Kontroversi Donald Trump

Sorot 532 Dunia
Sumber :
  • VIVA

VIVA – Donald Trump terus mengundang sorotan. Ulah Presiden Amerika Serikat itu, yang sering kali tak tertebak dan agresif di sepanjang 2018, membuat ketar ketir warga dunia.

Ucapan dan keputusan Trump yang kontroversial tidak saja mengganggu hubungan AS dengan negara-negara lain, termasuk para sekutunya, namun juga menimbulkan keresahan skala global. VIVA memilih tiga kontroversi Trump yang terus menuai kecaman sepanjang 2018. Berikut uraiannya:

Nuklir Korea Utara

Sejak awal Januari 2018, Trump sudah memprovokasi Korea Utara yang sedang gencar melakukan percobaan nuklirnya. Melalui akun Twitternya, Trump menghina Korut dengan mengatakan Amerika Serikat memiliki tombol nuklir yang lebih besar dari negara otoriter itu.

Pada 3 Januari 2018, Presiden AS mengatakan "tombol nuklir" di Washington "jauh lebih besar dan lebih kuat” dari yang dimiliki pemimpin Korut, Kim Jong-un, dan “tombol saya bekerja!”

Tak terima dengan pernyataan Trump, Jong-un membalasnya dengan terus melakukan uji coba nuklir. Bahkan di uji coba nuklir yang terakhir, Jong-un lantang mengatakan, nuklir yang ia kembangkan mampu membuat rata seluruh daratan AS. Dalam waktu berdekatan, Korut meluncurkan percobaan nuklirnya yang menimbulkan getaran di negara-negara terdekat, yaitu Korea Selatan dan Jepang.

Presiden AS Donald Trump

Akibat ulah Trump pula Korea Utara dan Korea Selatan sempat bersitegang, bahkan militer mereka sudah saling berhadapan di perbatasan. Dunia sudah resah, ancaman Perang Dunia III serasa sudah di depan mata. Untunglah campur tangan negara lain berhasil diterima.

Diplomasi yang dilakukan Singapura membuat Korea Utara dan Korea Selatan akhirnya berdamai, bahkan pemimpin negaranya saling berkunjung. Ancaman perang dunia tertepis sebab kedua pemimpin negara sudah bisa tertawa bersama.

Memusuhi Negara yang Tolak Israel

Pidato kenegaraan tahunan pertama Trump yang disampaikan pada 30 Januri 2018 juga membuat warga dunia marah. Desember 2017, Trump sudah membuat pernyataan dukungan pada Israel dengan menyatakan keinginan memindahkan Kedubes AS di Tel Aviv ke Yerusalem. Pernyataan itu menuai protes negara-negara pendukung kemerdekaan Palestina, termasuk Indonesia.

Tapi Trump tak gentar. Ketika pidato kenegaraan pertama itu, ia malah balik menantang. Di pidato tersebut, Trump mengatakan negara-negara yang menolak menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah "musuh Amerika."

Sebelumnya, Majelis Umum PBB atau United Nations General Assembly (UNGA) telah melakukan pemungutan suara tentang “resolusi tidak terikat yang tidak menghasilkan apapun dalam upaya mengatasi konflik antara Palestina dan Israel atau dalam mendekatkan pada perdamaian keduanya” Pemungutan suara ini mendapat dukungan dari 128 negara, 7 negara menolak, dan 35 negara lain memilih tidak memberikan suara.

Pernyataan Trump yang mengatakan bahwa negara yang tak mendukung Yerusalem sebagai ibu kota Israel dianggap pernyataan musuhan AS terhadap 128 negara yang mendukung resolusi PBB. Tak hanya protes dari 128 negara, Muslim di berbagai negara melakukan aksi turun ke jalan menentang keputusan AS yang dianggap tak menghormati resolusi PBB dan keputusan 128 negara lainnya.

Suasana persetujuan resolusi PBB soal Yerusalem

Permusuhan dengan Imigran Meksiko

Sikap Trump yang sangat anti pada imigran dari Meksiko juga menuai kecaman. Cara Trump menghalangi pengungsi asal Meksiko yang ingin memasuki AS dianggap intoleran dan melanggar HAM. Sejak awal kampanye, ia kerap mengatakan akan membangun tembok tinggi untuk membatasi hubungan AS dan Meksiko. Ia memastikan, orang keturunan Meksiko tak akan diizinkan memasuki AS.

