Pilkada Rasa Pilpres, Jokowi Vs Prabowo Jilid II

Sorot 532 Politik
Sumber :
  • VIVA

VIVA – Tensi tahun politik sudah memanas menjelang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Perhelatan pilkada serentak gelombang tiga itu punya ukuran sendiri, karena waktunya mepet dengan tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Mepetnya waktu itu karena perbedaan hanya 37 hari antara pemungutan suara Pilkada 2018 dan pendaftaran calon presiden serta calon wakil presiden untuk Pilpres 2019. Hari pemungutan suara pilkada digelar 27 Juni 2018, sedangkan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dimulai 4 Agustus 2018.

Dari 171 daerah yang ikut pilkada, ada sejumlah tingkat provinsi memilih gubernur dan wakil gubernur yang menjadi sorotan. Merujuk jumlah suara, lima provinsi dianggap punya pengaruh basis dukungan kuat untuk Pilpres 2019. Lima daerah itu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

Penghitungan suara Pilkada Serentak di Bandung, Jawa Barat

 

Gubernur yang menang di lima wilayah itu dinilai akan merepresentasikan keunggulan terhadap figur salah satu capres. Peta politik dukungan pun mulai terlihat pasca hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing daerah.

Empat gubernur pemenang memastikan dukungan terhadap calon presiden petahana Joko Widodo. Pada Pilpres 2019, Jokowi sebagai petahana akan berhadapan dengan penantangnya, Prabowo Subianto.

Keempat gubernur itu adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur terpilih Khofifah Indar Parawansa, dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Dari lima kepala daerah itu, hanya Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi yang masih belum memutuskan dukungan di Pilpres 2019. Namun, peta politik menarik karena tiga kepala daerah di Jawa memastikan dukungan untuk Jokowi. Ada anggapan, capres yang bisa memegang Jawa maka potensi kemenangan bisa diraih di Pilpres 2019.

"Jawa adalah kunci, biasanya begitu. Kenapa dianggap kunci karena jumlah pemilih di tiga wilayah itu kurang lebih 50 persen," kata pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno kepada VIVA, Kamis, 20 Desember 2018.

Namun, pilkada rasa pilpres ini belum tentu menjadi golden ticket bagi Jokowi. Meski diuntungkan dukungan beberapa gubernur dengan jumlah masyarakat di daerah yang besar, tak menjadi tolak ukur Jokowi mengalahkan Prabowo. 

Politik itu dinamis dan tak otomatis. Alasannya, sikap politik kepala daerah tak menjadi jaminan masyarakat untuk mengikuti sikapnya.

"Ini jadi catatan. Misal Ridwan Kamil di Jabar dukung Jokowi, tak lantas buat Jokowi menang mudah," tutur Direktur Eksekutif Lembaga Media Nasional (Median), Rico Marbun, Kamis, 20 Desember 2018.

Fenomena di Pilkada 2018 juga bisa menjadi contoh tak mudahnya suara kemenangan mutlak. Di Pilkada Jawa Barat, melejitnya duet Sudrajat-Ahmad Syaikhu di luar dugaan. 

Pasangan ini ketika itu diprediksi jeblok dan sulit bersaing dengan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Namun, realitasnya, Sudrajat-Syaikhu yang diusung koalisi Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) ini melejit, serta hanya beda tipis dari Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum.

“Di Jateng gitu juga. Siapa sangka Sudirman Said yang memulai elektabilitas di bawah 10 persen. Tapi, bisa kejar margin petahana Ganjar Pranowo yang di kubu Jokowi,” tutur Rico Marbun.

***

‘Perang' Pilpres

Jumat, 10 Agustus 2018, menjadi kepastian resmi persaingan kembali antara Jokowi melawan Prabowo. Keduanya bersama calon pasangannya resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Jokowi menggandeng Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) non aktif KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Adapun Prabowo merangkul mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno.

