Momentum Hujan Emas Asian Games

Selebrasi Kemenangan Aries Susanti usai Rebut Emas Panjat Tebing
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – "Eaaaaa eaaaa eaaaa," teriakan penonton terdengar begitu meriah di seantero Istora Senayan, Jakarta. Mereka sangat bersemangat mendukung Jonatan Christie yang sedang berlaga di final tunggal putra bulutangkis Asian Games, 28 Agustus 2018.

Menghadapi Chou Tienchen, pebulutangkis asal Taiwan, Jojo diharapkan bisa menyabet medali emas. Game pertama dilaluinya dengan mulus. Dia mampu menang. Tapi, pada game kedua, Jojo bikin jantung para penonton berdetak lebih kencang. Sebab, dia kalah di game kedua, 20-22.

Jojo tak menyerah. Performanya malah melesat di game ketiga.

"Jojo bisa, Jojo bisa, Jojo bisa.... AAAAAAAK!" suara penonton wanita makin riuh terdengar.

Atmosfer yang begitu panas membuat Jojo makin trengginas di game ketiga. Hingga akhirnya, dia mengunci kemenangan 21-15.

Kemenangan ini membuat Jojo mengunci medali emas nomor tunggal putra bulutangkis Asian Games. Pemuda 20 tahun tersebut mampu mengejutkan banyak orang atas pencapaiannya.

Ya, Jojo sebenarnya tak diproyeksikan untuk meraih medali emas di Asian Games 2018. Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia juga tak menyangka Jojo bisa meraih medali emas.


Atlet bulu tangkis Indonesia Jonatan Cristie merayakan kemenangan dan meraih medali emas Asian Games 2018. (VIVA/M Ali Wafa)

Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI, Susy Susanti, menyatakan harapan emas bulutangkis sebenarnya ada di pundak ganda putra Kevin Sanjaya‌ Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di ganda campuran.

Kevin/Marcus sukses menjawab tantangan meraih emas. Namun, Owi/Butet gagal. Kegagalan Owi/Butet bisa diobati oleh prestasi Jojo. Dan, target dua medali emas yang dicanangkan PBSI pun tercapai.

"Tunggal putra sebenarnya belum ada target (medali emas). Justru, ada di ganda putra dan campuran. Tapi, ganda campuran gagal dan muncul di tunggal putra.

Secara keseluruhan, semua sektor sudah cukup baik," kata Susy.

Kejutan demi Kejutan

Kejutan Jojo bukan yang paling besar di Asian Games 2018. Itu hanya bagian kecil dari kejutan yang ada di pesta olahraga terbesar se-Asia itu. Justru, yang mencengangkan adalah prestasi Indonesia. Pencapaian Indonesia di Asian Games 2018 sebenarnya tak diduga.

Target Indonesia di Asian Games 2018 cuma 16 medali emas. Namun, kontingen Merah Putih nyatanya bisa menyabet lebih dari 20 medali emas. Ini menjadi pencapaian terbaik Indonesia di Asian Games. Torehan pada edisi 2018, melewati 1962, saat Indonesia juga menjadi tuan rumah.

Pada 1962, Indonesia mampu menyabet 11 medali emas. Dan mereka menjadi runner up, di bawah Jepang yang mampu melibas 73 medali emas. Usai edisi 1962, Indonesia baru bisa melesat lagi pada Asian Games 1974. Kala itu, kontingen Indonesia menyabet 15 medali emas.

Tapi, Indonesia kesulitan bersaing di edisi-edisi selanjutnya. Langkah mereka terseok-seok di pesta olahraga Asia empat tahunan itu.

Sebelum 2018, torehan emas terbanyak Indonesia ya di 1974. Nahas, karena Tim Merah Putih sulit sekali meraih 10 medali di Asian Games dalam edisi-edisi setelahnya. Jangankan 10, enam saja sulit. Bahkan, di Asian Games 2014, Incheon, cuma mendapat empat medali emas.

"Para atlet sudah bekerja keras. Mereka habis-habisan, ingin mempersembahkan yang terbaik bagi Indonesia," puji Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Pencapaian di 2018 ini bagaikan oase bagi prestasi olahraga Indonesia. Sebab, sudah sangat lama Indonesia tak bicara banyak di pentas Asia. "Hujan emas" di Asian Games 2018 diharapkan bisa menjadi momentum kebangkitan olahraga Indonesia.

