2018, Tahun Apes Facebook dan Duel Ojek Online
- VIVA
VIVA – Desember 2018 segera berakhir. Tahun Baru 2019 akan menjelang. Sepanjang tahun ini, banyak sekali peristiwa besar dan bersejarah yang terjadi. Dua isu hangat mengemuka di sektor Digital, yaitu bobolnya data pribadi pengguna media sosial, serta perang tarif Gojek dan Grab.
Pertama, kita bahas soal kebocoran data pribadi pengguna. Di sini, Facebook menjadi aktor utama. Tak tanggung-tanggung, media sosial sebesar Facebook begitu ceroboh sampai-sampai 50 juta data pribadi pengguna tersebar kemana-mana.
Tak pelak, Facebook menjadi bulan-bulanan sejumlah negara dan makanan empuk pemberitaan media, terutama di Indonesia. Dimulai dengan terbongkarnya kejahatan yang dilakukan perusahaan analisa data dan konsultan politik Cambridge Analytica yang membocorkan data pengguna Facebook untuk kepentingan politik Amerika Serikat.
Kantor Facebook di Indonesia
Berawal dari cuitan Christopher Wylie, pada akhir Maret 2018, yang berani membongkar skandal Facebook dan Cambridge Analytica terkait bocornya 50 juta data pribadi pengguna media sosial milik Mark Zuckerberg itu.
Wylie menumpahkan kegundahan hatinya kepada harian The Observer asal Inggris dan The New York Times dari AS bahwa Cambridge Analytica menyalahgunakan informasi pribadi dari 50 juta data pribadi pengguna Facebook tanpa sepengetahuan mereka lewat 'kuis kepribadian' dengan aplikasi pihak ketiga bernama "thisisyourdigitallife".
Aplikasi ini berupa tes kepribadian untuk pengguna Facebook melalui Global Science Research. Wylie, yang keluar dari Cambridge Analytica pada 2014, mengaku khawatir atas dugaan penyalahgunaan data-data itu saat Pemilu Presiden AS 2016. Karena kemungkinan digunakan untuk iklan kampanye dengan sasaran para pemilih yang profil maupun preferensi politik mereka sudah diketahui sebelumnya.
#DeleteFacebook
Fakta tersebut langsung bikin geger. Cara itu tentu saja tidak bisa dibenarkan. “Sebagai warga negara harus berkewajiban melaporan aktivitas yang melanggar hukum,” kata Wyle, seperti yang dikutip ABC News. Pria kelahiran Kanada 28 tahun silam ini, bekerja sebagai ahli analisa data lulusan London School of Economics.
Menurut sejumlah orang yang mengenalnya, Wylie adalah sosok yang cerdas, lucu, dan jago bercerita. Ia bergabung dengan Cambridge Analytica pada Juni 2013. Kesaksian Wylie ini lah yang membuat Facebook lagi-lagi menjadi pusat perhatian dunia.
Bukan karena prestasi tapi kebobrokannya. Skandal bocornya data 50 juta pengguna di Amerika Serikat, seperti yang diungkapkan Wylie itu telah mencemari reputasi mereka. Ancaman ditinggalkan penggemar mulai menggema lewat tagar #DeleteFacebook yang mendadak ramai di Twitter.
Kampanye menghapus Facebook terlontar usai skandal bocornya data oleh firma politik asal Inggris, Cambridge Analytica menyeruak ke publik. Berkat pengungkapannya yang menggegerkan dunia, Wylie dianggap sebagai whistleblower (pembokar rahasia internal perusahaan). Akibat tindakannya ini, Facebook memblokir akun milik Wylie.
Namun, Wylie tak sendirian. Menurut The Guardian, ilmuwan data dan guru besar psikolog, Aleksandr Kogan, menjadi tersangka utama dalam kasus penyalahgunaan data terbesar yang terjadi saat ini.
Namun, ia membantah tuduhan tersebut dan menganggap hanya jadi kambing hitam. Pria berusia 32 tahun itu mengatakan, tidak hanya ia yang menggunakan data profil para pengguna Facebook tapi ribuan developer dan ilmuwan data lainnya.
Pada 10 April 2018, merupakan hari besar untuk Zuckerberg. Itu karena ia harus berhadapan dengan media dan anggota kongres AS untuk menjelaskan kasus skandal kebocoran data pribadi pengguna Facebook.
Nasib sial belum beranjak dari sisi Zuckerberg. Menjelang tutup tahun 2018, untuk kali pertama, AS melayangkan gugatan terhadap Facebook terkait peran perusahaan tersebut dalam skandal Cambridge Analytica.
