Bak Cendawan di Musim Hujan

Dilan 1990.
Sumber :
  • instagram.com/falconpictures_

VIVA – "Jangan rindu, berat. Kamu takkan kuat, biar aku saja," kata Dilan di sebuah telepon umum koin, mengucap rindu pada Milea yang tersipu mendengarnya dari rumah. Sepotong kutipan dari film Dilan 1990 ini kini begitu akrab di telinga. Semua orang membicarakannya, di mana-mana.

Hari pertama dirilis, 25 Januari 2017, layar utama bioskop didominasi poster Dilan. Tiap studio penuh penonton, bahkan hingga di minggu ketiga pemutarannya. Bukan hanya penonton baru, banyak juga penonton lama. Fitri, misalnya. Mahasiswi IISIP ini mengaku sudah tiga kali menonton Dilan.

"Pertama baper, kedua pengin lihat scene-scene tertentu, ketiga lucu aja," katanya saat ditemui VIVA, Rabu, 14 Februari 2018.

 

***

Gila Dilan

Setahun lalu, tepatnya Maret 2017 Pidi Baiq datang ke kantor VIVA, di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur. Penulis novel Dilan ini hanya mengumbar senyum, ketika ditanya soal proses penggarapan film pria romantis asal Bandung itu.

Gaung rencana Dilan naik layar lebar memang sedang santer diberitakan. Ramai jadi perbincangan, lantaran novelnya memang laris manis di pasaran. Dicetak pertama kali pada tahun 2014, Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 ini tiga kali cetak ulang dalam waktu kurang dari sebulan. Konon, tiap kali dicetak, langsung ludes tak tersisa.

Pidi Baiq, dengan gayanya yang santai, bersandar di kursi hitam ruangan meeting VIVA sambil bercerita bagaimana dia bisa menemukan Milea, Vanesha Prescilla. Dia mengubah posisi duduknya, lebih maju dan meletakkan kedua siku lengannya ke atas meja. Dia memandang Sang Produser, Ody Mulya Hidayat, yang duduk terhalang tiga orang lain di sampingnya.

"Semuanya sudah lengkap dan siap, tinggal mencari pemeran Dilan saja, agak susah. Kalau saya sih sudah ada incaran anak-anak SMA gitu, tapi Pak Ody maunya dari kalangan artis. Padahal buat saya sama saja asal bisa akting," ujar pria yang akrab disapa Ayah tersebut sambil tertawa.

Agak alot, karena si penulis dan produser belum menemukan suara bulat untuk si pemeran Dilan kala itu. Begitu juga dengan Fajar Bustomi, si sutradara. VIVA pernah berbincang dengannya soal film Dilan ketika sutradara berusia 35 tahun ini masih mempromosikan filmnya yang berjudul Surat Kecil untuk Tuhan, dua bulan setelah perjumpaan dengan Ayah. Fajar mengaku sudah mengantungi nama aktor pemeran Dilan namun belum mau mengungkapkan.

17 Juli 2017 jadi hari di mana akhirnya Iqbaal Ramadhan eks Coboy Junior alias CJR diumumkan sebagai sosok pemeran Dilan. Namanya pun melesat cepat dalam pencarian teratas Google Indonesia. Menariknya, sebagian besar bernada sumbang, Iqbaal nyaris tanpa dukungan. Pro dan kontra memang, tapi banyak yang menolak percaya, Iqbaal mampu membawa ekspektasi pembaca. 

Nyatanya tak demikian. Sejak tayang pada 25 Januari 2018, Iqbaal kini menjadi idola baru, bukan hanya di kalangan remaja, tapi juga ibu-ibu. Dia berhasil mematahkan ragu banyak pembaca buku. Film Dilan pun kian diburu. Di hari ke-21, Dilan 1990 sudah mengumpulkan penonton, 5.472.000, luar biasa, bukan?

Film adaptasi novel memang menarik, tapi proses pembuatannya mungkin agak pelik. Seperti Pidi Baiq, Fajar, dan Ody menggarap Dilan, ada diskusi alot di dapurnya. Dilan pun bukan satu-satunya film adaptasi yang sukses secara komersil dan popularitas. Tetapi tentu saja, tak selamanya juga film yang diadaptasi dari buku menguntungkan.

***

Fenomenal

Pengamat film dan penulis, Noorca Massardi mengatakan, film adaptasi novel di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak era 50' dan 60'an. Namun, film ini mulai jadi tren pada era 70'an. Di masa itu, banyak karya sastra legendaris yang sukses naik ke layar lebar.

"Saya rasa ramainya setelah 70'an, terutama (karya) Asrul Sani. Film-film sastra dari Asrul Sani, (misalnya) ada Di Bawah Lindungan Ka'bah," katanya kepada VIVA melalui sambungan telepon, Rabu, 14 Februari 2018. 