***

Pencak Silat Jadi Primadona

Ketika merumuskan target, pemerintah bersama PB masing-masing cabang olahraga menggelar rapat. Mereka berdiskusi demi mengatur strategi bagaimana target sukses prestasi bisa dicapai. Bukan soal strategi teknis di atas lapangan. Namun, juga non-teknis seperti cabang olahraga mana saja yang dipertandingkan.

Sebagai tuan rumah, Indonesia memang punya hak untuk mengajukan cabang olahraga yang akan dipertandingkan. Hingga akhirnya, beberapa cabang olahraga non-olimpik, yang jadi andalan Indonesia boleh dipertandingkan.

Pencak silat dan paragliding/paralayang jadi contoh olahraga non-olimpik yang dipertandingkan. Indonesia juga diuntungkan dengan dipertandingkannya sport climbing.

Tiga cabang olahraga tersebut ternyata menghadirkan cukup banyak medali emas. Paragliding menyumbang dua emas. Lalu, sport climbing menghadirkan tiga emas untuk Indonesia. Pencak silat yang jadi primadonanya. Ada 14 medali emas yang disumbangkan untuk Indonesia.

"Pemerintah mengucapkan rasa terima kasih yang begitu besar terhadap perjuangan atlet. Bukan cuma peraih emas, tapi atlet yang bertanding di Asian Games. Mereka sudah mengeluarkan yang terbaik," kata Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Gatot S Dewa Broto.

"Cabang olahraga non-olimpik memang begitu membantu. Tapi, di masa persiapan, saat kami menggelar rapat dengan PB masing-masing cabang olahraga, banyak juga yang tak mau jemawa dengan target," ujarnya menambahkan.

Pesilat Indonesia Pipiet Kamelia berteriak usai meraih medali emas Asian Games 2018. (ANTARA FOTO/INASGOC/Melvinas Priananda)

Pencak silat, disebut Gatot, awalnya tak sombong untuk menyebut target sapu bersih. Gatot menuturkan awalnya IPSI hanya menargetkan sekitar empat medali emas di pencak silat. Kenyataannya, perolehan medali emas pencak silat begitu banyak. Ada 14 medali emas yang berhasil disabet pencak silat. Artinya, hampir 50 persen medali emas Indonesia disumbangkan oleh pencak silat.

"Ini hasil kerja keras atlet, berlatih selama tiga tahun. Hasil ini, merupakan keberhasilan bersama," ujar Ketua PB IPSI, Prabowo Subianto.

Prabowo menjelaskan, sebenarnya tak memberikan target khusus kepada para pesilat Indonesia. Dengan cara ini, para pesilat Indonesia bisa bermain tanpa beban.

Atas hasil di Asian Games, Ketua Harian PB IPSI, Edhy Prabowo berharap, pemerintah bisa lebih perhatian dengan pencak silat.

Edhy menolak jika keberhasilan pencak silat menjadi juara umum di Asian Games karena adanya uluran tangan wasit. Ya, kontingen negara lain sempat mengeluhkan kepemimpinan wasit yang dianggap kurang objektif.

Beberapa negara macam Vietnam dan Singapura, merasa wasit dan juri terlalu berpihak kepada Indonesia. Pun Ketua Federasi Silat Asia (APSIF), Sheik Alauddin Yacoob Marican, merasa perlu ada evaluasi total terkait performa wasit dan juri pencak silat di Asian Games.

"Kami harus mengevaluasi wasit dan juri untuk lebih netral, transparan. Mungkin dengan memakai body detector seperti yang ada di taekwondo akan lebih adil. Kalau seperti ini tidak adil, saya kecewa sekali," kata Marican.

"Ini sudah makin objektif karena ada tayangan ulang lewat video. Maunya bagaimana lagi? Yang menilai kita ini (Indonesia) kan dari negara lain. Saya juga kalau anak buah saya kalah, ya diakui. Kalau menang diakui menang," kata Edhy.

Edhy menuturkan, sejak awal pihaknya sudah mengantisipasi jika Indonesia sulit bersaing di pencak silat. Sebab, Edhy sadar popularitas pencak silat di negara lain sedang meningkat. Dan, kualitasnya pun dianggap Edhy cukup menjanjikan.