Presiden AS itu meyakini bahwa seluruh imigran Meksiko yang menyebarang ke AS adalah pelaku kriminal. Aksi penutupan perbatasan AS-Meksiko mendapat perlawanan dari warga Meksiko. Mereka melakukan protes dan demonstrasi. Aksi unjuk rasa ditanggapi represif oleh pemerintah AS. Mereka membubarkan kerumunan dengan menembakkan gas airmata. Akibatnya terjadi bentrokan antara pemerintah AS dengan wartawan di sana.

Trump bahkan sudah berencana mengerahkan sekitar 5.200 tentara militer AS ke wilayah tersebut. Pada 29 Oktober 2018, Trump kembali mengatakan akan mengetatkan wilayah tersbeut. Hingga Oktober, tentara sudah 2.100-an. Jika hal tersebut terus dilakukan oleh Trump, maka angka tersebut akan mengalahkan jumlah personel AS yang ditugaskan ke Irak dan Suriah.

Indonesia dan Sikap Politik Trump

Direktur Jenderal Amerika dan Eropa dari Kementerian Luar Negeri RI, Muhammad Anshor, mengakui beratnya proses Indonesia menjaga hubungan dengan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Pada awalnya, elemen unpredictability yang tinggi merupakan tantangan dalam membina hubungan dengan AS. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan AS di bawah Pemerintahan Donald Trump ternyata semakin inkonsisten.

Menurut Anshor, tantangan yang muncul adalah terkait dengan cara berinteraksi antar-negara oleh Pemerintah AS yang sangat berbeda dengan cara Washington sebelumnya, maupun dengan cara yang lazim dilakukan oleh negara mitra pada umumnya. Ini tidak lepas dari sosok yang unik dari pribadi Presiden Donald Trump dan pengejawantahan dari slogan “America First” yang seringkali diwujudkan secara agresif dan dengan pendekatan “konfrontasional”.

"Ini semuanya memerlukan penyesuaian atau adjustment yang serius oleh Pemerintah Indonesia dalam membina hubungan dengan AS, baik penyesuaian dari aspek kebijakan maupun pendekatan. Penyesuaian kebijakan dan pendekatan ini utamanya adalah untuk memitigasi potensi dampak negatif dan untuk memanfaatkan peluang dari berbagai kebijakan AS di bawah Presiden Donald Trump beserta implikasinya," ujar Anshor.

Direktur Jenderal Amerika dan Eropa dari Kementerian Luar Negeri RI, Muhammad Anshor

Karena Indonesia memandang AS tidak hanya sebagai mitra bilateral, namun juga mitra untuk isu-isu regional dan global, maka penyesuaian kebijakan dan pendekatan oleh Indonesia dilakukan pada 3 (tiga) tingkatan tersebut.

Anshor mengatakan, secara bilateral, hubungan Indonesia dan AS tetap berjalan secara kondusif. Kerja sama di bidang politik, ekonomi, pertahanan, dan sosial budaya terus berjalan. "Tapi salah satu tantangan yang sekarang sedang ditangani adalah review oleh AS atas fasilitasi GSP yang selama ini dinikmati oleh Indonesia. Indonesia berharap fasilitasi GSP tersebut tetap diberikan oleh AS ke depan," ujar Anshor kepada VIVA

Untuk menciptakan kondisi agar Indonesia dan AS tetap merasa nyaman dan kondusif dalam membina dan meningkatkan hubungan bilateral, ke dua negara sepakat mencanangkan upaya untuk peringatan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia – AS pada tahun 2019 dengan tema “Celebrate our Diversity, Prosper together as Strategic Partners." Acara ini dilempar dan diharapkan menjadi momentum untuk mempererat kemitraan yang saling menguntungkan kedua pihak.

Dalam konteks regional, Anshor mengatakan Indonesia mengupayakan agar peran AS tetap konstruktif dalam penanganan isu keamanan dan stabilitas di Asia, termasuk dalam penyelesaian isu Semenanjung Korea.  Sebagai mitra global, Indonesia juga menyayangkan AS mundur dari berbagai kesepakatan global.

“Namun kita tetap berharap AS untuk kembali mendukung dan bahkan menjadi champion lagi dalam menjunjung tinggi prinsip multilateralisme, open market, dan tatanan dunia yang rule-based,” ujar dia. (ren)