Petaka di Perairan Indonesia
- Facebook @Gabriel Steven
VIVA – Muhammad Ansar (18) menangkap gelagat tak beres ketika KM Lestari Maju yang ia tumpangi belum mendarat setelah tiga jam berlayar. Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Bira pada pukul 10.00 WITA itu harusnya sudah tiba di Pelabuhan Pamatata Selayar sekitar pukul 13.00 WITA. Saat ia terbangun dari tidur sudah pukul 14.20 WITA. Namun kapal masih di tengah lautan.
Hanya selang beberapa menit, ia merasakan kapal oleng. "Saya kaget. Sudah empat jam pelayaran tapi feri belum juga sandar. Beberapa menit kemudian kapal mulai oleng," ujarnya kepada VIVA, Jumat, 13 Juli 2018.
Hari itu, Muhammad Ansar baru saja menghadiri acara keluarga di Kabupaten Bone. Bersama ayahnya, ia hendak pulang ke Kecamatan Benteng, Ibu Kota Kepulauan Selayar. Mereka naik sepeda motor dan menyeberang laut menggunakan KM Lestari Maju.
"Saya mau pulang, dari menghadiri acara keluarga di Kabupaten Bone. Berangkat dari Pelabuhan Bira itu sekitar jam sepuluh. Di perjalanan saya tertidur," katanya melanjutkan.
Kapal yang makin oleng dan air laut yang mulai masuk membuat penumpang panik. Mereka menyerbu ke dalam kapal dan berebutan mengambil pelampung. Suara Anak Buah Kapal (ABK) yang mencoba menenangkan penumpang sudah tak lagi dipedulikan. Semua berusaha untuk menyelamatkan diri.
"Harap tenang, kapal tidak akan tenggelam," demikian suara ABK yang terus menerus disampaikan.
Namun penumpang sudah tak peduli. Mereka saling sikut, tarik menarik, berebut pelampung, dan berusaha menjaga keseimbangan tubuh karena kapal sudah mulai oleng.
Penumpang KM Lestari Maju berusaha menyelamatkan diri
Ansar dan ayahnya memilih bertahan. Saat kapal semakin miring, ia melihat penumpang yang panik semakin tak terkendali. Banyak yang nekat menceburkan diri ke laut meski tanpa pelampung. "Ada yang saya lihat langsung terdorong ombak ke badan kapal, terbentur, dan langsung diam tak bergerak. Ada juga yang saya lihat nekat meloncat ke laut tanpa pelampung, dan akhirnya tak muncul lagi," ujarnya dengan suara bergetar dan mata menerawang.
Setelah mendapat pelampung, Ansar dan ayahnya memutuskan naik ke lantai atas. Dari atas ia bisa melihat ombak yang besar dan terus menghantam kapal. Mereka memilih bertahan di atas. "Ada lima perahu nelayan yang mendekat, tapi mereka tak bisa merapat karena ombak yang begitu besar. Dan akhirnya satu perahu nelayan melempar tali yang bisa kami gunakan untuk mencapai perahu. Saya, ayah, dan tiga penumpang lain berhasil mencapai perahu mereka menggunakan tali. Kami tidak ke pantai Pa'baddilang, karena ombak terlalu besar, jadi kami ke pantai sebelah. Itu perahu sengaja ikuti arus ombak," ujarnya menambahkan.
Para nelayan membawa lima penumpang itu ke Pelabuhan Nipayya. Di sana sudah ada ambulans yang menunggu. Lima penumpang yang beruntung itu lalu dibawa ke rumah sakit untuk pendataan. Ansar dan ayahnya, juga sekitar 150 penumpang lain selamat dari kecelakaan mengerikan itu. Namun 39 lainnya tewas.
***
Bukan yang Pertama
Sebelum kecelakaan KM Lestari Maju, nun di Sumatera Utara, kecelakaan kapal juga terjadi di perairan Danau Toba. KM Sinar Bangun yang melayani jalur penyeberangan di Danau Toba tenggelam akibat hantaman ombak besar. Kelebihan muatan mempercepat kapal oleng dan kehilangan keseimbangan. Ketika akhirnya kapal semakin miring dan tenggelam, tak banyak yang bisa selamat. Sebab, tak ada alat keselamatan yang memadai. Tak ada pelampung, tali, atau sekoci. Hanya 21 penumpang yang ditemukan. Tiga orang tewas, dan 18 lainnya selamat. Namun, 164 penumpang lainnya ikut tenggelam bersama kapal berjenis 35 GT tersebut.
