Pengungkap Aib Facebook

Sorot Facebook - Media Sosial Facebook
Sumber :
  • REUTERS/Philippe Wojazer

VIVA – Selasa pagi, 27 Maret 2018, pukul 08.35 waktu setempat. Ibu kota Inggris, London, terlihat cerah. Kantor Parlemen Inggris di Gedung Westminster tiba-tiba ramai dikerumuni wartawan. Anggota parlemen dari Komisi Digital terlihat berdatangan. Mereka melempar senyum tipis kala memasuki gedung, namun enggan bicara sepatah kata pun.

Tapi, dari situasi dan suasana begitu terasa kalau mereka akan menggelar sidang khusus. Benar saja. Saat semua anggota parlemen di Komisi Digital menempati meja setengah lingkaran di ruang sidang, pria perawakan sedang dengan setelah jas dan dasi memasuki ruang rapat, ungkap stasiun televisi Aljazeera.

Ia berjalan sembari membawa tas hitam di tangan kiri. Ia kemudian duduk di meja yang telah disediakan yang menghadap sekitar 12 orang anggota parlemen.

Pria klimis berkacamata dan berambut merah ini adalah Christopher Wylie. Ia adalah sosok yang sangat ditunggu-tunggu, lantaran berani membongkar skandal Facebook dan Cambridge Analytica terkait bocornya data banyak pengguna media sosial itu untuk dimanfaatkan oleh lembaga analisis data tersebut untuk kepentingan politik, terutama Pemilu AS 2016 dan lain-lain. Dan skandal ini tidak dibenarkan oleh hukum

“Sebagai warga negara harus berkewajiban melaporan aktivitas yang melanggar hukum,” kata Wyle saat ditanya anggota Komisi Digital Parlemen Inggris mengapa dia memberanikan diri memberi kesaksian. ”Bukan berarti saya mau bilang ini semua karena Donald Trump, namun Donald Trump lah yang telah membuat benak kita menjadi terganggu sehingga berdampak lebih luas,” ujar Wylie, seperti yang dikutip ABC News.   

Dia memberanikan diri bersaksi di parlemen Inggris untuk mengungkapkan aib yang dilakukan perusahaan tempat dia pernah bekerja, yaitu Cambridge Analytica, yang akhirnya turut menyeret Facebook. Wylie menjadi sorotan setelah pekan sebelumnya dia mengungkapkan kepada harian The Observer asal Inggris dan The New York Times dari AS bahwa Cambridge Analytica menyalahgunakan informasi pribadi dari 50 juta data pengguna Facebook tanpa sepengetahuan mereka lewat aplikasi pihak ketiga.

Wylie, yang keluar dari Cambridge Analytica pada 2014, mengaku khawatir atas dugaan penyalahgunaan data-data itu saat Pemilu Presiden AS 2016, karena kemungkinan digunakan untuk iklan kampanye dengan sasaran para pemilih yang mana profil maupun preferensi politik mereka sudah diketahui sebelumnya. Cara itu tentu saja tidak bisa dibenarkan.

“Menurut saya, operasi informasi bergaya militer itu sesuai dengan proses yang demokratis,” kata Wylie kepada para anggota parlemen Inggris dalam Komisi Digital, yang salah satu tugas mereka adalah menangani informasi palsu di media sosial. Wylie, yang kelahiran Kanada 28 tahun silam ini, bekerja sebagai ahli analisa data lulusan London School of Economics. Menurut sejumlah orang yang mengenalnya, Wylie adalah sosok yang cerdas, lucu, dan jago bercerita. Ia bergabung dengan Cambridge Analytica pada Juni 2013.

Kesaksian Wylie ini lah yang membuat Facebook lagi-lagi menjadi pusat perhatian dunia. Bukan karena prestasi tapi kebobrokannya. Skandal bocornya data 50 juta pengguna di Amerika Serikat, seperti yang diungkapkan Wylie itu telah mencemari reputasi mereka.

Ancaman ditinggalkan penggemar mulai menggema. Kampanye menghapus Facebook terlontar usai skandal bocornya data oleh firma politik asal Inggris, Cambridge Analytica menyeruak ke publik.

“Tangan Kanan” Trump

Tak hanya Wylie yang menjadi sorotan. Menurut The Guardian, ilmuwan data dan guru besar psikolog, Aleksandr Kogan, menjadi tersangka utama dalam kasus penyalahgunaan data terbesar yang terjadi saat ini.

Namun, ia membantah tuduhan tersebut dan menganggap hanya jadi kambing hitam. Pria berusia 32 tahun itu mengatakan, bahwa tidak hanya ia yang menggunakan data profil para pengguna Facebook tapi ribuan developer dan ilmuwan data lainnya.

Mereka diklaim telah melakukan metode yang sama untuk mengumpulkan informasi tentang profil pengguna Facebook. Perusahaan yang salah satu pendirinya Steve Bannon ini mengumpulkan data mulai dari identitas pengguna, jaringan pertemanan hingga 'like' pengguna di Facebook.

