Menilik Cara Kerja Survei Politik Amerika
- REUTERS/Aaron Josefczyk
VIVA – Perempuan berambut pirang itu terdiam. Ia melongo, dan mengatupkan dua tangannya di dada. Sambil menarik nafas ia mencoba menerima kenyataan. Hillary Clinton, yang ia idolakan, gagal menjadi Presiden Amerika Serikat. Hillary kalah dari Donald Trump dalam Pemilu AS 2016 itu.
Maggie, perempuan berusia 28 tahun itu sempat menangis. Wajar, sejak awal ia yakin Hillary akan menang. Sebab, Hillary selalu diprediksikan menang. Nyaris semua lembaga survei di Amerika Serikat memenangkannya. Kepada USA Today, Maggie mengaku jadi sulit mempercayai kredibilitas lembaga survei. "Rasanya aneh, melihat semua lembaga memenangkannya, tapi ternyata ia kalah," ujarnya, sambil menghapus airmata.
Kekalahan Hillary memang di luar prediksi. Sebab nyaris semua lembaga survei di AS memenangkannya. Tapi, prediksi tinggal prediksi. Faktanya, Hillary gagal menang. Kekalahan Hillary membuat lembaga survei di AS dipertanyakan kembali kredibilitasnya. Padahal, hasil survei dan hasil exit poll kini sudah menjadi sesuatu yang dinanti setiap menjelang pemilihan Pilpres dan Kongres di AS. Apalagi lembaga survei di negara tersebut sudah ada jauh lebih lama dibanding negara-negara lain.
Presiden AS Donald Trump
Survei politik di Amerika Serikat ditandai dengan perkembangan exit poll, atau jajak pendapat yang dilakukan segera setelah seorang pemilih keluar dari TPS, tempat ia memberikan suaranya. Kegiatan ini dimulai tahun 1960-an, ketika seorang Amerika, Warren Mitofsky dan seorang koleganya Joseph Waksberg yang bekerja di sebuah biro sensus menemukan cara memprediksi kemenangan calon pemimpin negaranya. Kemampuan keduanya mengumpulkan data demografi ternyata berdampak lebih. Data tersebut bisa digunakan untuk memprediksi hasil pemilihan.
Sistem pemanggilan angka acak yang mereka rancang akhirnya menjadi standar untuk pemungutan suara melalui telepon selama bertahun-tahun. Tahun 1967, Mitofsky bergabung dengan CBS News. Ketika itu negara bagian Kentucky sedang menggelar pemilihan gubernur. Mitofsky lalu menggunakan metode yang ia temukan untuk membuat pemetaan. Ia mulai melakukan pemetaan dengan menanyakan pada orang-orang siapa yang akan mereka pilih.
Cara itu, awalnya dilakukan untuk menentukan demografi dan masalah yang berkaitan dengan pemilih dalam pemilihan berikutnya. Tapi Mitofsky berhasil menerobosnya untuk menghitung, siapa yang akan menjadi pemenang pemilu. Cara yang dilakukan Mitofsky itu akhirnya terkenal dengan nama "Exit Poll."
Tahun 1972, jajak pendapat itu akhirnya digunakan secara resmi untuk skala nasional. Pemilihan Umum tahun 1976, Mitofsky juga bekerja untuk redaksi The New York Times. Kerjasama ini menjadi model awal exit poll pertama antara televisi dan media cetak. Dua raksasa media itu lalu menyusun pertanyaan bersama untuk ditanyakan pada khalayak. Kedua lembaga juga sepakat mengeluarkan nama masing-masing sebagai pengenalan pada publik soal hasil exit poll mereka. Sejak kegiatan ini dilakukan, maka exit poll mulai menjadi praktik industri.
Setelah 24 tahun mengabdi di CBS, Mitofsky akhirnya mengundurkan diri. Ia mendirikan perusahaan sendiri yang diberi nama "Voter Research Service." Pada tahun 1993 ia menciptakan Mitofsky International, sebuah organisasi pemungutan suara yang menyebar keluar dari tempat pemungutan suara ke banyak negara, termasuk Rusia dan Meksiko. Metode yang digunkan Mitofskyi mulai diadopsi oleh berbagai lembaga survei lainnya.
Bagaimana mereka bekerja?
Survei awal yang dilakukan Mitofsky adalah menggunakan metode sederhana dengan langsung bertanya pada warga yang baru selesai menentukan suara di TPS. Pada tahun 1980, NBC melaporkan kemenangan Ronald Reagan atas Jimmy Carter, hampir tiga jam sebelum pemungutan suara ditutup di Pantai Barat.