Nasib penumpang KM Lestari Maju lebih baik dari KM Sinar Bangun. Ratusan penumpang masih bisa diselamatkan. Sementara ratusan korban KM Sinar Bangun ikut tenggelam bersama kandasnya kapal. Mereka terkubur di dasar danau yang diperkirakan memiliki kedalaman hingga 450 meter. Dengan kedalaman sejauh itu, pemerintah menyerah. Kedalaman danau terlalu membahayakan, dan jika diangkat kondisi korban sudah tak akan utuh lagi.
Salah satu keluarga korban KM Sinar Bangun menangis
Salah satu keluarga korban KM Sinar Bangun adalah Kelvin, remaja berusia 14 tahun. Kelvin tak pernah menduga, bahkan mungkin tak pernah terlintas di pikirannya, keceriaan Hari Raya Idul Fitri berubah menjadi duka mendalam. Hanya dalam sehari, ia menjadi sebatang kara. Ayah Kelvin, Saputra Handoko (40), ibunya Hawaleni Saragih (35) dan kedua adiknya Fikri Zeriansyah (10), dan Attahyatul Husna (8) ikut tenggelam bersama kapal yang sedianya akan membawa mereka piknik ke Pulau Samosir. Jasad keempat keluarga kandungnya itu terkubur bersama bangkai kapal. Remaja yang duduk di bangku kelas IX sebuah SMP Negeri di Medan itu masih berduka.
Awalnya, Kelvin berkisah, ia bersama kedua orangtua dan adik-adiknya pulang kampung ke rumah keluarga besar ibunya di Kota Pematangsiantar, Jum'at siang, 15 Juni 2018. Selama tiga malam keluarga ini menginap di Pematangsiantar. Senin pagi,18 Juni 2018?, 17 orang keluarga besar ini berangkat ke Danau Toba.
"Saya meminta ikut sama mereka, tapi mamak menolak. Mereka bilang cuma ke Pantai Pasir Putih dan tidak menyeberang. Mamak minta saya pulang dan merapikan rumah," tutur Kelvin kepada VIVA.
Senin sore, remaja ini tiba di Medan. Ia sempat melihat video yang diunggah sepupunya ke Instagram. Dalam video itu, keluarga ini tengah berada di atas KM Sinar Bangun. "Sempat aku dalam hati marah karena dibohongi mamak. Katanya cuma ke Pantai Pasir Putih di Danau Toba saja. Tapi, mereka menyeberang naik kapal. Kemudian, aku menelpon ayah sekitar pukul 01.30 (Selasa 19 Juni 2018). Namun, handphone ayah sudah tidak aktif. Aku pun, ngantuk dan langsung tidur," ujarnya mengisahkan.
Besoknya ia melihat kabar di televisi ada kapal tenggelam di Danau Toba. Dan kapal itu sama persis dengan kapal yang ia lihat di Instagram sepupunya. Kelvin menghambur ke rumah Supiani (60) neneknya yang tinggal berdekatan. Ia memberi kabar duka. Sang nenek tak segera percaya. Namun Saputra ternyata sempat menelpon Supiani dan memberi tahu posisi mereka di Danau Toba. Kepastian hilangnya keluarga Kevin terkonfirmasi setelah salah seorang anggota keluarga mereka ditemukan selamat, 16 lainnya termasuk keluarga kecil Kelvin hilang.
Kapal Motor Sinar Bangun berangkat dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir dengan tujuan Tigaras Kabupaten Simalungun. Saat itu, kondisi cuaca buruk ditambah kelebihan muatan karena kapal mengangkut lebih dari 100 penumpang dan sekitar 60 unit sepeda motor. Ombak yang tinggi dan angin kencang menyebabkan tali kemudi KM Sinar Bangun putus. Nakhoda gagal mengendalikan kapal. Kendaraan air itu terbalik karena tiupan angin kencang dan dihantam ombak tinggi.
***
Sengkarut Tata Kelola Transportasi Perairan
KM Sinar Bangun dan KM Lestari Maju hanya dua kecelakaan kapal yang menyita perhatian publik. Sebab, kecelakaan ini melibatkan kapal besar dengan jumlah korban hingga ratusan. Padahal, kasus kecelakaan pada jalur transportasi sungai dan danau kerap terjadi. Pada 20 April 2018, kecelakaan kapal tenggelam di Sungai Berombang, Sumatera Utara, merenggut nyawa Wakapolres Labuhanbatu, Kompol Andi Chandra. Kapal itu pecah karena menabrak kayu.
