Kontroversi Vaksin
- VIVA
VIVA – Kementerian Kesehatan pada Juli 2018 lalu mengumumkan memulai kampanye imunisasi measles (campak) dan rubella (MR) fase II dimulai Agustus. Sebelumnya fase I telah berlangsung pada Agustus-September tahun 2017 di Pulau Jawa. Bedanya, imunisasi MR kali ini dilakukan di luar Pulau Jawa.
Dengan target sebanyak 31.963.154 juta bayi berusia 9 bulan hingga anak berusia 15 tahun, imunisasi MR fase II dilakukan di 28 provinsi, 395 kabupaten, 6.369 puskesmas yang tersebar di 52.482 desa dan kelurahan di Indonesia, kecuali Pulau Jawa. Tujuan kampanye ini untuk mengeliminasi penyakit campak dan rubella di Tanah Air yang jumlahnya terhitung masih banyak.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015 silam, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia. Bahkan Kemenkes mencatat kasus campak dan rubella secara nasional, jumlahnya masih banyak dalam periode lima tahun terakhir.
Total kasus penderita campak dan rubella yang tercatat antara tahun 2014-Juli 2018 sebanyak 57.056 kasus, dengan 8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella. Bahkan lebih dari tiga per empat dari total kasus diderita oleh anak dengan usia di bawah 15 tahun, rinciannya 89 kasus campak dan 77 persen kasus rubella.
Karena itu, demi memangkas jumlah kasus dan memutus penularan virus campak dan rubella, pemerintah menyediakan 4,3 juta dosis vaksin MR yang diproduksi dan diimpor dari Serum Institute of India (SII) pada tahun ini. Dipilihnya vaksin MR dari SII lantaran sudah memenuhi syarat keamanan, kualitas dan keampuhan produk sesuai dengan standar WHO.
Vaksin Campak dan Rubela
Menurut Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, vaksin tersebut bisa memberi perlindungan dari ganasnya penyakit campak dan rubella. Dia menjelaskan, gejala campak sebenarnya bisa diketahui dengan jelas, seperti demam tinggi, mata merah dan timbul infeksi hingga menyebabkan kelopak matanya tidak terbuka. Campak bisa berujung pada kematian, namun bila selamat, anak akan mengalami gangguan penglihatan hingga kebutaan.
"Campak bisa berdampak hingga kematian. Masih banyak daerah di Indonesia yang melaporkan kasus campak," kata Nila, beberapa waktu lalu.
Sementara rubella bisa menyebabkan kelainan pada anak dan tidak bisa diobati jika virus sudah menyerang tubuh. Bahkan rubella mudah menular. Bila rubella menyerang ibu hamil maka akan menyebabkan janin gugur atau cacat permanen pada bayi yang dilahirkan. Kelainan akibat rubella bisa berupa ketulian, gangguan penglihatan, kebutaan hingga kelainan jantung.
"Saya kira kita harus memikirkan dampak dan akibat yang terkena apabila kita menolak imunisasi," ujarnya.
***
Polemik Vaksin MR
Sayangnya, masih lekat dalam ingatan, vaksin ini melahirkan polemik di masyarakat. Sejumlah masyarakat di beberapa daerah luar Pulau Jawa justru menolak melakukan imunisasi MR. Alasannya, karena meragukan kehalalan vaksin yang digunakan.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, status kehalalan menjadi sesuatu yang mutlak di negeri ini. Terkait imunisasi MR, kehalalan vaksin pun dipertanyakan hingga sampai ditolak mentah-mentah oleh beberapa masyarakat di sejumlah daerah, terutama daerah dengan penduduk mayoritas Muslim.
Provinsi paling ujung barat kepulauan Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atau Aceh menjadi provinsi dengan capaian penggunaan vaksin terendah di seluruh provinsi Indonesia. Penggunaan vaksin MR di provinsi dengan julukan Serambi Mekah ini kurang dari 10 persen pada awal September 2018 lalu. Sementara Sulawesi Utara dan Papua Barat menjadi provinsi dengan capaian program vaksinasi MR tertinggi.
Imunisasi
Mengenai halal-haram vaksin MR, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melayangkan surat kepada Kemenkes untuk menunda pemberian vaksin MR lantaran belum melakukan sertifikasi halal terhadap vaksin tersebut. Ketua Komisi Dakwah Pengembangan MUI KH Cholil Nafis menjelaskan, hal itu demi memenuhi hak masyarakat Muslim.
"Tak pernah dilakukan permintaan untuk sertifikasi halal ke MUI, tapi ke bawah isunya sudah sertifikasi halal, padahal tidak pernah," ujarnya.
Karena imunisasi adalah bagian dari pengobatan, maka MUI siap membantu pemerintah untuk mencari solusi menyukseskan kampanye imunisasi MR. Sejalan dengan hal itu, MUI Provinsi Kepulauan Riau pun sempat melarang program vaksinasi sampai dirilisnya fatwa halal dari MUI Pusat.
Hingga akhirnya MUI Pusat mengeluarkan fatwa bahwa vaksin MR produksi SII hukumnya haram karena menggunakan bahan yang berasal dari babi. Kendati demikian, penggunaannya dibolehkan (mubah) untuk sementara. Ada tiga alasan yang melatarbelakangi dibolehkannya penggunaan vaksin tersebut, yakni arena kondisi keterpaksaan (darurat syar'iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.
Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk SII ini mulai berlaku sejak ditetapkan pada 20 Agustus 2018 lalu. "Dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh.
