Meniti Jalan Pedang
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Tabung oksigen beragam ukuran tampak berjajar di pojok ruangan. Tabung-tabung ini berbagi tempat dengan meja dan sofa di ruang tamu seluas separuh lapangan tenis meja. Sementara, deretan kursi roda dan sejumlah inkubator menghias ruang tengah. Tak hanya itu, di dalam salah satu kamar, kruk, walker dan beragam jenis tongkat berebut tempat dengan tumpukan kardus dan boks plastik.
Ini bukan klinik atau salah satu ruangan di rumah sakit. Beragam peralatan kesehatan ini berada di rumah warga, tepatnya di Perumahan Citra Indah, Bukit Mahoni Luar Blok S.00 no.78, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sejak tiga tahun lalu, Bonaventura Zita Enny Wati (51 tahun) dan Lukas Lugi Riyandi (46 tahun) menyulap rumah mereka menjadi ‘gudang’ alat-alat kesehatan. Pasangan suami istri ini menjadi agen relawan peminjaman inkubator gratis.
Pagi itu, Lukas Lugi Riyandi terlihat sedang membersihkan salah satu inkubator. Pria yang akrab disapa Lugi ini terlihat lincah membongkar alat ‘penghangat’ bayi tersebut. Menggunakan kain lap yang sudah disemprot disinfektan, ia membersihkan inkubator yang diletakkan di atas meja. Semua sisi dan titik di inkubator tersebut tak lepas dari sapuan tangannya, mulai dari alasnya yang terbuat dari kayu hingga acrylic penutupnya yang mirip kaca.
“Hari ini ada warga yang meminjam inkubator,” ujarnya saat VIVA berkunjung ke rumahnya, Rabu 31 Januari 2018.
Lugi menuturkan, ia dan istrinya menjadi relawan inkubator sejak tiga tahun lalu, tepatnya pada 3 Februari 2015. Pemicunya adalah ketika ada salah satu anak tetangganya yang lahir prematur dan meninggal karena tak punya biaya untuk perawatan.
“Tetangga kami adalah keluarga tak mampu. Singkat cerita, ketika dia melahirkan bayi prematur, keluarganya tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit. Penanganannya terlambat dan bayinya tidak tertolong. Itu yang menggerakkan kami,” ujarnya mengenang.
Agen relawan inkubator Lukas Lugi Riyandi sedang membersihkan inkubator, Rabu, 31 Januari 2018. (VIVA/Ali Wafa)
Setelah ada kasus tersebut, Lugi dan istrinya mencoba mencari kontak dan menghubungi Prof. Dr.Ir Raldi Artono Koestoer DEA. Guru Besar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini merupakan pionir gerakan peminjaman inkubator gratis.
“Suami saya kebetulan pernah nonton Kick Andy yang menayangkan tentang peminjaman inkubator gratis. Lalu suami saya mencari tahu di Google, dan dapatlah blognya Prof. Raldi. Di sana dijelaskan tentang peminjaman inkubator gratis. Dan di sana juga terbuka menjadi agen relawan,” ujar Bonaventura Zita Enny Wati.
“Nah karena di Jonggol sini belum ada juga agen relawan peminjaman inkubator gratis, maka kami mengajukan diri untuk menjadi agen relawan,” ujarnya menambahkan.
Setelah selesai membersihkan inkubator, Lugi langsung membawa ‘pengganti rahim’ itu ke mobil yang sudah disiapkan di depan rumah. Selain inkubator, ia juga membawa timbangan digital dan fototerapi. Juga selembar kertas yang berisi panduan tata cara menggunakan inkubator. Setelah semuanya dirasa lengkap, pasangan ini pun langsung menghidupkan mobil dan meluncur ke rumah warga yang hendak meminjam inkubator tersebut.
Uji Kesabaran
Perempuan paruh baya yang biasa disapa Enny ini menuturkan, tak mudah menjadi agen relawan. Pertama mereka harus menyediakan dana untuk ganti ongkos produksi inkubator. “Karena kami betul-betul ingin bergerak, bermodalkan hati, kami mengumpulkan donasi. Kami patungan. Setelah dua atau tiga bulan baru kami bisa mengumpulkan uang untuk biaya mendapatkan satu unit inkubator,” ujarnya mengenang.