Lalu di bulan Mei 2018, dua kapal bertabrakan di Sungai Musi. Dua orang tewas dalam kejadian ini. Cuaca buruk dituding sebagai sebab terjadinya kecelakaan yang kemudian menenggelamkan kedua kapal. Kemudian pada 16 Mei 2018, Kapal Motor (KM) Nurul Yakin bermuatan pupuk dengan rute pelayaran Bontang-Parepare tenggelam di Selat Makassar. Sebanyak 11 Anak Buah Kapal ( ABK) berhasil diselamatkan oleh kapal asal China dan dijemput di tengah laut oleh Kapal Nasional (KN) Antasena milik Basarnas Makassar. Kemudian, pada 13 Juni 2018, sebuah kapal cepat bermuatan 30 penumpang karam di Sungai Kong, Sumatera Selatan. Dua anak tewas dalam kecelakaan ini. Bahkan bulan Maret lalu, kecelakaan kapal yang mengangkut rombongan dokter juga kandas di perairan Kepulauan Seribu. Beruntung, semua penumpang berhasil selamat.
Kapal kayu mengangkut barang dan penumpang di Aceh
Angka kecelakaan ini menunjukkan jalur transportasi air tak aman. Sebab, kecelakaan sering terjadi dan tak jarang merenggut korban jiwa. Siswanto Rusdi, pengamat transportasi dari The National Maritime Institut menunjuk sengkarut pengelolaan transportasi air sebagai biang keladi. "Manajemen keselamatan angkutan perairan kita parah dan amburadul," ujarnya kepada VIVA.
Siswanto mengatakan, wilayah kerja yang tidak pas membuat pengelolaan jadi ngawur. "Angkutan penyebrangan danau dan sungai itu ada di Direktorat Perhubungan Darat. Itu kan kompetensinya bus, kok disuruh ngurusin kapal," ujarnya menambahkan.
Bukan hanya soal pengelola yang tak pas, Siswanto juga mengatakan pola pembagian kerja antara pusat dan Pemda juga berperan besar dalam menciptakan kesemrawutan tata kelola transportasi sungai dan danau.
"Kemarin terungkap di danau toba yang kapal 7 GT diserahkan ke Pemda. Sementara di Pemda, SDM tak ada, dana kurang, akhirnya kecelakaan. Itu yang kapal 7 GT. Nanti ada pembagian di Pemerintah Pusat. Sebetulnya keselamatan itu tak bisa dibagi bagi begitu. Harusnya utuh ditangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, yang lebih spesifik lagi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Pegang sepenuhnya. Kalau mau didelegasikan itu delegasikan sistem administrasinya. Karena kan di Pemda dana dan SDM tak ada. Sepanjang pendelegasian itu terjadi Pemerintah Pusat kan engga pernah memperdayakan Pemda. Pemda tak memiliki ahli keselamatan perairan dan alat angkut air, tapi diberi kewenangan mengelola keselamatan. Itu lucu," ujarnya menjelaskan.
Siswanto juga merujuk soal standarisasi kapal. "Ada kapal yang 500 GT tidak pakai solas. Solas itu standar keamanan kapal di laut. Di Indonesia dibagi dua. 500 GT ke atas itu pakai solas. 500 GT ke bawah tak pakai solas. Kita punya standarnya sendiri. Yang pakai solas saja belum tentu rapi apalagi tak pakai solas. Itu terbukti kapal di Indonesia yang trayeknya di dalam negeri itu payah walaupun terbuat dari kapal besi. Pemerintah kita membuat standar itu tak bisa dijalankan," ujarnya menambahkan.
Menurut dia, setiap kapal harusnya sudah dibangun dengan kondisi dan konstruksi yang bagus. Kapal bisa terguling, namun jika konstruksinya bagus, kapal bisa balik lagi. Setiap kapal yang dibangun sudah disesuaikan untuk menghadapi segala macam cuaca. "Dari berbagai kasus, kecelakaan kapal terjadi karena kapal tak terawat," katanya.
Ia menegaskan, keselamatan perairan sudah parah dari dulu. Namun fokus Kementerian Perhubungan yang lebih ke udara dan darat membuat transportasi air terabaikan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di perairan Teluk Jakarta
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi membantah tudingan Siswanto. Menurut dia, silang sengkarutnya tata kelola transportasi air terjadi setelah Otonomi Daerah (OTDA). "Setelah OTDA, kewenangan mengelola kapal-kapal di danau dan sungai itu menjadi kewenangan provinsi," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 11 Juli 2018.
Menurut Budi Karya, dalam kasus kecelakaan sering kali semua faktor menjadi penyebab, termasuk human error dan pelanggaran aturan. Meski kementerian sudah memiliki serangkaian aturan yang ketat untuk mengatur angkutan air, toh kecelakaan tetap terjadi. Budi mengatakan, khusus kecelakaan di Selayar, faktor penumpang yang fluktuatif punya peran.
Kalau hari biasa, penumpang paling hanya 20-30. Tapi saat Lebaran, jumlahnya bisa lima hingga enam kali lipat. Itu sebabnya fasilitas di sana jadi tidak optimal. “Saat low season tak ada penumpang, tapi saat high season kebanyakan penumpang," ujarnya beralasan.
