besar, sehingga nantinya malah menyulitkan PSSI.
"Dalam rapat (ketika) itu, kan saya yang bersikap keras. Karena kita ini kan tidak bodoh. Kita tahu standarisasi honor dan gaji (pelatih) baik di Asia Tenggara atau Asia. Tapi, kan ada unsur politis di sana, karena Menpora sudah bicara, netizen juga, ya kita sebagai organisasi memutuskan bahwa kontrak Milla diperpanjang," ujar salah satu anggota Exco PSSI, Yunus Nusi, kepada VIVA.
Benar saja, beberapa bulan setelah keputusan perpanjangan kontrak disetujui, Milla akhirnya batal kembali melatih. Tidak jelas alasan yang dikemukakan oleh para petinggi PSSI lainnya, tapi yang sering diucapkan adalah penawaran baru dalam kontrak tidak kunjung mencapai kata sepakat.
Terpaan terhadap PSSI kepemimpinan Edy seolah tak pernah berhenti sepanjang tahun. Kegagalan Timnas Indonesia lolos dari fase grup Piala AFF ditambah isu pengaturan skor di Liga 1 dan Liga 2 menyusul di kemudian hari.
Sialnya lagi, isu pengaturan skor melibatkan dua anggota Exco, Hidayat dan Johar Lin Eng. Noda baru yang menambah daftar buruknya PSSI saat ini di mata publik.
Meski mendapat banyak terpaan, Edy menolak untuk meletakkan jabatannya begitu saja. Dia beralasan amanah dari para pemilik suara di PSSI saat Kongres Luar Biasa 2016 lalu harus dijaga sampai masa baktinya usai pada 2020 mendatang.
"Selama ini orang panik ganti ketua setiap empat tahun ramai. PSSI kayak politik saja, tidak, ini pembinaan bola. Saya akan menjalankan amanah rakyat sampai 2020," tutur Edy.
Sementara itu, pengamat sepakbola nasional, Tommy Welly, mengungkapkan, ada tiga rapor merah PSSI selama dua tahun terakhir. Yang pertama adalah prestasi Timnas.
"Kita lihat, di SEA Games 2017 gagal dapat emas, di Asian Games gagal, di Piala AFF juga gagal jadi juara. Padahal, etalase sepakbola sebuah negara adalah Timnas," katanya.
Yang kedua adalah soal kepemimpinan. Rangkap jabatan yang menurutnya membuat kinerja Edy tidak optimal. Terlebih dengan berbagai statement yang kontroversial. "Pernyataan-pernyataan seperti itu justru malah menunjukkan ketidakpahaman terhadap sepakbola," jelasnya.
Ditambah terkait kabar Exco PSSI yang terlibat match fixing. "Saya dengar berita hari ini ada yang ditangkap (diperiksa sebagai saksi). Exco yang seharusnya menjaga rumah sepakbola, malah mencederai sepakbola itu sendiri, malah berubah menjadi virus sepakbola itu sendiri," katanya.
Dan yang ketiga, match fixing. PSSI menurutnya harus menunjukkan perlawanan terhadap itu. "PSSI harus melawan itu, karena itu tabu dalam sepakbola. Kepercayaan terhadap kompetisi bisa turun," kata Tommy Welly.
"Padahal, kompetisi adalah tolak ukur kemajuan sepakbola suatu negara. Adanya pembinaan tujuannya ke mana, kompetisi. Kompetisi muaranya di mana, tim nasional," lanjutnya.
Harapan di Tahun Baru
Anggota Exco PSSI lainnya, Yoyok Sukawi, memberi tanggapan atas kritik yang datang. Dia tak memungkiri kinerja pihaknya saat ini masih ada yang belum maksimal, namun bukan berarti ketika Edy menjabat sebagai gubernur Sumut program yang ada tidak berjalan.
Disebutkannya pula, Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) bahkan memberi pujian terhadap PSSI. Di mana pengembangan sepakbola serta yang lainnya dianggap berjalan dengan sangat baik.
"Kalau program jalan. Karena kita kan dibagi per komite. Menurut saya yang jadi pangkal permasalahan ada di dua komite, wasit dan disiplin. Yang selalu jadi isu nasional kan dua komite itu saja," ujar Yoyok saat dihubungi VIVA.
"Komite lain sih tidak ada masalah. Bahkan, komite pengembangan kemarin mendapat pujian dari FIFA. Komite media juga kita sering mengadakan pertemuan dan diskusi. Sepakbola wanita juga ada prestasi," imbuhnya.
Merujuk kontroversi yang kerap ditimbulkan oleh komite disiplin dan wasit, Yoyok mengatakan memang wajib untuk dicari jalan keluar. Kongres Tahunan PSSI pada Januari 2019 di Bali jadi momen yang tepat untuk membicarakannya.
Salah satu yang ada dalam pikirannya saat ini adalah membenahi isi kode disiplin. Peraturan yang ada di dalamnya harus dibuat lebih rinci lagi agar kelak ketika Komdis PSSI mengeluarkan keputusan tidak ada lagi pertanyaan kritis.
"Dengan 2018 yang banyak bertanya-tanya soal Kode Disiplin itu isinya apa. Jadi tahun depan kami Komite Eksekutif akan buat yang untuk pegangan federasi dan operator kompetisi nanti akan lebih detail lagi. Misal untuk lemparan, akan kita jabarkan lagi apakah itu mercon, botol air mineral, atau batu," tuturnya.
Selama ini seharusnya keputusan Komdis PSSI tidak perlu jadi pertanyaan. Perbedaan hukuman yang diterima masing-masing klub dikatakan Yoyok sudah sesuai dengan kode disiplin yang ada.
Sayangnya, PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi kerap gagap dalam menanggapi polemik tersebut. Padahal, disebutkan Yoyok, andai mereka rajin melakukan sosialisasi kepada publik melalui media massa, tentu saja akan diterima dengan baik.
Sedangkan Tommy Welly menegaskan, PSSI harus bersih-bersih di tahun baru 2019. Ini demi membangun kembali kepercayaan publik yang menurun terhadap PSSI akibat beredarnya berbagai masalah dan isu negatif.
"Saya kira jelas, hal-hal tadi (dugaan match fixing) membuat moral federasi runtuh. Moral apalagi yang harus dipertahankan?" kata pengamat sepakbola yang kerap disapa Bung Towel ini.
"Ini harus dibersihkan dulu. Saya kira, voters ini bodoh seandainya tidak mendesak angin perubahan. Soal Exco, voters yang memilih Exco ini harusnya bertanggung jawab dengan apa yang dipilih," tegasnya. (One)