Jaksa Agung Washington DC, Karl Racine, mengajukan gugatan tersebut dengan tuduhan Facebook telah menjual data-data pribadi milik puluhan juta penggunanya. Facebook langsung merespons gugatan tersebut.
"Kami tengah meninjau gugatan dan menanti untuk meneruskan diskusi dengan jaksa agung di (Washington) DC dan tempat (negara bagian) lain," ungkap juru bicara Facebook, seperti dikutip dari BBC.
Selain gugatan ini, Facebook tengah diusut oleh Komisi Sekuritas dan Bursa, Komisi Perdagangan Federal, dan Departemen Kehakiman AS. Di Inggris, Facebook telah didenda sebesar 500 ribu poundsterling atau Rp9,1 miliar, jumlah denda maksimal yang dapat diterapkan regulator Inggris, terkait skandal Cambridge Analytica.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Zuckerberg harus kehilangan banyak uang untuk membayar denda akibat skandal kebocoran data pribadi tersebut. Ditambah lagi, 2 juta pengguna di Eropa memutuskan keluar dari Facebook.
Kecolongan Bug
***
Momok bocornya data pribadi pengguna juga dirasakan oleh situs tanya jawab Quora dan Google Plus. Kepala Eksekutif Quora, Adam D'Angelo, mengaku bahwa data 100 juta pengguna diakses oleh peretas atau hacker.
Dikutip dari CNN, data-data yang diakses di antaranya alamat email, nama pengguna, kata sandi hingga data jejaring sosial yang tertaut ke akun Quora seperti Facebook dan Twitter. Peretas, menurut D'Angelo, juga memperoleh aktivitas-aktivitas detail pengguna seperti pertanyaan, jawaban, upvote, serta downvotes.
Akan tetapi pertanyaan dan jawaban yang ditulis secara anonim tidak terdampak oleh aksi peretas. "Sebagian besar konten yang diakses sudah umum di Quora, tetapi kompromi akun dan informasi pribadi lainnya adalah serius," kata D'Angelo, awal Desember kemarin.
Situs tanya jawab ini gencar menginformasikan serangan peretas ini kepada para penggunanya. Quora melakukan log out ke akun-akun tersebut. Quora ada situs di mana Anda bisa bertanya pertanyaan-pertanyaan yang spesifik. Pertanyaan tersebut kemudian akan dijawab oleh pengguna yang memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan Anda.
Selanjutnya, Google. Berselang sepekan dari Quora, raksasa teknologi AS ini kembali dibuat pusing soal keamanan siber. Untuk kesekian kalinya, jejaring sosial milik mereka, Google Plus, kecolongan akibat celah keamanan atau bug.
Logo Google+
Menurut The Verge, celah ini mengekspos data pengguna dan itu bisa diambil oleh pengembang aplikasi yang menggunakan API (application program interface) Google Plus.
API itu memungkinkan aplikasi meminta izin untuk melihat informasi profil pengguna, seperti nama, alamat email, pekerjaan, jenis kelamin, ulang tahun, status hubungan, dan usia.
Padahal, kasus serupa baru dialami Google pada Oktober kemarin, di mana sebanyak 500 ribu data pribadi pengguna terpublikasi. Kali ini, jumlah data pribadi pengguna yang terekspos melonjak menjadi 52,5 juta.
Akibat bug ini, maka semua informasi privat jadi terekspos meski pengguna telah mengaturnya tidak untuk publik. Parahnya lagi, aplikasi dengan akses tersebut juga bisa melihat data profil pengguna Google Plus yang dibagi ke pengguna lain, juga secara privat.
Menambang Uang Digital
Karena itu, Google memutuskan untuk menutup jejaring sosial yang diluncurkan pada 28 Juni 2011 tersebut empat bulan lebih awal menjadi April dari rencana sebelumnya pada Agustus 2019.
Google mengaku bug baru ini ditemukan pada awal November 2018. Dalam kurun waktu kurang dari satu minggu, tepatnya 7 hingga 13 November, mereka mengklaim telah memperbaiki dan menutup celah tersebut. Akses kepada application programming interface atau API akan ditutup pada 90 hari ke depan.
Namun, hal berbeda terjadi pada media sosial Telegram. Peretas tidak mencuri data pribadi pengguna seperti yang dialami Facebook, Google Plus, maupun Quora.
Akan tetapi, mereka mengeksploitasi kerentanan pada aplikasi desktop Telegram untuk menambang mata uang kripto atau digital (cryptocurrency) seperti Monero dan ZCash.