"Indonesia harus siap juga kehilangan medalinya kalau suatu saat kualitas silatnya tidak kita jaga. Silat banyak peminatnya sekarang ini. Banyak hadir negara baru yang kemampuannya luar biasa. Cuma memang pengalamannya masih baru," terang Edhy.

Selain pencak silat, panjat tebing juga jadi primadona Indonesia di Asian Games 2018. Panjat tebing merupakan penyumbang medali emas terbanyak kedua setelah pencak silat.

Mereka menyabet tiga medali emas, melebihi target awal. Ya, di awal panjat tebing memang cuma menargetkan dua medali emas.



Selebrasi Kemenangan Aries Susanti usai Rebut Emas Panjat Tebing. (VIVA/Muhamad Solihin)

Atas torehan ini, tim panjat tebing Indonesia pun sudah semakin optimistis menyambut persaingan di Olimpiade 2020, Tokyo.

"Kami sudah membuktikan siap ke Olimpiade 2020. Kami tim yang solid, tak cuma pemain dan pelatih. Semua berkontribusi," ujar Caly Setiawan, selaku kepala pelatih panjat tebing Indonesia.

***

Jangan Sampai Jadi Prestasi Semu

Di SEA Games 2019, Olimpiade 2022, atau Asian Games 2024, harapan publik akan prestasi Indonesia pastinya meningkat. Wajar jika publik punya harapan itu. Sebab, mereka pasti melirik prestasi Indonesia di Asian Games 2018 ini.

Pertanyaannya, apakah bisa? Bisa saja, catatannya pemerintah, PB masing-masing cabor, dan elemen lainnya, mau berkolaborasi demi terjun dalam pembinaan olahraga nasional.

Harus diakui, Indonesia sebenarnya masih tertinggal dengan beberapa negara dalam urusan pembinaan usia dini di olahraga. Fasilitas Indonesia banyak yang kurang memadai dan perlu diperbaiki. Asian Games 2018 menjadi momentum penting.

Banyak infrastruktur olahraga yang diperbaiki jelang Asian Games 2018. Dari sini, harapannya ada manfaat yang bisa dipetik masing-masing PB untuk meningkatkan kualitas atletnya.

Peran aktif masyarakat juga diperlukan. Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, menyatakan masyarakat perlu menjaga mental para atlet. Jangan sampai, masyarakat Indonesia hanya berstatus "Glory Hunter". Artinya, saat atlet nasional kita berprestasi, dukungan dan pujian membanjiri mereka. Dan ketika mereka terpuruk, hujatan justru yang diterima. Kondisi ini sangat sering terjadi di masa sekarang. Khususnya, lewat media sosial.

"Tetap diberi semangat dan didukung. Jangan ada yang merundung mereka," terang Imam.

Memang perlu dipikirkan bagaimana cara menjaga tren positif usai Asian Games 2018. Sebab, grafik yang muncul tak bersahabat bagi Indonesia. Contohnya bisa dilihat di tiga gelaran SEA Games, 2011 hingga 2017. Saat Indonesia jadi tuan rumah di 2011, status juara umum dilibas, dengan meraih 182 medali emas.

Penurunan dialami Indonesia di SEA Games 2013, Myanmar. Kontingen RI cuma menyabet 64 medali, duduk di posisi keempat.

Penyambutan tim renang Indonesia usai tampil di Sea Games 2017. (VIVA/M Ali Wafa)

Di edisi 2015, Indonesia malah turun peringkat lagi. Ada di posisi kelima dengan koleksi 47 medali emas. Dan, pada SEA Games 2017, Malaysia, Indonesia kembali menurun perolehan medali emasnya menjadi 38 dan hanya finis di posisi kelima.

"Sampai sekarang, fokusnya memang masih Asian Games. Tapi, pemerintah sudah memiliki berbagai formula agar prestasi olahraga nasional bisa meningkat di multievent selanjutnya. Dan, kami perlu bicara juga dengan PB masing-masing cabang olahraga lebih lanjut," terang Gatot.

