Indonesia Dikepung Bencana
- VIVA
VIVA – Air mata duka akibat bencana di Indonesia memang tak pernah kering. Belum reda duka karena diguncang gempa 6,4 hingga 7 skala richter yang meluluhlantahkan Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Bali pada kurun waktu Juli hingga Agustus 2018 lalu, air mata bangsa Indonesia kembali tumpah dengan bencana tsunami dan gempa bumi di Sulawesi Tengah.
Belum sampai sebulan pasca gempa NTB, Palu, Donggala, Sigi dan wilayah sekitar Sulawesi Tengah rata dengan tanah dilumat tiga bencana sekaligus, tsunami, gempa bumi dan likuifaksi. Bencana itu begitu menyayat hati, di tengah kepedihan serupa yang dialami masyarakat Lombok dan sekitarnya.
Abdullah (64), salah satu korban selamat dari bencana gempa di Sulawesi Tengah
Tak dipungkiri, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik (ring of fire). Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Kondisi tersebut sangat rawan terjadi bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Bencana alam bisa datang sewaktu-waktu dan merenggut nyawa manusia. Apalagi, masih banyak masyarakat Indonesia, tinggal di daerah-daerah rawan bencana.
Indonesia beriklim tropis, dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim, ditambah topografi permukaan tanah dan batuan yang beragam, juga rawan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Sepanjang tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.426 peristiwa bencana alam yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Semua peristiwa bencana itu dirangkum BNPB selama kurun waktu Januari hingga 14 Desember 2018.
Bencana yang terjadi di tahun 2018 telah menyebabkan 4.231 orang meninggal dan hilang, 6.948 orang luka-luka, 9,9 juta orang mengungsi dan terdampak, dan 374.023 unit rumah rusak.
Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, bencana di tahun 2018 didominasi bencana hidrometeorologi sebanyak 2.350 bencana. Bencana itu meliputi puting beliung, banjir dan tanah longsor. Sedangkan bencana geologi berjumlah 76 bencana seperti gempa, letusan dan erupsi gunung.
Walaupun bencana geologi hanya terjadi 76 kejadian (3,1 persen), namun menyebabkan dampak bencana yang lebih besar, khususnya gempabumi dan tsunami. Dari 20 kali gempa, sebanyak 572 orang meninggal dunia, 2.012 mengalami luka-luka, 483.634 jiwa mengungsi dan 16.520 rumah rusak.
"Secara umum tren bencana (di tahun 2018) meningkat," kata Kepala BNPB, Willem Rampangilei saat menyampaikan laporan Evaluasi Bencana 2018 di kantornya pada Rabu, 19 Desember 2018.
Jumlah korban meninggal dunia akibat bencana alam di tahun 2018 menjadi yang paling tinggi sejak tahun 2010. Tahun 2010, korban tewas dan hilang berjumlah 1.907 orang dari 1.944 bencana, di antaranya banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai dan erupsi Gunung Merapi.
Sementara jika dibandingkan tahun 2017, pada periode yang sama, yaitu 1 Januari hingga 14 Desember, jumlah kejadian bencana tahun 2017 lebih banyak daripada tahun 2018 atau turun 11.36 persen.
Tapi untuk jumlah korban tewas dan hilang naik 1.072 persen, korban luka-luka naik 59.7 persen, korban mengungsi dan terdampak 17.6 persen, jumlah rumah rusak naik 3.55 persen.
Data bencana selama 2018
Willem menambahkan, meningkatnya tren bencana karena sejumlah faktor seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang terus terjadi hingga ditemukan sesar baru.
"Gempa bumi NTB dan gempa bumi yang disusul tsunami dan likuifaksi di Sulteng adalah penyebab kenaikan dampak bencana. Pada tahun 2017 tidak ada kejadian gempabumi dan tsunami yang berskala besar yang menimbulkan dampak bencana yang besar," ujarnya.
Gempa dan Tsunami
Peristiwa gempa bumi terbilang marak terjadi di tahun 2018. Dimulai dari gempa Lebak, Banten, yang merusaknya 8.000 rumah warga. Kemudian gempa di Banjarnegara yang menewaskan 2 orang dan membuat 400 rumah rusak parah.
Pada Juni 2018, gempa di Sumenep Madura melukai setidaknya 6 orang dan menghancurkan puluhan rumah. Gempa kembali mengguncang Sumenep pada 11 Oktober 2018, kali ini menewaskan 3 orang dan 36 orang luka-luka.
