Lembaga Survei, antara Bisnis dan Politik
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA – Deretan kursi tampak tertata rapi di sebuah bangunan yang terletak persis di pinggir jalan. Di pojok ruangan bagian depan satu meja lumayan besar sudah disiapkan. Di belakangnya tampak backdrop menghias ruangan. Aneka kudapan dan menu makan siang terlihat di meja makan. Sementara di meja berbeda tampak kopi, teh dan air mineral.
Sejumlah orang mulai berdatangan. Mereka langsung menempati puluhan kursi yang telah disediakan. Ada yang menenteng kamera. Ada juga yang sekadar membawa gadget. Sesekali terdengar tawa dan canda para juru warta ini.
Bangunan lumayan megah yang terletak di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur ini merupakan kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Siang itu, lembaga survei besutan Denny JA tersebut akan menggelar konferensi pers. Mereka akan menyampaikan hasil survei terbaru mengenai elektabilitas bakal calon presiden dan wakil presiden yang akan maju pada Pilpres tahun depan.
Sejarah Lembaga Survei
LSI merupakan salah satu lembaga survei yang ada di Indonesia. Selain LSI ada puluhan lembaga serupa yang berdiri pasca reformasi. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) disebut menjadi salah satu pionir lembaga survei di tanah air. Mereka sudah melakukan survei hitung cepat (quick count) dan juga Pemilihan Legislatif 1999.
Saat itu, lembaga survei belum banyak seperti saat ini. Alasannya, karena sistem politik di Indonesia masih menggunakan sistem pemilihan tidak langsung. Presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR. Begitu juga kepala daerah seperti gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota. Juga bupati serta wakil bupati dipilih oleh DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Baru pada 2004, lembaga survei mendapatkan 'lahan basah' untuk menjalankan kegiatan mereka. Pada tahun itu, pemilihan presiden mulai diadakan secara langsung. Sistem ini kemudian diberlakukan pada pemilihan kepala daerah setahun berikutnya hingga saat ini.
Selain LP3ES, publik juga mengenal Lembaga Survei Indonesia disingkat LSI. Lembaga ini diketahui didirikan oleh Saiful Mujani dan Denny Januar Ali atau Denny JA dengan tujuan menelaah kehendak rakyat, sehingga kaum elite dapat menanggapinya secara efektif.
Pada perjalananya, dua tokoh itu kemudian mendirikan lembaga survei masing-masing. Saiful dengan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Sementara Denny mendirikan Lingkaran Survei Indonesia. Pada Pemilu 2014, ada 56 lembaga survei yang terdaftar di KPU.
Kontribusi pada Demokrasi
Saiful Mujani membantah bahwa dia dan Denny JA merupakan pelopor survei politik di Indonesia. Dia mengaku tertarik survei politik karena awalnya untuk kepentingan akademik menyusun disertasi demi menyelesaikan kuliah S3-nya.
Saiful mulai mengerjakan survei dari desain survei tahun 1998, dan turun ke lapangan pada 1999. Saat itu, dia melakukan survei untuk kepentingan disertasi. "Melakukan survei perilaku politik, terutama orientasi terhadap demokrasi dan perilaku memilih dalam pemilihan umum," katanya kepada VIVA.
Pada 1998-1999 itu, Saiful melakukan survei melalui institusi Jurusan Ilmu Politik Ohio State University, dengan mitra lokalnya, Laboratorium Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia.
Saiful mengakui, sejak 2004, lembaga survei mulai banyak. Mereka tumbuh subur sejak Indonesia kembali menganut demokrasi, di mana pilihan politik warga negara bermakna menentukan pemimpin strategis nasional dan juga daerah.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani
Dia menuturkan, mulai maraknya lembaga survei adalah ketika Soeharto jatuh dan suara rakyat mulai didengar. Pihak pertama yang melakukan survei berskala nasional adalah AC Nielson, perusahaan marketing research, yang dipesan oleh Asia foundation untuk mengamati politik warga. Bersamaan dengan itu adalah lembaga internasional, International Foundation of Electoral System (IFES).
"Itu pada 1998 mulai, bersamaan dengan itu saya melakukan untuk kepentingan disertasi di atas," ujar Saiful menjelaskan.
Saiful mengatakan, motif awal mendirikan lembaga survei adalah untuk membuka lapangan pekerjaan. Dia mengakui, sebagian besar orang yang mendirikan lembaga survei di Indonesia pernah bekerja dengan dia.
Menurut dia, lembaga survei memiliki kontribusi yang besar dalam demokrasi. Dia menjelaskan, sifat dasar demokrasi adalah menghitung suara rakyat lewat pemilu demokratis. Pemilu sendiri hanya 5 tahun sekali dan sangat mahal, puluhan triliun ongkosnya.