Novel tersebut adalah karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal Hamka yang terbit pada tahun 1938 dan diangkat menjadi film oleh Asrul Sani pada tahun 1977 dengan judul Para Perintis Kemerdekaan. Film ini masuk dalam 6 nominasi Festival Film Indonesia pada tahun 1981, termasuk untuk kategori Film, Skenario, dan Penyutradaraan Terbaik. Dua piala pemenang pun akhirnya dibawa pulang.

Menurut Noorca, Asrul Sani merupakan sosok penulis dan filmmaker yang andal. Noorca menilai, film-film adaptasi yang dibuat Asrul sangat bagus, dengan skenario yang dianggap tidak menyimpang dari novelnya. "Dia tidak menyimpang dari novelnya, tapi filmnya itu justru sangat memperkuat karya sastranya," ujarnya menambahkan.

Sementara, dari ranah novel populer, film yang diangkat dari novelis terkenal Marga T tak bisa diabaikan. Karmila, cerita bersambung yang akhirnya ia bukukan pada tahun 1973 ini sukses naik layar lebar pada tahun 1976. Film ini meraup 213.036 penonton dan menjadi film kedua terlaris di warsa tersebut. Ada juga Badai Pasti Berlalu pada tahun 1978, terlaris kedua dengan jumlah penonton 212.551.

Noorca pun terkenang dengan film Kabut Sutra Ungu yang dibintangi Jenny Rachman, Roy Marten, dan El Manik pada tahun 1980. Film yang disutradarai oleh Sjumandjaja ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Ike Soepomo. Film ini menjadi yang terlaris di warsanya dengan jumlah penonton 488.865.

Sedangkan jika bicara soal film adaptasi novel yang fenomenal di era baru, artinya warsa 2000 ke atas, maka 2008 adalah masa keemasannya. 10 tahun sebelum film Dilan dirilis, Laskar Pelangi yang diangkat dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata sukses besar baik secara komersil maupun kritik. Dari data filmindonesia.or.id per Jumat, 16 Februari 2018, sinema yang disutradarai Riri Riza ini masih menempati posisi ketiga film Indonesia terlaris sepanjang tahun 2007 hingga 2018. Jumlah penontonnya luar biasa, yakni 4.719.453.

Masih di tahun yang sama, film adaptasi novel karya Habiburrahman el Shirazy, Ayat-ayat Cinta sukses bertengger di posisi ketujuh pada kategori yang sama. Tercatat, ada 3.676.135 penonton yang menyaksikan film ini. Bukan cuma sukses menjual banyak tiket, Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta juga menciptakan tren dan idola baru di kalangan masyarakat. Misalnya saja, Fahri, hingga detik ini seolah jadi ikon pria masa kini yang baik dan soleh. 

***

Novel dan Film Berbeda

"Novel dan film itu dua media yang berbeda, jadi karya novel tidak ada hubungannya dengan karya film. Itu harus dilepaskan sama sekali, karena benar-benar berbeda," kata Noorca Massardi, ketika mengawali penjelasannya soal film adaptasi. 

Mengangkat kisah dari novel ke dalam film memang membuat para pembaca kerap membanding-bandingkan keduanya. Padahal, menurut Noorca, penting diketahui bahwa ketika sebuah novel menjadi film, maka para pembuat film berhak untuk membuatnya sedemikian rupa.

"Saat menjadi film, film itu karya si pembuat film, bukan lagi karya si penulis novel. Sama, baik di sini (Indonesia) maupun di dunia," ujarnya menjelaskan.

Louis Giannetti dalam bukunya Understanding Movies yang dikutip John Dean dalam tulisannya berjudul Adapting History and Literature into Movies, membagi film adaptasi menjadi tiga tipe, Loose, Faithful, dan Literal.

Loose adaptation merupakan jenis film adaptasi di mana produser, studio, dan sutradara hanya mengambil ide, tema, situasi, karakter, atau bahan mentahnya saja yang mereka inginkan atau butuhkan. Dalam hal ini, mereka berhak mengembangkan film, seperti menambahkan subplot, karakter, mengubah situasinya, dan lain-lain.

"Beberapa dari keasliannya, dalam semangat maupun faktanya, tetap ada. Loose adaptation bisa juga berarti mengembangkan beberapa bagian dari teks aslinya," tulis John Dean. 

Noorca Massardi punya penjelasan senada. "Dalam film yang penting kan ada plotnya, ada karakternya. Film itu bebas menambahkan karakter lain. Penulis skenario atau sutradara boleh menambahkan tokoh baru dan sebagainya."

Faithful. Tipe ini merupakan adaptasi di mana para filmmaker mencoba sedekat mungkin dengan aslinya. "Faithful ingin tetap loyal kepada maksud dari teks aslinya demi menyampaikan isi hati dan jiwanya," kata John.