Idenya adalah untuk memetakan kepribadian berdasarkan apa yang orang suka di Facebook, dan kemudian menggunakan informasi tersebut untuk menargetkan audiens dengan iklan digital. Empat tahun lalu, periset Cambridge Analytica meminta pengguna untuk melakukan apa yang dinamakan 'kuis kepribadian.'

Cambridge Analytica mengambil data dan hasil analisisnya untuk digunakan sebagai strategi kampanye politik, salah satunya, untuk memenangkan Donald Trump pada Pemilihan Presiden AS dua tahun lalu. Tak hanya itu, pengguna juga diminta untuk mengunduh aplikasi yang menghapus beberapa informasi pribadi dari profil mereka dan profil teman mereka.

Bannon adalah mantan kepala strategi dan penasihat utama Presiden AS Donald John Trump. Ia adalah otak di balik sejumlah keputusan kontroversi Trump. Keputusan yang dimaksud antara lain pemberlakuan larangan kedatangan warga dari sejumlah negara Islam, plus kebijakan perdagangan dengan China dan negara lain.

Bannon sering bentrok dengan para penasihat Trump terkait perdagangan, perang di Afghanistan, pajak dan imigrasi. Pemilik media Breitbart News itu akhirnya memutuskan mengundurkan diri pada pertengahan Agustus 2017.

***

Saling Tuduh

Lantas, siapakah yang patut dipersalahkan? Menurut CNET, kala itu, melakukan survei kepribadian masih diizinkan Facebook. Akan tetapi, aktivitas tersebut kini sudah dilarang. Teknik inilah yang dikembangkan Pusat Psikometrik Universitas Cambridge, AS, yang diketuai oleh Kogan.

Di sini akar masalahnya. Salah satu kampus ternama itu sebenarnya sudah menolak bekerjasama dengan Cambridge Analytica, firma politik yang berdiri pada 2013. Namun, tidak bagi profesor keturunan Amerika-Rusia ini. Ia bersedia kerja sama dan membangun aplikasi bernama "thisisyourdigitallife," yakni tes kepribadian untuk pengguna Facebook melalui Global Science Research.

Lembaga penelitian ini menjadi 'kendaraan' Kogan memuluskan proyeknya pada pertengahan 2014. Sejak saat itu, Kogan mengumpulkan data untuk Cambridge Analytica, hingga akhirnya kini terkuak.

Kendati demikian, Kogan menilai, selaku peneliti dan pembuat aplikasi kuis yang mengambil data pengguna Facebook, mengatakan, justru Wylie yang pertama kali mengajaknya bergabung ke Cambridge Analytica.

Lebih lanjut lagi, Kogan menyebut dia sudah diberikan kepastian oleh Wylie bahwa hal yang mereka lakukan adalah sah-sah saja. Hingga Maret 2018, tercatat jumlah pengguna Facebook di seluruh dunia mencapai 2,13 miliar, di mana 1,15 miliar adalah pengguna harian yang aktif.

Jumlah tersebut membuat media sosial ini menjadi yang terbanyak digunakan di seluruh dunia. Akan tetapi, validasi data pengguna media ini belum tentu sesuai dengan aslinya. Dalam arti, akun buzzer yang menggunakan identitas palsu juga masih marak ditemukan - berbeda dengan data perbankan atau operator seluler.

Dalam keterangannya, Facebook mengklaim ada 2-3 persen akun palsu dalam jejaring media sosial ini, dan sekitar 6-10 persen di antaranya merupakan akun duplikat. Artinya, jika dihitung, terdapat sekitar 270 juta akun yang berpotensi palsu.

Kembali ke Wylie. Ia akhirnya meninggalkan Cambridge Analytica sebelum perusahan itu bergabung dengan kampanye Trump. Selepas meninggalkan Cambridge Analytica, Wylie pulang ke kampung halamannya, Kanada.

Entah apa yang merasukinya, Wylie merasa bersalah dan menyesal, sehingga memutuskan untuk membocorkan informasi terkait hal yang menimpa 50 juta pengguna Facebook. Ia juga sudah memberikan bukti-bukti dokumen, tidak hanya ke media massa, tapi ke kantor Komisi Informasi dan Unit Kejahatan Siber dari Agensi Kejahatan Nasional Inggris.

Aktivitas Partai Liberal Kanada, yang ketuanya PM Justin Trudeau, ini juga sudah setuju untuk memberikan kesaksian kepada Komite Intelijen dan Komite Yudisial DPR AS, serta Komite Digital Parlemen Inggris.

Berkat pengungkapannya yang menggegerkan dunia, Wylie dianggap sebagai whistleblower (pembokar rahasia internal perusahaan). Akibat tindakannya ini, Facebook memblokir akun milik Wylie.

Terkait perlindungan data pribadi, terdapat perbedaaan antara di AS dan Inggris. Menurut Peneliti Elsam, Lintang Setianti, negeri Paman Sam tidak mengatur secara khusus karena diatur langsung oleh industri atau perusahaan.