Di sini timbul pertanyaan. Apakah pada masa di antara pemilu, rakyat tidak punya sikap, aspirasi, pilihan kebijakan dan lain-lain? Menurut Saiful, rakyat tidak pernah berhenti berpikir dan bersuara. Jika menunggu pemilu untuk bersikap maka menjadi lama sekali. Di situlah pentingnya survei, menjadi saluran rakyat menyampaikan pendapat dan sikap yang merupakan inti demokrasi.
"Kalau gak ada survei alat apa yang bisa menyalurkan itu secara representatif nasional atau daerah? Gak ada. Maka survei menjadi bagian penting dari demokrasi atau untuk membuat demokrasi work," ujarnya menjelaskan.
Saiful juga menegaskan, peran lembaga survei dalam menentukan peta politik nasional sangat besar. Potensi kekuatan partai dan tokoh dibaca dari situ. Begitu juga dengan arah koalisi dan dukungan pada capres. Inilah alasan mengapa SBY berani mencalonkan diri pada 2004. Kemudian Jokowi yang bukan elite partai dicalonkan. Meskipun dia mengakui tidak sepenuhnya tapi lembaga survei berperan sangat penting.
"Pencalonan kepala daerah juga potensinya didasarkan pada hasil survei. Bahkan untuk fundrising politik sekarang ikut dipengaruhi hasil survei. Orang mau nyumbang dilihat potensi calon atau partai dari survei. Tentu itu salah satu cara, tapi sangat penting," katanya menambahkan.
Tak hanya itu, survei merupakan potret opini publik. Ada hubungan timbal balik di sana. Jika opini publik berubah maka hasil survei juga berubah. Karena itu, opini publik pada dasarnya yang mempengaruhi hasil survei, bukan sebaliknya.
Bergeser Jadi Bisnis
Saiful tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan peran lembaga survei sudah bergeser, hanya menjadi entitas bisnis. Meskipun tujuan awalnya memang untuk membuka lapangan kerja. "Ya sah, bagus malah. Masa bikin lapangan kerja buruk," ujarnya.
Tapi bagi Saiful sendiri, survei dasarnya untuk kepentingan akademik. Walaupun pada akhirnya banyak orang yang menggunakan keahliannya untuk pekerjaan dan lain hal.
Dia mengaku senang bisa membuat lapangan kerja dengan melibatkan tenaga yang lumayan banyak. Di samping menulis buku, makalah, jurnal akademik bergengsi, mengajar, berkumpul dengan kelompok-kelompok ahli dunia tentang pemilu, demokrasi, dan survei.
"Saya representatif Indonesia di comparative national election program, lembaga ahli perbandingan pemilu dari berbagai kampus di dunia (Amerika Utara, Eropa Barat, Asia, Afrika, Pasifik, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Timur Tengah). Tiap tahun kami ngumpul dan conference tentang dinamika demokrasi dan politik dunia," katanya bangga.
Polmark Indonesia memaparkan hasil survei
Saiful menambahkan, di banding negara-negara demokrasi lain di dunia, sebenarnya di Indonesia lembaga survei belum banyak. Apalagi yang kredibel, bertenaga profesional dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dan memadai sesuai dengan profesi survei. Namun, selama masih ada demokrasi, kata Saiful, survei tetap dibutuhkan.
"Kalau Pilkada, Pemilu, dan Pilpres disatukan kegiatan survei memang numpuk pada masa tertentu. Tapi di luar itu kan semua butuh masukan dari publik maka survei jalan terus meskipun volumenya lebih sedikit," katanya.
Direktur Populi Center, Usep Achyar menilai, meski Pilkada dan Pemilu digelar serentak masa depan lembaga survei masih cerah. Sebab, mereka tidak hanya melakukan survei politik tapi juga lembaga riset. Artinya, kegiatan mereka tidak hanya bergantung pada adanya event pemilu, pilkada atau tidak. Mereka bisa melakukan survei dengan tema apa saja tak hanya soal pemilu atau politik.
Sementara, Direktur Sinergi Data Indonesia Barkah Pattimahu mengatakan, sah-sah saja apabila ada masyarakat yang menilai kegiatan lembaga survei kini sudah bergeser ke kepentingan bisnis. Tapi menurut dia tidak bisa digeneralisir bahwa semua lembaga survei berperilaku seperti itu. "Sekali lagi saya katakan, lembaga survei harus dapat menjaga marwahnya sebagai lembaga profesional yang bisa melakukan penilitian dengan cara-cara ilmiah," ujarnya.
Parpol dan Lembaga Survei
Partai politik mengakui kontribusi dan peran lembaga survei dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengatakan, hasil survei merupakan masukan di era demokrasi yang bisa saja terjadi, meskipun tidak boleh dikatakan sebagai final. Dalam hal ini, dia melihat survei tetap sebagai survei.