Maka dalam faithful adaptations, meski film akan mengubah secara total akhir cerita dari novelnya, filmmaker akan tetap berusaha dan yakin bahwa inti maksudnya tidak akan berubah. Sementara yang terakhir adalah literal adaptations, biasanya ditujukan untuk penampilan teater yang diangkat menjadi film. 

Dalam prosesnya, secara garis besar, penulis skenario memang hanya mengambil bagian-bagian paling penting atau signifikan dari novel. Pasalnya, tak semua isi buku bisa divisualisasikan ke dalam film. Seperti pada Dilan, di mana Pidi Baiq mengawal prosesnya, baik penyutradaraan maupun penulisan skenario, hasilnya dinilai banyak orang cukup sama dengan bukunya.

"Kalau penulis skenarionya adalah penulis novel, biasanya lebih detail. Tapi kalau si penulis novel tidak ikut, maka itu murni karya si pembuat film," kata Noorca.

Ketika bicara soal hak cipta, maka Noorca menjelaskan, meski karya sastra dijadikan film, hak moral tetap ada untuk si penulis novel. "Hak ekonomi milik pembuat film. Soal royalti, tergantung apa yang diperjanjikan. Ini perjanjian privat perdata," ujar penulis senior tersebut.

***

Dapur Penulis dan Filmmaker

Meski film adaptasi merupakan sebuah impresi atau penafsiran si pembuat film terhadap karya sastra yang akan digarapnya, bagi pembaca, selalu ada keinginan untuk mendapatkan visual sedekat mungkin dari apa yang mereka bayangkan. Berbeda dengan penikmat film yang belum pernah membaca novelnya. Mereka tak peduli dan hanya menikmatinya saja.

Di sinilah para pembuat film ditantang untuk bisa membuat sesuatu yang, setidaknya, tak mengecewakan. Harus ada penggarapan yang matang, baik dari pemilihan adegan, alur, dan daftar pemainnya.  Fajar Bustomi, sutradara film Dilan 1990 menceritakan, bagaimana rasanya harus mengikhlaskan adegan-adegan yang bagus dari novel dan tidak memilihnya untuk film.

"Itu berat. Novel sendiri kan ada 330 halaman lebih, sedangkan film terbatas sama durasi. Kalau di Dilan ini saya nyutradarainnya berdua sama ayah Pidi. Nah, dia kreatornya yang menciptakan Dilan dan novelnya, jadi ya saya diskusi sama dia. Karena gimana pun juga dia yang paling tahu tentang Dilan. Jadi jangan sampai adegan yang kita ambil ternyata itu enggak terlalu ber-impact ke cerita ini. Jadi diskusi bareng sih sebenarnya. Kita lihat lagi tujuan novelnya apa, goal-nya apa, kayak gitu sih sebenarnya," katanya kepada VIVA.

Pada prosesnya, benturan pendapat selalu ada. Misalnya ketika Pidi Baiq meminta visual Milea dibuat lebih banyak dari Dilan, sementara keinginannya bertentangan. Fajar dan Pidi pun harus menikmati gesekan-gesekan itu dan mencari keputusan paling ideal. Penulis, sutradara, dan produser harus bisa berkolaborasi dengan baik jika ingin tak kehilangan inti dari novel aslinya.

Seperti Pidi Baiq yang tak mau melepas ceritanya begitu saja, Asma Nadia, penulis best seller yang 7 novelnya sudah difilmkan juga selalu meminta punya akses untuk skenario. Dia akan terlibat bersama penulis skenarionya, produser, dan sutradara untuk mendiskusikan adegan yang akan diambil.

"Kalau kita sih sebagai penulis ya cuma memberikan masukan, kalau buat saya tidak masalah ada perubahan adegan atau apa. Karena dari buku kebutuhan sebuah tulisan dengan kebutuhan visual kan beda, jadi buat saya perubahan itu tetap ada. Saya tidak masalah dengan adanya perubahan, tapi kita bicarakan sama-sama gitu," kata penulis Surga yang Tak Dirindukan ini, film adaptasinya terlaris di tahun 2015.

Pemilihan pemain pun tak kalah rumitnya. Dalam hal ini, sangat penting, mengingat imajinasi setiap orang akan berbeda-beda. Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara, bercerita, selain terlibat mengawal naskah film, dia juga ikut serta dalam proses pemilihan pemain.

"Ketika dicasting juga saya ikut duduk bersama tim, kasih masukan sebagai bahan diskusi untuk kira-kira cocok apa enggak kalau pemerannya seperti ini, memerankan tokoh tersebut," katanya.