Terkait hal itu, ahli vaksin dan spesialis penyakit dalam dr Kristoforus Handra Jaya SpPD menjelaskan fakta seputar vaksin. Menurutnya, media binatang telah digunakan dalam produksi vaksin manusia sejak masa awal pembuatan vaksin. Namun dalam pembuatannya, sejumlah vaksin yang dihasilkan tidak stabil, sehingga tidak bisa disimpan untuk digunakan dalam jangka panjang dan mustahil didistribusikan ke seluruh dunia.
Untuk itu, dibutuhkan zat demi menstabilkan formulasi vaksin, sehingga digunakan gelatin yang biasanya berasal dari kolagen binatang, seperti ayam, sapi, babi atau ikan. Gelatin yang digunakan dalam vaksin sudah melalui banyak proses pemurnian dan penghancuran menjadi molekul supermini yang dikenal dengan peptide.
Namun untuk meneliti zat penstabil dan menciptakan vaksin membutuhkan waktu bertahun-tahun karena melalui uji laboratorium dan studi klinis demi memastikan keamanan dan efektivitasnya. Dan jika ingin mengganti salah satu komponen dalam vaksin maka harus menelitinya dari awal.
"Membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengujinya kembali dan memastikan keamanan dan efektivitasnya tidak terpengaruh oleh perubahan. Itu pun dengan risiko bahwa hasil yang didapatkan belum tentu sebanding atau bahkan gagal," ujar Kristoforus.
***
Produksi Vaksin Halal
Meski akhirnya keluar fatwa MUI yang membolehkan menggunakan vaksin MR walau haram, namun tak serta merta membuat masyarakat mengubah sikap resistennya. Waktu kampanye vaksin MR yang awalnya direncanakan hanya dua bulan, Agustus-September 2018, akhirnya harus diperpanjang hingga penghujung tahun ini demi mencapai target 95 persen dari total hampir 32 juta anak yang mendapat vaksin MR.
Per akhir Oktober 2018 saja, pukul 18.00 WIB baru 66,92 persen atau hanya 21.391.179 anak dari 31.963.154 anak di Indonesia yang mendapatkan imunisasi MR. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes, Vensya Sitohang, M.Epid sebelumnya mengatakan bahwa capaian target tersebut gagal terpenuhi karena sempat terjadi penolakan dari masyarakat untuk diimunisasi. Kendati demikian, pemerintah akan terus berupaya mengedukasi pentingnya imunisasi kepada masyarakat.
"Karena itu, kami memberi peluang untuk melaksanakan imunisasi MR sampai pada 31 Desember 2018," ucapnya.
Di sisi lain, kendati MUI membolehkan penggunaan vaksin MR, namun MUI juga mengeluarkan empat rekomendasi kepada pemerintah, yakni pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Produsen wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan melakukan sertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemenkes bertemu MUI guna membicarakan soal vaksin
Selain itu, pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan. Terakhir, pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk Muslim agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.
Soal produksi vaksin MR halal, PT Bio Farma menyatakan tengah melakukan pengembangan dan riset produk vaksin MR tanpa memakai bahan yang berasal dari unsur haram atau najis dalam proses produksinya. Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan bahwa perseroan akan berkoordinasi dengan MUI dalam mengembangkan produk vaksin MR demi mendapatkan sertifikasi halal.
Bambang mengatakan, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu menargetkan bisa memproduksi vaksin MR pada 2024 mendatang. "Untuk vaksin MR sendiri kita masih dalam tahap pengembangan, kalau target ya cita-cita di 2024 sudah punya juga kemandirian untuk rubella. Kalau measles kita sudah ada, sudah produksi sendiri, hanya memang rubella-nya kita masih terus kembangkan," tuturnya beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
Setali tiga uang dengan Kristoforus, Bambang mengakui bahwa tak mudah mendapatkan bahan pembuat vaksin yang halal, karena diperlukan penelitian. Untuk membuat vaksin MR pun ada dua strategi yang dilakukan Bio Farma. Pertama, kerja sama transfer teknologi dengan institusi lain demi mendapatkan calon bibit virus rubella untuk dijadikan vaksin. Kedua, mengembangkan bibit virus rubella sendiri, namun dibutuhkan waktu sekitar 15-20 tahun.
Lamanya waktu yang dibutuhkan lantaran perlu dilakukan uji coba, seperti menemukan calon vaksin yang cocok, uji laboratorium, uji preklinis dan uji klinis hingga empat fase serta evaluasi klinis untuk menghasilkan vaksin yang sesuai standar kualitas, efikasi dan keamanan. Jika sudah terbukti berkhasiat dan aman, vaksin tersebut masih perlu diajukan untuk registrasi ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), menyusul dilakukan sejumlah verifikasi termasuk audit demi memastikan keamanan dan kualitas vaksin tersebut.
Perlu diketahui bahwa sebelum muncul polemik vaksin di Tanah Air, WHO sebenarnya sudah mengeluarkan WHO Letter Reports On Islamic Legal Scholars' Verdict on the Medicinal Use Of Gelatin Derived From Pork Products” pada Juli 2001, yang melaporkan hasil penelitian, penemuan, dan pembahasan dari lebih 112 pakar legal Islami yang berkumpul untuk mengklarifikasi hukum halal-haram umat Muslim.
“Transformasi, yang berarti perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang pada hakikatnya berbeda, berbeda karakteristik dapat mengubah zat yang secara hukum Islam tidak bersih/haram menjadi zat yang bersih/halal serta mengubah pula zat yang dilarang menjadi diperbolehkan untuk dikonsumsi,” kesimpulan para ahli.
Dari pertemuan dan surat tersebut, para pakar Muslim menyatakan bahwa transformasi produk babi menjadi gelatin telah cukup mengubah zat tersebut, sehingga bisa dibenarkan bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk mendapatkan vaksin yang mengandung gelatin maupun obat-obatan yang dibungkus oleh kapsul gelatin.