Gempa bumi dahsyat kemudian mengguncang wilayah Lombok, Sumbawa dan Bali dengan kekuatan 6,4 SR pada 29 Juli 2018 dan gempa 7 SR pada 5 Agustus 2018. Gempa ini menewaskan 564 jiwa dan 1.584 bangunan rusak. Tak hanya menjadi perhatian nasional, gempa Lombok juga mendapat sorotan dunia internasional karena tersohor dengan potensi wisatanya.
Kerusakan akibat gempa di Lombok
Gempa Lombok menimbulkan trauma mendalam bagi warga NTB. Sebab, pasca gempa besar yang terjadi Juli hingga Agustus, warga masih dihantui gempa-gempa susulan dengan magnitudo yang beragam. BMKG mencatat, ribuan gempa susulan terjadi sampai September 2018. Warga ketakutan kembali ke rumahnya, dan memilih tinggal di lokasi pengungsian.
Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, secara analisa tektonik di Lombok memang wilayah rawan gempa bumi. Sebab, posisi Lombok terletak di antara dua pembangkit gempa, yang dijuluki dengan seismik aktif.
Dua pembangkit gempa ini berasal dari selatan dan utara. Di selatan terdapat zona subdiksi lempeng Indo-Australia yang menujam ke bawah Pulau Lombok. Sedangkan dari utara ada struktur geologi bernama Sesar Naik Flores atau Flores Bacj Arc Thrusting. Sesar Naik ini, jalurnya memanjang dari Laut Bali ke timur hingga Laut Flores.
"Sehingga, tidak heran jika Lombok memang rawan gempa, karena jalur Sesar Naik Flores ini sangat dekat dengan Pulau Lombok," kata Daryono dalam siaran resminya.
Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan gempa sangat besar. Kepala BNPB Willem Rampangilei menyebut kerugian gempa Lombok mencapai Rp12,15 triliun. Angka itu mencakup kerusakan bangunan sebesar Rp10,15 triliun dan kerugian ekonomi sebesar Rp2 triliun. Sektor permukiman adalah penyumbang terbesar dari kerusakan dan kerugian akibat bencana yaitu mencapai 81 persen.
Tapi, dari rentetan peristiwa bencana alam yang terjadi di 2018, gempa bumi yang disertai tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah yang paling menelan banyak korban. Meskipun terjadi hanya sekali, peristiwa itu menyebabkan 3.397 orang meninggal dunia, 4.426 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi dan terdampak, dan 69.139 unit rumah rusak berat.
Gempa bumi 7,4 SR mengguncang Palu, Donggala, Sigi dan Parimo, Sulawesi Tengah, yang diikuti tsunami yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi, Indonesia, bagian utara pada tanggal 28 September 2018, pukul 18.02 WITA. Di Kota Palu, tsunami yang dipicu karena gempa tingginya mencapai 5 meter.
Pusat gempa berada di 26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu dengan kedalaman 10 km. Guncangan dirasakan di Kabupaten Donggala, Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Mamuju bahkan hingga Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kota Makassar.
Rumah-rumah yang rusak akibat likuifaksi di Sulawesi Tengah
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, tsunami yang terjadi di Kota Palu ternyata bukan dipicu patahan sesar yang memicu gempa 7,4 SR, melainkan longsornya sendimen dasar laut di Teluk Palu. Korban tewas akibat tsunami diduga cukup besar karena Teluk Palu merupakan kawasan padat penghuni.
Ada dua kesimpulan dari penyebab tsunami Palu berdasarkan hasil berkoordinasi dengan para ahli gempa dan tsunami dari IPB, LIPI dan BPPT. Pertama, longsoran sedimen sedalam 200-300 meter di dasar laut. Teluk Palu merupakan muara beberapa sungai sehingga menimbun endapan sendimen.
"Saat gempa terjadi longsor dan membangkitkan tsunami," katanya saat jumpa pers di kantornya, Sabtu 29 September 2018.
Indikasi itu terlihat dari air yang mengalir. Saat tsunami awal, air masih terlihat jernih. Namun kemudian datang air dari laut yang bergelombang dan berwarna keruh. "Air keruh itu diicu longsoran dasar laut Teluk Palu," kata dia.
Kedua, tsunami di bagian luar Teluk Palu yang tidak sebesar akibat longsoran dasar laut. BMKG akan mengirimkan ahli ke lokasi gempa dan tsunami untuk meneliti pemicu tsunami yang tidak hanya terjai karena gempa tapi juga akibat dasar laut yang longsor. "Ini pernah juga terjadi di Flores."