Pengumuman tersebut membuat pemerintah melakukan pemeriksaan berskala besar terhadap proses pemungutan suara keluar. Bahkan pemerintah meminta dengar pendapat Kongres tentang apakah kasus itu membantu menekan jumlah pemilih. Akibatnya, sejumlah lembaga survei yang meniru metode bersumpah tidak akan memproyeksikan pemenang negara sampai jajak pendapat di sana ditutup.
Pemungutan suara Pemilu di AS
Pada 1990-an, jaringan berita utama dan Associated Press membentuk konsorsium polling yang disebut Voter News Service (VNS). untuk memotong biaya, dan menghilangkan redundansi laporan dari berbagai sumber. Tapi redundansi tidak selalu merupakan hal yang buruk, tahun 2000, ketika pemilihan presiden dengan kandidat Al Gore dan George W.Bush.
Sekitar pukul 8 malam, VNS dan jaringannya menyatakan Pilpres dimenangkan oleh Al Gore. Tapi, sekitar jam 2 pagi, prediksi beralih ke George W. Bush. Exit poll kembali dilakukan pada jam 2 pagi dan menyatakan bahwa pemungutan ulang terlalu dekat waktunya.
Lembaga ini juga pernah mengalami hal yang memalukan pada tahun 2002. Kesalahan komputer yang memalukan membuat catatan takdir bagi konsorsium. Lembaga milik Mitofsky ditutup, dan segera setelah itu digantikan oleh kumpulan lembaga survei yang berbeda yang melayani Kolam Berita Pemilu Nasional. Tapi organisasi ini kembali bernasib sial.
Tahun 2004 data jajak pendapat bocor secara online sekitar tengah hari pada Hari Pemilihan. Kebocoran naskah itu mendorong blogger untuk menyatakan John Kerry sebagai pemenang dugaan. Kasus yang nyaris sama juga terjadi pada tahun 2006. Sejak itu, Mitofsky memutuskan bekerja lebih berhati-hati.
Proses melakukan exit poll yang sebelumnya dilakukan secara terbuka akhirnya dibuat tertutup. Jurnalis dan para periset yang sejak awal dilibatkan dibuatkan ruang khusus. Mereka dikarantina, dan tak boleh sembarangan menyampaikan hasil jajak pendapat. Usaha ini lumayan efektif, karena setelah itu nyaris tak ada lagi kebocoran sebelum hasil akhirnya keluar.
Lembaga ini juga mulai menerima kritikan deras. Selama bertahun-tahun, mereka dikritik karena tak akurat dan dianggap tak mampu mengelola hubungan dan beradaptasi dengan suara dan perubahan yang terjadi di publik AS, termasuk bagaimana mereka wajib mengamati dan terus mengamati pola perubahan pemilih di Amerika serikat.
Penghitungan suara hasil Pemilu
Pengaruh Exit Poll
Sejak Mitofsky menemukan metode exit poll dan mulai menggunakannya sebagai bagian dari metode menentukan pemenang pemilihan presiden di Amerika, lembaga tersebut terus membesar. Kemunculan ini menandakan bahwa exit poll di Amerika akhirnya mulai menjadi industri. Namun bukan berarti merebaknya exit poll memberi dampak besar bagi perubahan bangsa Amerika.
Kasus terbaru adalah bagaimana lembaga-lembaga survei gagal menyamakan hasil yang mereka dapatkan dengan fakta kemenangan sesungguhnya di pemilihan presiden AS antara Hillary Clinton dan Donald Trump, November 2016. Donald Trump yang terus menerus berganti tim sukses dan sejak awal dipandang sebelah mata oleh publik AS, ternyata berhasil menyalip dan akhirnya memenangkan pemilihan presiden AS. Padahal sejak awal, angka untuk Hillary selalu lebih tinggi dari Trump. Nyaris seluruh lembaga survei di AS memenangkan Hillary dan mengatakan ia sangat layak menggantikan Barrack Obama.
Tapi takdir bicara beda. Hillary kalah. Perempuan cerdas, mantan Menlu, dan mantan Ibu Negara itu tersisihkan oleh seorang pengusaha urakan, yang senang bicara seenaknya, dan penuh dengan skandal. Bahkan exit poll yang dilakukan pagi hari masih belum bisa memprediksi siapa yang akan menjadi pemenangnya.
Meski prediksinya tak selalu akurat, namun lembaga survei yang melakukan exit poll, juga quick count tetap ditunggu. Bahkan pertumbuhannya juga pesat. Salah satu lembaga survei yang terkenal di Amerika Serikat adalah Gallup. Lembaga ini bahkan tak hanya melakukan survei untuk politik, tapi juga kehidupan sosial dan kesehatan publik AS.
Bagi publik, menantikan hasil prediksi tak kalah serunya dengan mendapatkan hasil akhir. Maka, meski lembaga survei tak seratus persen akurat, tetap saja apa yang mereka sampaikan selalu ditunggu. (ren)