Usai dana terkumpul, Lugi pun melamar untuk menjadi relawan. Namun kesabaran ia kembali diuji. Pasalnya, Profesor Raldi tak langsung merespon. Mereka sampai harus bolak balik mengirim email lamaran untuk menjadi relawan. “Ada sekitar satu bulanan baru mendapatkan jawaban.”
Lugi mengatakan, selain mengganti ongkos produksi, ada sejumlah syarat yang harus mereka penuhi. Salah satunya merdeka dari urusan ekonomi. ”Agen relawan tidak diperbolehkan mencari keuntungan atau menjadikan gerakan ini sebagai gerakan komersial atau mencari uang,” ujar mantan atlet taekwondo ini.
Saat ini mereka mengelola tujuh unit inkubator dan dua set lampu fototerapi. Menurut Enny, sudah lebih dari 120 bayi yang menggunakan inkubator dan fototerapinya.
Tak sulit untuk bisa meminjam inkubator yang dikelola pasangan yang terlihat kompak dan hangat ini. Warga cukup kirim pesan singkat (SMS) atau melalui WhatsApp (WA). “Nomer WA saya ini sudah tersebar ke bidan-bidan. Kalau mereka kesulitan menghubungi SMS Center, mereka kirim WA ke saya,” ujarnya.
Foto Enny Bonaventura sedang menata alat-alat kesehatan di rumahnya. (VIVA/M Ali Wafa)
Pasangan yang belum dikarunia anak ini tak hanya menunggu. Namun, mereka pro aktif mencari warga tak mampu yang membutuhkan inkubator. Bahkan, pasangan ini menebar kartu nama agar warga lebih mudah menghubungi mereka. “Setiap kali ke rumah sakit, kami mencari tahu informasi tentang bayi yang lahir prematur. Setiap ke puskesmas kami sosialisasi. Setiap ada plang bidan, kami datangi dan sosialisasikan program peminjaman inkubator gratis ini. Bertukar nomer WA dan lain sebagainya.”
Lugi mengatakan, ia dan istrinya menjadi agen relawan karena prihatin dengan masih tingginya angka kematian bayi prematur. “Bayi prematur itu adalah masalah yang ril di masyarakat. Di lingkungan kami sendiri banyak kasus-kasus bayi yang lahir secara prematur,” ujarnya.
Sementara, tingginya kelahiran bayi prematur tidak diimbangi dengan fasilitas kesehatan yang memadai. “Kadang di rumah sakit ketika ada ibu yang melahirkan bayi prematur, dia tidak bisa mendapatkan ruang NICU. Bahkan ada beberapa rumah sakit di sini yang ruang NICU nya tidak ada. Kalau pun ada tidak semua masyarakat yang membutuhkan mempunyai uang untuk membayar,” ujarnya menambahkan.
Menurut dia, biaya perawatan bayi prematur di daerahnya masih cukup tinggi. Sewa inkubator paling murah Rp500 ribu perhari. Kalau di rumah sakit swasta antara Rp2 juta. Bahkan, ada yang sampai Rp4 juta perhari. Sementara, bayi prematur rata-rata harus berada di dalam inkubator minimal satu bulan. “Bisa dibayangkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk merawat bayi prematur selama satu bulan di rumah sakit,” ujarnya menjelaskan.
“Kami pernah mendapatkan kasus, ada satu keluarga yang sampai menjual rumah untuk merawat anaknya ketika harus mendapatkan NICU di rumah sakit. Sekarang dia tinggal di rumah petak,” ujarnya.
Selain inkubator, Lugi dan Enny juga meminjamkan fototerapi untuk mengatasi bayi kuning. Mereka juga meminjamkan kursi roda, kruk, walker, tongkat dan kasur angin khusus untuk penderita stroke. “Jadi dimana ada kebutuhan masyarakat, kami berusaha mencari donatur agar bisa mendapatkan alat kesehatan yang dibutuhkan dan kami pinjamkan secara gratis sampai pasiennya sehat.”