Dalam kondisi high season, pengelola kapal seperti tak tahan untuk terus menerima penumpang berapa pun, karena sehari-hari mereka sepi. Menhub mengatakan, ia sedang mencari cara untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam ini.
Tapi bagi Siswanto, apa yang disampaikan Menhub sukar diterima. "Orang perhubungan itu tahu dan jago. Karena ada sekolah dan pengalaman. Yang tak ada adalah keseriusan menjalankan tugas. Makanya selalu kita mendesak Menhub mundur. Dia tahu sebenarnya dari dulu permasalahan ini. Ada persoalan semangat di para pegawai perhubungan dalam menjalankan amanat keselamatan pelayaran. Tapi tak pernah memutus rantai itu," ujarnya.
Ia menyesalkan Kemenhub yang terlalu tenggelam dalam urusan transportasi jalur darat dan udara, tapi abai di perairan dan seperti baru melek setiap kali ada kejadian. "Persoalan keselamatan perairan kita sudah parah dari dulu. Seharusnya menteri siapa pun dia memutus rantai itu. Banyak yang sudah lupa soal keselamatan pelayaran ini."
***
Upaya Menjaga Nyawa
Setelah dua kecelakaan besar dalam waktu berdekatan, Menhub berjanji akan mengubah pola kerja. Meski kewenangan mengelola kapal di danau dan sungai ada di provinsi, pemerintah pusat akan ikut bertanggungjawab. Pelayaran di Danau Toba akan menjadi pilot project. Berikutnya, sejumlah sungai sudah diinventarisir.
"Sungai Batang Hari Riau, sungai Musi, Kapuas, Mahakam, Malut itu banyak sekali. Itu menjadi tugas kita. Dan itulah makna dari suatu kejadian yang tidak kita inginkan di Toba kemarin," katanya.
Menhub akan meminta Mendagri untuk membentuk sebuah badan yang memungkinkan Pemerintah Pusat ikut mengawasi pelaksanaan keselamatan transportasi perairan di daerah. "Apakah bentuknya UPT, atau balai, namun lembaga itu punya kewenangan untuk melakukan intervensi," ujarnya menjelaskan.
Sebagai upaya pencegahan, Menhub juga tak akan berhenti untuk memberikan efek jera. Terutama pada kasus Danau Toba dan Selayar, penjelasan dari pihak Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Kepolisian sangat ditunggu. Dan kasus tersebut sangat mungkin dibawa ke Meja Hijau.
"Kemarin ada upaya agar pemilik kapal tidak bertanggungjawab. Tapi saya tidak mau. Pemilik kapal harus bertanggungjawab. Saya akan minta Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum. Karena kalau tidak, tidak akan ada efek jera. Tidak akan jera mereka," katanya menegaskan.
Penumpang menunggu keberangkatan kapal di Dermaga Tanjung Balai Karimun, Kepri
Sementara bagi Siswanto, hal utama yang wajib dilakukan untuk menekan angka kecelakaan di perairan adalah merapikan tata kelolanya. Menurutnya, akan lebih rapi jika semua ditarik ke pusat. Ia juga mengusulkan agar pemerintah memberi subsidi agar ada peremajaan kapal. "Tol laut saja bisa disubsidi, masa yang angkut ratusan ribu orang engga disubsidi?" ujarnya mempersoalkan.
Siswanto juga mengusulkan dilakukannya gerakan masif untuk keselamatan pelayaran. Dan hal itu harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya ketika terjadi kecelakaan. Ia menganalogikan ketika pemerintah mengampanyekan penggunaan helm untuk keselamatan, butuh waktu lebih dari tiga tahun hingga akhirnya publik melakukan dengan kesadaran. Ia mengaku tak bisa menyalahkan masyarakat, apalagi yang berada di pulau-pulau kecil. Karena bagi mereka, hanya itu kapal yang mereka punya, dan kadang hanya ada satu kali dalam seminggu.
Ia menambahkan, ABK kapal yang celaka ini juga kebanyakan ABK kelas 3, bukan kelas 2. Mereka adalah ABK yang memiliki kemampuan berlayar karena belajar dari alam. Karena ABK yang alumni sekolah pelayaran tak akan mau karena gajinya tak setara. Bagi Siswanto, saat ini hanya perlu ketegasan, siapa yang mau mengawasi angkutan pelayaran ini. "Kita bisa meremajakan bajaj dan angkot tapi kenapa kapal tidak bisa?" (mus)
Baca juga
Para Penyelamat di Pusaran Tragedi
Deretan Kasus Kecelakaan di Perairan Indonesia