Pemilihan pemain, suka atau tidak, biasanya memang menimbulkan pro dan kontra, apalagi jika novelnya begitu terkenal. Seperti ketika Iqbaal Ramadhan pertama kali disebut sebagai aktor Dilan. Menurut Pidi Baiq, siapa pun yang akan memerankan tokoh tersebut pasti akan selalu menuai pro dan kontra. Dia pun tak mau ambil pusing dan memilih untuk menikmatinya saja.

"Keputusan memilih pemeran Dilan tidak ditentukan oleh satu orang tertentu. Ada banyak orang termasuk Lia yang akhirnya setuju Iqbaal. Prosesnya berlangsung cukup alot dan demokratis disertai banyak konsumsi yang bebas ambil. Beberapa di antara tim pemilih bahkan ada juga yang tidak setuju Iqbaal dan dia juga punya alasannya sendiri yang bisa diterima," kata Pidi melalui Instagramnya, Juli 2017.

Dari sudut pandang produser, berusaha mendekatkan ekspektasi pembaca, baik itu alur cerita maupun tokohnya adalah dengan melakukan survei dan riset mendalam. Pembuat film harus tahu apa yang paling banyak diinginkan para pembaca novel sebagai bagian dari pertimbangan. Setelah itu, tugas selanjutnya adalah mengajak si penulis novel untuk menjaga agar keasliannya tidak hilang.

"Kayak Dilan, kan dijaga sama penulis novelnya, Pidi Baiq. Saya juga menjaga, biar tidak lari, maksudnya alur cerita ya Kang Pidi Baiq yang menjaga itu. Ini produk bener, lurus. Kalau ada belok ya tolong diluruskan. Ini dikawal, dijaga banget. Bayinya dia, jadi jangan sampai lari cerita itu. Bahaya bagi pembacanya (kalau lari)," ujar Ody Mulya, Produser film Dilan 1990.

***

Dilirik Filmmaker

Salah satu alasan mengapa produser memilih untuk memfilmkan novel adalah karena basis pembacanya sudah ada. Asma Nadia misalnya, sudah punya pembaca loyal yang terkumpul masif di media sosial. Basis penggemarnya di Facebook saja sudah mencapai 3,1 juta, Instagram hampir 700 ribu, dan Twitter sekitar 900 ribuan. Dilihat dari satu sisi saja sudah membuat Production House tertarik untuk bekerja sama dengan penulis ini.

"Memang, kalau dari novel, bisa dibilang treatment-nya lebih gampang. Kelihatan polanya, fansbase pembacanya sudah ada. Tinggal kita jeli-jeli lihatnya aja, novelnya bagus enggak nih isinya, oke enggak, gitu kan. Kalau ok ya pasti jalan," ujar Ody.

Noorca Massardi menambahkan, lirikan pertama filmmaker juga bisa datang dari seberapa banyak buku yang terjual. Biasanya, buku yang berhasil tercetak 30 ribu eksemplar itu sudah luar biasa pencapaianya. Dengan buku yang sudah banyak dibaca orang, tentu saja membuat karakternya sudah lebih familiar di kalangan masyarakat.

"Keuntungan karakter sudah dikenal dan sudah ada pembacanya," kata Manoj Punjabi, produser MD Entertainment.

Namun, penggemar yang banyak dan pembaca loyal tak pernah menjadi formula kesuksesan sebuah film adaptasi. Banyak elemen lain yang turut bersinergi untuk membuat film ini laris di pasaran, salah satunya kekuatan promosi.

Noorca menuturkan, film yang sukses menembus box office menyediakan biaya promosi yang besar. Warkop DKI Reborn misalnya. Promosinya lima kali lipat dari biaya produksinya. Dilan sendiri, diperkirakan dua hingga tiga kali lipat.

Dalam film adaptasi, jumlah novel yang laris terjual, menurut Ahmad Fuadi, adalah garis mulainya. "Ibarat sebuah pertandingan, dengan adanya buku ini pelarinya sudah lari beberapa ratus meter duluan. Tinggal nanti kalau itu panjangnya 500 meter, itu di 200 meter sampai habis itu masuklah publikasi dari film. Penting banget, karena sekarang kan industrinya semakin besar, film produknya semakin banyak. Jadi tetap harus ada marketing yang baik, promosi yang baik kalau enggak ya enggak didengar, enggak akan maksimal. Mungkin penontonya masih oke tapi kalau kurang publikasi dan promosi ya mungkin tidak maksimal," katanya.

Film adaptasi memang terlihat menggiurkan bagi para pelaku industri perfilman, karena dianggap punya basis penggemar yang sudah luas. Namun, tidak pernah ada jaminan, novel best seller juga akan box office di filmnya. Ody Mulya bahkan siap bayar Rp1 M jika memang ada rumus sukses film laris.

"Enggak ada orang punya resep laku, kalau ada semuanya sudah kaya raya," ujar Noorca menutup wawancara. (mus)

 

Baca Juga

Dari Buku ke Bioskop

Laris dari Buku Berkelas