Pemilihan Ma’ruf Amin dan Sandiaga sebagai cawapres ini punya dinamika politik tersendiri. Tarik ulur kepentingan politik mewarnai kemunculan dua figur tersebut. Dua figur tersebut baru diumumkan jelang hari terakhir pendaftaran capres-cawapres ke KPU.

Pasangan Capres – Cawapres di Pilpres 2019

Pasangan Jokowi-Ma’ruf didukung koalisi sembilan parpol. Selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ada Golkar, Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Hanura. Lalu, tiga partai non parlemen yakni Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Perindo, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). 

Duet Prabowo-Sandi diusung koalisi oposisi yaitu Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Satu lagi partai baru non parlemen yaitu Berkarya ada di barisan pendukung Prabowo-Sandi.

Peta politik dukungan Pilpres 2019 terlihat, dinamika politik pun terus mencuat. Salah satunya terkait penentuan susunan tim sukses dari dua pasangan calon. Bongkar pasang sempat dilakukan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Saat itu, mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani jadi sorotan. Namun, timses petahana tak bergeming. Sejumlah menteri Kabinet Kerja bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla masuk ke dalam susunan TKN. 

Kubu Prabowo-Sandi pun merampungkan susunan timses dan mendaftarkan ke KPU sebelum masa tahapan kampanye dimulai. Timses Prabowo-Sandi menamakan sebagai Badan Pemenangan Nasional (BPN).

Dinamika politik berlanjut saat penentuan nomor urut pasangan capres dan cawapres, pada 21 September 2018. Jokowi-Ma’ruf mendapatkan nomor urut 01. Kemudian, Prabowo-Sandi memperoleh nomor urut 02. Kali ini, nomor urut pasangan calon menggunakan angka nol dengan tujuan membedakan nomor urut parpol dengan nomor pasangan capres-cawapres.

Manuver propaganda politik pun dimulai ketika memasuki tahapan kampanye. Tahapan ini dimulai dengan agenda deklarasi kampanye damai untuk Pilpres dan Pileg 2019 digelar di Lapangan Silang Monas, Ahad, 23 September 2018. Dua pasangan capres dan cawapres beserta timses datang untuk ikut pawai kampanye damai.

Karena tema pemilu damai, maka KPU saat itu mengatur larangan atribut partai mulai deklarasi sampai pawai.  Namun, fakta di lapangan berbeda. Diduga ada hasutan dan aturan KPU yang tak digubris, sejumlah tokoh saat itu seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Zulkifli Hasan melakukan walk out ketika pawai.

Esoknya, 24 September 2018, kampanye sesungguhnya dimulai. Tahapan kampanye untuk Pilpres 2019 berbeda dengan pilpres sebelumnya. Kali ini, momentum perhelatannya lebih lama. Dimulai 23 September 2018 dan akan berakhir pada 13 April 2019.

Kurang dari tujuh bulan kampanye, pasangan capres dan timses mesti berjibaku untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Elite politik di timses pun mesti merancang strategi agar partainya bisa lolos ke Senayan dalam Pileg 2019. Syarat lolos ambang batas ke parlemen atau parliamentary threshold minimal empat persen mesti dikejar partai.

“Waktu kampanye panjang ini harus buat timses bisa bagi waktu untuk strategi menangkan capres atau partainya agar lolos ke parlemen,” ujar pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio kepada VIVA, Jumat, 21 Desember 2018.

Isu politik dalam kampanye ditebar untuk menyerang lawan. Pernyataan di media massa hingga media sosial gencar dilakukan dua kubu. Mulai isu ekonomi seperti harga pangan mahal, mata uang rupiah yang anjlok sampai keberhasilan infrastruktur jadi jualan masing-masing timses.

Tak ketinggalan, kunjungan kampanye ke sejumlah daerah pun dilakukan. Masing-masing pasangan calon menebar jualan visi misi untuk mengerek suara masyarakat. Berbagai cara juga dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas. (art)