"Karena asumsinya juga kalau dilakukan pemilu hari ini, sementara hari ini belum ada pemilu," ujarnya.
Menurut Hidayat, lembaga survei tentu bisa menghasilkan suatu temuan-temuan ilmiah. Misalkan suatu survei merekam opini publik dalam kaitannya dengan Pilres 2019 pada hari ini dengan hasil tertentu. Sementara, hari-hari ini menuju April 2019 masih terlalu banyak faktor yang bisa terjadi dan nomer berikutnya.
Ia mengatakan, rakyat juga perlu diingatkan bahwa pemilu itu kedaulatan ada di tangan rakyat bukan ada di tangan lembaga survei. Oleh karenanya lembaga survei tidak boleh memposisikan diri sebagai pengambil kedaulatan rakyat.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid
Sebab, jika survei memposisikan sebagai pengambil kedaulatan rakyat seharusnya tidak perlu ada pemilu. Dengan demikian, negara jadi bisa sangat menghemat, rakyat tidak perlu repot. Partai-partai politik juga tidak perlu repot kampanye dan sebagainya.
"Jadi lembaga survei saya kira perlu menegaskan bahwa ini hanya survei. Bahwa ini adalah per hari ini, kalau dilakukan pemilu hari ini. Sementara hari ini tidak ada pemilu. Dan rakyat juga perlu diingatkan bahwa kedaulatan ada di tangan Anda rakyat Indonesia," katanya menambahkan.
Hidayat mengingatkan, konstitusi juga tidak memerintahkan lembaga survei melaksanakan kedaulatan rakyat. Tapi kepada partai politik yang nantinya mengusung capres-cawapres, atau calon anggota legislatif untuk mengisi pos eksekutif dan legislatif. "Jadi karenanya tetaplah Anda melakukan rasionalisasi. Partai politik tetap perlu bekerja keras, kandidat perlu bekerja ekstra, capres cawapres perlu bekerja," ujarnya.
Menurut dia, PKS memiliki lembaga survei sendiri. Mereka menjadikan hasil survei internal itu sebagai tolok ukur. Mana yang akan mereka maksimalkan atau kuatkan lagi. Tapi, Hidayat tetap mengakui kontribusi lembaga survei dalam proses demokratisasi di Indonesia. Bagaimana pun mereka bisa memberikan masukan, dan sebagai partai, PKS harus bisa menerima masukan tanpa harus alergi. Tanpa harus melebih-lebihkan karena sifatnya hanya survei.
"Tentu saja ini adalah satu masukan bagi partai politik, bagi kandidat, juga bagi rakyat Indonesia untuk sekali lagi mengingat bahwa ini hanya survei yang bisa salah bisa benar."
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan, lembaga survei memainkan peran penting dalam industri demokrasi. Karena bisa menjadi barometer dinamika dan preferensi aspirasi publik.
Dia melihat, saat ini sudah ada perkembangan yang menggembirakan. Dimana spesialisasi kompetensi mulai terjadi di lembaga-lembaga survei. Misalnya, ada yang khusus melakukan survei aspirasi dan opini saja, seperti CSIS, Kompas. Ada yang memberi layanan lebih luas sebagai konsultan pemenangan dan operator lapangan, dan aktif membentuk opini publik, seperti LSI dan Charta Politika. "Silakan. Pasar memang membuka ruang layanan dari hulu ke hilir," ujarnya.
Hendrawan mengungkapkan, semua parpol tentu punya jaringan kerja sama dengan sejumlah lembaga survei termasuk PDIP. Ada sekitar 10 lembaga yang mereka rekomendasi. Relasi ini juga yang membuat lembaga survei bisa terus eksis. "Tentu, daya hidup mereka ada karena mereka dibutuhkan dan fungsional," tuturnya.
Hal senada disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi. Menurut dia, hadirnya lembaga survei sebagai salah satu barometer perpolitikan di Indonesia patut disambut. Hanya saja, kredibilitas lembaga survei harus dijaga khususnya terkait metodologi dan sumber dana yang jelas.
Dia menyampaikan, jika lembaga survei salah dalam menerapkan metode, maka berdampak terhadap kredibilitas lembaganya. Sekali lembaga survei tidak dipercaya akibat kesalahan metedologi yang dipakai, maka pertanggungjawaban ilmiah sangat berat serta bersiko dimusuhi publik Indonesia.
"Kami pernah kerja sama di pilkada. Untuk pileg ini, kami lebih pada litbang PPP untuk melakukan pengukuran serta evaluasi terhadap pergerakan elektabilitas PPP," katanya. (mus)
Baca Juga