Likuifaksi Palu
Citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memotret di antara wilayah terparah akibat dampak gempa adalah wilayah Petobo dan Balaroa di Palu Selatan, yang mengalami tanah bergerak atau likuifaksi pasca gempa.
Ada sekitar 1.747 hunian di Balaroa dan 744 rumah di Petobo yang ambles terisap lumpur akibat proses likuifaksi. Setidaknya 1.000 orang diperkirakan terkubur di kawasan likuifaksi dan amblesan di Petobo dan Balaroa.
Tak hanya Petobo dan Balaroa, wilayah Jono Oge Kabupaten Sigi, daerah yang terdampak 202 hektare. Diperkirakan, 366 unit rumah rusak karena likuifaksi.
Likuifaksi menghancurkan rumah dan bangunan di kelurahan Balaroa, Palu
BNPB merilis hasil pendataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mencatat sebanyak 2.736 unit sekolah rusak akibat dampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Tingkat kerusakan sekolah di wilayah terdampak bervariasi. Tidak semua hancur total, namun ada juga yang mengalami rusak ringan.
"Yang rusak ringan dan hancur total itu tersebar di Kota Palu, Donggala dan yang lebih banyak justru di Kabupaten Sigi," Kepala Pusat Data dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
Secara total, ada sekitar 66 ribuan unit rumah warga rusak, baik akibat gempa maupun likuifaksi. Sebanyak 66.238 di Sulawesi Tengah, kemudian sisanya 688 di Sulawesi Barat.
Anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari menjelaskan, likuifaksi terjadi pada lapisan di bawah tanah yang strukturnya batu pasir, sehingga daya dukung tanah menjadi berkurang.
"Likuifaksi ini seperti karena seolah digetar-getarkan, persis saat kita memasukkan emping di dalam toples. Itu kan gerak-gerakkan supaya turun, nah itu daya dukungnya berkurang dan akhirnya kolaps," ujarnya kepada VIVA.
Biasanya, lapisan bawah tanah batu pasir di dalamnya sedimennya masih muda dan terdapat pori yang terisi air. Kemudian, air yang tersimpan di dalamnya akan ikut terbawa keluar saat munculnya likuifaksi.
Selanjutnya, air akan bercampur dengan material lain. Apa yang terjadi di permukaan kemudian, tergantung dengan bidang yang ada di atasnya, apakah bidang miring atau tidak. Jika di atas likuifaksi berupa bidang miring, bidang ini akan berperan menjadi bidang luncur yang menyebabkan longsor atau landslide. "Bila lapisannya tak begitu miring, maka di atasnya amblas seolah tertelan oleh tanah yang sudah bercampur lumpur," ujarnya menjelaskan.
Di Sigi dan Palu, terjadi likuifaksi yang menyebabkan bangunan di atas permukaan berjalan dan tertelan lumpur. Sementara itu, di Balaroa, tampak rumah dan bangunan ambles ke dalam tanah.
Rovicky mengatakan, likuifaksi atau tanah bergerak akibat gempa hanyalah fenomena yang biasa dalam geologi. Sebelum heboh tanah bergerak akibat gempa Palu dan Donggala, fenomena serupa pernah terjadi usai gempa Yogyakarta beberapa tahun lalu.
"Kalau Anda ingat, di Yogyakarta itu tanah runtuh pada gempa 2006, itu juga likuifaksi. Yogyakarta itu kan tanahnya termasuk endapan muda karena hasil dari gunung api. Ini gejala yang biasa, dulu pernah terjadi."
Erupsi dan Hidrometeorologi
Di samping gempa bumi, bencana geologi yang kerap menjadi ancaman bagi Indonesia adalah erupsi gunung api. Kepala BNPB, Willem Rampangilei menyebut, di Indonesia terdapat 127 gunung api aktif, dan terdapat 75 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunung api di Indonesia.
"3,5 juta penduduk terpapar oleh bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunung api," ujar Willem di kantornya, Jakarta Timur, Rabu, 19 Desember 2018.
Ia menyebutkan, gunung api yang aktif diantaranya, 1 gunung api berstatus Awas atau level 4 yaitu Gunung Sinabung sejak tahun 2015, 2 gunung api berstatus Siaga atau level 3 yaitu Gunung Agung sejak Februari 2018, dan Gunung Soputan sejak Oktober 2018.