Menghilangkan Kecurigaan
Mahalnya biaya penyewaan inkubator membuat warga tak percaya dengan aksi sosial yang dilakukan Lugi dan Enny. Bahkan tak sedikit dokter dan bidan yang curiga dan menaruk syak wasangka kepada mereka.
Enny mengisahkan, suatu malam ia melihat plang bidan. Ia dan suaminya langsung menemui bidang tersebut dan menawarkan peminjaman inkubator. Alih-alih senang, bidan tersebut malah mundur dan menjauh. “Saya dikira sales dan mau jualan inkubator,” ujarnya sambil terkekeh.
Tak hanya bidan, warga juga banyak yang curiga. Sekali waktu Enny mendapat informasi ada warga yang melahirkan bayi prematur. Ia pun berusaha mencari lokasi dan menghubungi warga tersebut. Namun nomor telepon warga tersebut tak bisa dihubungi. Usut punya usut ternyata warga tersebut sengaja mematikan telepon genggamnya. Ia menolak meminjam inkubator karena takut membayar. Setelah diyakinkan bidan setempat, baru warga tersebut bersedia dihubungi.
“Akhirnya setelah diyakinkan, kami berhasil menghubungi. Setelah mendapatkan informasi alamatnya lalu saya bersama Ibu Betty (relawan lain) langsung mengantarkan inkubator malam itu juga ke rumahnya. Dan syukur bayinya terselamatkan,” ujar Enny mengenang.
“Jadi memang tidak mudah untuk meyakinkan orang bahwa kita ini ingin meminjamkan inkubator gratis. Mereka ketakutan karena berfikir nanti akan dipungut bayaran.”
Kedatangan Lugi dan Enny di rumah Ateng dan Ana Nurhasanah, 31 Januari 2018. (VIVA/M Ali Wafa)
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam melalui medan yang cukup menantang, Lugi dan Enny pun sampai Kampung Dayeuh, Desa Sukanegara, Jonggol. Mereka langsung menuju rumah Ateng (43). Istri Ateng, Ana Nurhasanah (43) baru saja melahirkan anak secara prematur dengan berat tidak lebih dari 1600 gram saat usia kandungannya baru memasuki tujuh bulan.
Sesampainya di lokasi, Lugi langsung membawa inkubator yang sudah disiapkan dan membawa ke rumah yang terletak di ujung gang. Keluarga Ateng sudah menunggu di dalam. Bayi mungil dengan lampu halogen menyala di atasnya tampak di antara mereka. Lugi meletakkan inkubator di atas meja yang sudah disiapkan dan langsung menjelaskan cara menggunakannya kepada Ateng.
Ateng mengatakan, ia meminjam inkubator karena tak punya uang. Penghasilannya sebagai sopir truk tak cukup untuk mengongkosi perawatan anaknya di rumah sakit. “Kemarin saya sempat tanya ke dokter kalau dirawat itu butuh biaya berapa. Kata dokter semalam itu Rp1,8 juta dikali 10 hari. Haduuuhh, saya dengarnya kaget. Saya bilang ke dokter, saya gak sanggup. Mendingan bawa pulang aja,” ujarnya kepada VIVA, Rabu 31 Januari 2018.
Ia mengaku tak ada biaya sepeser pun terkait peminjaman inkubator tersebut. “Gratis semuanya. Tak ada dana apapun, sepuluh ribu juga gak ada,” ujarnya menambahkan.
Ayah tiga anak ini mengaku sangat terbantu dengan program peminjaman inkubator gratis. “Makasih sudah dibantuin. Saya memang benar-benar lagi butuh pertolongan. Kalau tidak ada pertolongan ini saya gak tau kaya gimana.”
Hal yang sama disampaikan Siti Aminah (33). Mantan pengguna inkubator ini mengaku sangat terbantu. “Saya senang banget bisa ditolongin sama Ibu Enny, Ibu Betty,” ujarnya saat VIVA berkunjung ke rumahnya di Desa Sukasirna, Jonggol, Rabu 31 Januari 2018.