Tantangan Indonesia sebenarnya bukan cuma soal mengembangkan kualitas atlet. Tapi, elite-elite olahraga nasional harus memikirkan cara agar cabang olahraga unggulan Indonesia bisa dipertandingkan di multievent selanjutnya, terutama cabang-cabang olahraga Olimpik yang menjanjikan banyak medali, seperti atletik dan renang.

Andai bisa dipertandingkan, bukan tak mungkin Indonesia bisa kembali bicara banyak di multievent sekelas Asian Games, bahkan juga di Olimpiade.

"Perlu lobi-lobi tingkat tinggi soal itu. Seperti pencak silat, di Asian Games 2024, Huangzhou, belum tentu juga dipertandingkan. Maka dari itu, kami bersama Komite Olimpiade Indonesia, harus duduk dan bicara soal ini," ujar Gatot menjelaskan.

Pemerintah sebenarnya tak sendiri. Beberapa pejabat dari PB cabang olahraga non-olimpik siap membantu. IPSI contohnya. Edhy menyatakan pihaknya sudah sangat siap memperjuangkan pencak silat dipertandingkan secara rutin di level Asian Games hingga Olimpiade.

Tapi, Edhy sadar ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan terlebih dulu. Contohnya adalah kualitas pelatih, wasit, dan juri. Langkah ini diperlukan agar perkembangan pencak silat di berbagai negara bisa berjalan dengan seimbang.

***

Mari Jaga Atlet

Menpora benar. Jangan membuat atlet jadi bahan rundungan. Mereka juga manusia yang sensitif. Warganet jangan merasa paling benar, belum tentu Anda semua bisa melakukan apa yang sudah mereka tampilkan untuk Indonesia di Asian Games 2018.

Anda pasti ingat bagaimana kiprah Anthony Sinisuka Ginting di Asian Games kali ini. Ginting sempat menjadi bahan rundungan warganet.

Tapi, Ginting justru memberikan sebuah pemandangan yang begitu menyentuh hati. Ketika tampil di final beregu putra, Ginting mengalami cedera saat berduel melawan Shi Yuqi.

Kondisi itu tak bikin Ginting menyerah. Sebaliknya, dia ngotot bertahan di atas lapangan untuk bisa bermain. Meski akhirnya, harus kalah.



Atlet bulu tangkis Indonesia Antony Ginting saat mengalami cedera dalam Pertandingan Final Asian Games 2018 melawan tunggal putra China Shi Yuqi di Istora, Jakarta, Rabu 22 Agustus 2018. (VIVA/M Ali Wafa)

Pengorbanan bukan cuma ditunjukkan oleh Ginting. Atlet-atlet lain juga melakukan pengorbanan demi bisa membela panji Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh anggota tim panjat tebing nomor speed relay, Abu Dzar. Selama 1,5 tahun, Abu harus meninggalkan keluarganya.

Dia rela menjadi "Bang Toyib" yang tak pulang-pulang hanya demi fokus menyiapkan diri demi membela negara. "Saya meninggalkan keluarga 1,5 tahun demi Tim Nasional. Suka duka pasti ada. Suka karena kami fokus membela negara dan memberikan yang terbaik.

Dukanya, sering meninggalkan anak dan istri, kerap ke luar negeri, jarang pulang," kata Abu Dzar kepada VIVA.

Abu Dzar mengaku sangat rindu dengan anak dan istrinya selama melakoni masa pemusatan latihan bersama tim panjat tebing Indonesia. Namun, rasa kangen itu harus ditahan olehnya.

"Keluarga bangga, apa yang saya korbankan akhirnya terbayar. Setelah selesai Asian Games, saya mau jumpa putra saya yang masih berusia lima tahun," terang Abu Dzar.

Itulah pengorbanan pahlawan olahraga Indonesia. Masih mau merundung mereka? 

Pemerintah saja mau memberikan penghargaan kepada mereka. Uang bonus hingga Rp1,5 miliar, rumah, hingga jaminan menjadi Pegawai Negeri Sipil, sudah disiapkan oleh pemerintah.

Semua diberikan semata-mata demi menghargai perjuangan atlet-atlet nasional. Sepatutnya, kita juga memberikan penghargaan kepada mereka. Dukungan, menjadi penghargaan paling sederhana dan jangan merundung mereka.

Baca Juga

Sejumput Noktah di Pesta Asian Games

Sejarah Asian Games dan Posisi Indonesia