Kemudian, ada 18 gunung api berstatus waspada atau level 2 diantaranya, Gunung Merapi, Ili Lewotolok, Banda Api, Dempo, Bromo, Rinjani, Karangetang, Lokon, Gamalama, Sangeangapi, Rokatenda, Ibu, Gamkonora, Semeru, Anak Krakatau, Marapi, Dukono, dan Kerinci.
Wilem menambahkan, terdapat beberapa peristiwa erupsi Gunung pada 2018 yaitu, Gunung Merapi meletus pada bulan Mei 2018. Letusan terjadi beberapa kali, dimulai pada Mei 2018. "Akibatnya, sekitar 1.900 orang terdampak dan mengungsi serta Bandara Adi Sucipto sempat ditutup," ujarnya.
Selanjutnya, Kawah Sileri pada Gunung Dieng meletus pada April 2018, yang menyebabkan 56 orang terpapar keracunan gas berbahaya.
Beruntungnya, penanganan kebakaran hutan dan lahan selama 2018 berjalan dengan baik. BNPB menyebut tidak ada dampak kebakaran hutan dan lahan seperti penutupan bandara yang lama, pencemaran udara, ISPA, sekolah dan lainnya.
Dari berbagai peristiwa bencana di Tanah Air, bencana hidrometeorologi paling mendominasi dengan 2.350 peristiwa sepanjang 2018. Bencana itu meliputi puting beliung, banjir dan tanah longsor. Dari empat titik lokasi longsor di Bogor pada Februari 2018, 4 orang meninggal dunia karena tertimbun longsor.
Kemudian 11 orang dilaporkan tewas tertimbun longsor Brebes pada 22 Februari 2018. Longsor juga menewaskan 7 orang di Nias pada 10 November 2018 lalu. Bencana longsor di Nagekoe NTT menewaskan 3 orang dan ribuan orang terpaksa mengungsi.
Bencana banjir di Bone Sulawesi Selatan, pada Mei 2018, menyebabkan 18 ribu warganya terdampak serta 3.000 hektare area persawahan rusak terdampak. Pada 17 Oktober 2018 lalu, banjir di Mandailing Natal menewaskan 17 orang dan 500 orang mengungsi.
Di penghujung tahun, 6 Desember 2018 lalu, Kota Bogor diterjang angin puting beliung sehingga menewaskan 1 orang, 3 orang luka-luka dan 942 orang mengungsi. Parahnya lagi, 1.700 rumah dan bangunan di Kota Hujan itu rusak disapu angin puting beliung.
Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Armi Susandi pernah mengingatkan bahwa frekuensi bencana hidrometeorogi di Tanah Air termasuk tinggi. Fenomena perubahan iklim dan peningkatan cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, badai, longsor terus mengalami peningkatan di Indonesia.
Dampak puting beliung di Bogor, Jawa Barat
Mengacu data proyeksi temperatur dunia yang akan terus mengalami peningkatan hingga 2100, menjadi gambaran frekuensi bencana hidrometeorologi akan terus meningkat di masa mendatang. Salah satu cara mengantisipasinya adalah dengan dukungan teknologi prediksi potensi kebencanaan.
Armi merincikan selama 2017, terjadi 2.341 kali bencana hidrometeorologi. Angka ini merupakan 92 persen dari jumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Kerugian sepanjang tahun lalu ditaksir mencapai Rp30 triliun. Dilaporkan korban meninggal mencapai 377 orang serta 1005 luka-luka.
"Melihat dampak besar yang ditimbulkan, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi baik jangka pendek, panjang, dan menengah," kata Armi dalam keterangan persnya yang diterima VIVA.
Menurut Armi, upaya yang perlu dilakukan bisa dengan mengembangkan teknologi monitoring serta bencana kebencanaan hidrometeorologi, hingga penyusunan tata ruang menyesuaikan kerentanan bencana.
Di samping itu, inovasi teknologi di bidang kebencanaan akan semakin diperlukan. Hal ini karena mengacu peningkatan pertumbuhan penduduk serta dampak perubahan iklim. "Ini yang akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan teknologi serbaguna yang bisa memperkuat kesiapsiagaan." (mus)
Baca Juga
Dari Bencana hingga Serbuan Mobil China
Pilkada Rasa Pilpres, Jokowi Vs Prabowo Jilid II
RI Akhirnya ‘Kuasai’? Freeport