Hal ini sudah dilakukan secara aktif sejak Maret 2017. Malware Analyst and Targeted Attacks Research Kaspersky Lab, Alexey Firsh mengatakan, pihaknya menemukan serangan ‘in the wild' yang dilakukan oleh malware baru dengan menggunakan kerentanan zero-day di Telegram.
"Pengguna diminta agar mengunduh (download) perangkat lunak di komputernya (desktop), yang sebenarnya mereka ditipu karena software ini berbahaya. Setelah selesai download, hacker bisa bebas menambang kripto karena mengendalikan desktop secara otomatis dari jauh," kata Firsh, dalam keterangannya, pertengahan Februari 2018.
Tak hanya itu, ia juga menemukan arsip berisi tembolok (cache) data Telegram yang telah dicuri dari pengguna. Telegram diciptakan oleh Pavel Durov pada 2013. Aplikasi ini diklaim sebagai alat komunikasi yang sangat aman, di mana lalu lintas percakapan dienkripsi dan sulit diretas.
"Popularitas Telegram justru menjadi sasaran empuk para penjahat siber. Kami telah menemukan beberapa skenario eksploitasi zero-day ini. Selain malware dan spyware - yang umumnya dipakai untuk menambang - serangan siber semacam juga ini telah menjadi tren global yang telah kita lihat sepanjang tahun lalu," ungkap Firsh.
Perang Tarif Ojol
***
Kedua, perang tarif Gojek dan Grab. Perang ini bermula dari pernyataan Vice President Corporate Communication Gojek, Michael Say, pada Agustus lalu, yang mengatakan bahwa tarif Gojek saat ini merupakan yang tertinggi di pasar.
Saat itu tarifnya naik menjadi Rp2.200-3.300 per kilometer. Kenaikan tarif disebabkan karena melihat kondisi dan karakteristik pasar.
Faktanya, tarif yang diterima mitra pengemudi atau driver Gojek saat ini justru masih lebih tinggi daripada tarif Grab.
Unjuk rasa driver ojek online
Berdasarkan data perbandingan di lapangan, tarif yang diterima pengemudi Grab adalah Rp1.200 per kilometer untuk perjalanan jarak dekat, sedangkan Gojek memberikan tarif Rp1.600 per kilometer.
Hal ini membuat Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, kecewa. Menurutnya, hal tersebut melanggar komitmen Gojek yang mengklaim memiliki tarif tertinggi di pasar.
"Saat terjadi demo besar-besaran dari kalangan driver, mereka (Gojek) meminta kami untuk ikut menaikkan tarif. Sekarang tarifnya berubah. Ini tidak memberi pembelajaran yang baik bagi masyarakat dan mitra pengemudi," kata dia, awal bulan ini.
Akibatnya, lanjut dia, driver tidak bisa menangkap pesan apa yang disampaikan perusahaan. Sedangkan, Grab ingin lebih menjaga produktivitasnya, dengan bijak dan hati-hati.
Ridzki mengaku belum ada rencana menurunkan tarif, mereka lebih fokus kepada kesejahteraan driver. "Kita memiliki beberapa program yang dapat menjaga kesejahteraan driver. Pertama, dilihat dari sisi tarif, dan kedua, penurunan pengeluaran," tuturnya.
Pendapatan Jeblok
Tak hanya perang tarif, perekrutan tiada henti driver online juga masih terjadi. Ketua Tim Peneliti Instran, Darmaningtyas menuturkan, 36,8 persen mengeluhkan kebijakan aplikator, Gojek maupun Grab, yang terus menerima pendaftaran driver.
Hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Institut Studi Transportasi (Instran), pada September hingga November 2018, di wilayah Jabodetabek, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali.
Survei ini melibatkan 600 responden, di mana masing-masing 300 berasal dari moda motor dan moda mobil. Dengan demikian, hal ini yang membuat pendapatan driver jeblok.
Hasil penelitian Instran juga menyebut bahwa pengemudi ASK (angkutan sewa khusus) dengan persentase 72,3 persen mengalami penurunan pendapatan dibanding awal mereka memulai karir.
Sedangkan, responden ojek online (ojol) memiliki persentase sebesar 68,7 persen. Ia juga menyebut sebesar 32 persen ASK menyatakan bahwa penurunan pendapatan bisa mencapai 50 persen.
"Survei ini menyimpulkan bahwa aplikator seharusnya membuat skema tarif dan pola perekrutan yang tidak merugikan pengemudi, dan tidak untuk kepentingan aplikator saja," ungkap Darmaningtyas. (umi)