Awalnya, ibu dari Faiz Permana ini takut saat ditawari peminjaman inkubator. Ia takut diminta membayar. Pasalnya, ia tidak memiliki uang. Ketiadaan dana itu yang membuat ia terpaksa membawa pulang anaknya dari rumah sakit. Meski berat anaknya hanya 1,6 kg karena sudah lahir pada usia kandungan enam bulan satu pekan.
“Waktu itu ada yang nawarin katanya ada yang mau pinjamkan inkubator gratis. Terus aku takut. Takutnya itu gak gratis. Kita ketakutan gitu. Tapi kan saya juga mikir kasian bayinya,” ujarnya mengenang.
Setelah dijelaskan oleh bidan setempat bahwa peminjaman itu gratis, Siti Aminah akhirnya bersedia. “Bidan Dewi menjelaskan bahwa itu benar-benar gratis. Ya udah, akhirnya saya bilang ke bidan Dewi kalau gratis boleh. Terus ya udah datang aja inkubator malam-malam dianter sama Ibu Betty dan alhamdulillah bayi saya ketolong,” ujarnya.
Mencegah Hipotermia
Ia mengaku meminjam inkubator pada September 2015. Sekarang anaknya sudah berusia 2,4 tahun dan tumbuh dengan baik. Sama seperti Ateng, ia mengatakan tak dipungut biaya sepeser pun saat meminjam inkubator. “Alhamdulillah tidak. Sepuluh ribu juga gak keluar uang kita. Malah dikasih vitamin. Kita dikasih kasur bayi juga,” ujarnya menambahkan.
“Saya berterima kasih kepada ibu-ibu relawan, berkat pertolongannya Dede bisa sehat dan besar sampai sekarang ini. Saya tidak bisa membalas kebaikannya, mudah-mudahan dibalas oleh Allah SWT.”
Kepala Puskesmas Sukanegara, Jonggol dr. Yukhi Mustika menyambut baik program peminjaman inkubator gratis. Menurut dia, program tersebut sangat membantu warga yang melahirkan bayi secara prematur. “Masyarakat membutuhkan yang seperti ini. Ketika kami petugas kesehatan terbentur dan bingung mau dibawa kemana, karena masyarakat terbentur masalah keuangan,” ujarnya kepada VIVA, Rabu 31 Januari 2018.
Menurut dia, bayi prematur di bawah berat 2000 gram memang butuh inkubator. Karena, kebanyakan penyebab kematian bayi prematur karena hipotermia. “Dan inkubator ini kita perlukan salah satunya untuk mencegah hipotermia,” ujarnya menambahkan.
“Ini sangat membantu. Apalagi ini bisa langsung ke masyarakat. Karena memang masalah masyarakat itu kan masalah ekonomi. Kita tahu bahwa kasus-kasus bayi prematur yang tidak dapat tertolong itu karena masalah alat kesehatan. Keluarga bayi tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Jadi ini sangat membantu sekali.”
Bayi dari anak Ateng dan Ana Nurhasanah tidur di dalam inkubator di rumahnya. (VIVA/M Ali Wafa)
Lugi berharap, ke depan semakin banyak orang yang menjadi agen relawan. Pasalnya, jumlah kematian bayi prematur masih tinggi. Menurut dia, dengan banyaknya orang yang mau terlibat, semakin banyak orang yang akan menolong bayi-bayi yang lahir prematur.
Meski banyak kendala dan tantangan, Lugi menyatakan akan terus menjadi agen relawan. Lugi mengaku, sehari-hari ia dan istrinya hanya mengurusi peminjaman inkubator dan alat-alat kesehatan. Mereka tak punya pekerjaan dan penghasilan. Guna memenuhi kebutuhan harian, Lugi menyerahkan sama Tuhan.
“Kami bukan karyawan, kami tidak punya pekerjaan tetap, sehari-hari kami bekerja full untuk sosial saja. Selama ini kami bergantung sama Tuhan saja,” ujarnya.
Meski tak memiliki pekerjaan dan penghasilan, Lugi merasa sudah selesai dengan persoalan ekonomi. “Kami tidak pernah khawatir mengenai penghidupan kami sendiri. Yang kami khawatirkan adalah bagaimana kami bisa menolong orang lain.” (ren)