“Itu kode etiknya. Mereka hanya mengatur hak privasi saja. Itu kuat di Amerika,” kata dia kepada VIVA. Artinya, Lintang melanjutkan, tidak ada keseragaman definisi data pribadi.

Karakteristik konsep privasi di AS tidak memiliki regulasi tunggal untuk melindungi privasi dan data yang dapat diterapkan secara khusus.

Hanya saja, ruang lingkup Privacy Act 1974 di AS, yang menjadi regulasi perlindungan data, dikhususkan bagi agen federal. Sedangkan untuk swasta merujuk pada pedoman yang diterbitkan agen pemerintah dan kelompok industri yang tidak mengikat secara umum.

Di Inggris, Lintang menjelaskan, regulasi pengaturan data pribadi dijamin dalam Data Protection Act 1998. Regulasi ini memberikan definisi data pribadi yang harus dilindungi, hak-hak pemilik data dan badan independen yang menegakkan hukumnya.

***

Perlindungan Data

Lantas, bagaimana dengan beleid perlindungan data pribadi di negara-negara Asia Tenggara? Ia menegaskan bahwa hanya Thailand dan Indonesia saja yang belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi.

“Dari 10 negara anggota ASEAN, hanya Indonesia dan Thailand saja yang masih ‘telanjang’ soal perlindungan data pribadi,” ungkapnya.

Adapun di Uni Eropa, karena merupakan kawasan terintegrasi, maka perlindungan privasi dan data pribadi diatur oleh kebijakan yang bersifat supranasional dalam bentuk the EU Data Protection Directive.

Sementara itu, konsep dasar perlindungan data pribadi pertama kali muncul pada 1960-an yang dilanjut pada 1970 oleh Jerman. Negara ini yang pertama memberlakukan peraturan tentang perlindungan data yang diikuti oleh Swedia tiga tahun kemudian serta Prancis pada 1978.

Khusus Jerman, mengutip situs Deutsche Welle, Facebook harus menghadapi aturan yang lebih ketat dan hukuman yang lebih keras yang dijatuhkan oleh pihak berwenang dalam perlindungan data yang jauh lebih lengkap.

Hal ini dikatakan oleh Menteri Kehakiman Jerman, Katarina Barley. Ia memanggil para eksekutif Facebook, termasuk Kepala Urusan Hubungan Masyarakat Wilayah Eropa Facebook Richard Allan.

"Facebook mengakui penyalahgunaan dan dampak-dampak di masa lalu dan sejak itu telah memberikan jaminan bahwa hal-hal seperti tidak akan terjadi lagi. Tapi, itu belumlah cukup. Di masa mendatang kita harus mengatur perusahaan-perusahaan seperti Facebook dengan jauh lebih ketat lagi," ungkap Barley.

Bocornya data pengguna Facebook membuat banyak pihak menggaungkan tagar #DeleteFacebook, karena khawatir bisa jadi data pribadi mereka yang jadi korban berikutnya.

Salah satu pendiri layanan perpesanan WhatsApp, Brian Acton, mengajak pengguna internet di dunia untuk menghapus akun Facebook mereka. Dalam akun Twitter pribadinya, @brianacton, ia menulis agar pengguna WhatsApp untuk menghapus Facebook.

"Sudah saatnya," tulis Acton, menambahkan tagar #DeleteFacebook, seperti dikutip situs The Verge. Tweet Acton ini muncul setelah kasus kebocoran puluhan juta data pengguna Facebook memberikan dampak yang sangat berisiko bagi perusahaan.

Tak hanya Acton, Facebook pemilik Tesla dan SpaceX, Elon Musk, ikut menghilang pada Jumat, 23 Maret, pekan lalu. Janji Musk menghapus dua laman itu muncul setelah ia menerima tantangan dari pengguna Twitter lainnya. "Hapus halaman SpaceX di Facebook jika Anda jantan?" demikian cuitan seorang pengguna pada Musk. "Saya tidak menyadari jika kami memilikinya. Akan saya lakukan," balas Musk. Halaman Facebook SpaceX dan Tesla, yang masing-masing memiliki 2,6 juta pengikut, tidak lagi dapat diakses. Majalah dan situs khusus dewasa, Playboy, dikabarkan ikut dalam gerakan #DeleteFacebook.

Hal yang sama juga ditunjukkan dengan dihapusnya akun resmi Playboy dari Facebook beberapa hari yang lalu. Alasan dari ikutnya Playboy dalam gerakan ini dikarenakan mereka ingin melindungi data para pelanggan mereka.

"Kabar belakangan ini tentang dugaan mismanagement Facebook terkait data pengguna telah memperkuat keputusan kami untuk menyetop aktivitas di platform itu pada saat ini," jelas perwakilan Playboy seperti dikutip dari laman PR Newswire.

Dalam surat resmi tersebut, sebenarnya sudah tersirat jika Playboy sudah ingin hengkang dari platform tersebut semenjak beberapa waktu lalu. Hal ini dikarenakan menurut mereka, pihak Facebook terlalu mengekang mereka melalui aturan konten dan kebijakannya yang ketat. (ren)