Wabah Pes di Balik Genting Legendaris Era Belanda di Kebumen

Pabrik genting merek Sokka, bangunan peninggalan Belanda di Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kebumen, Jawa Tengah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id - Menyebut genting berkualitas terbaik pastilah direkomendasikan merek Sokka. Genting yang terbuat dari tanah liat itu dikenal legendaris sejak zaman penjajahan Belanda.

Genting Sokka diproduksi di sentra genting di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Nama mereknya diambil dari nama desa tempat genting tanah liat itu mula-mula diproduksi, yakni Desa Sokka (sekarang Kedawung), Kecamatan Pejagoan, pada tahun 1920. Kawasannya bekas pabrik tebu yang kemudian didirikan pabrik genting dan menjadi pusat industri genting.

Genting cetak pertama produksi Sokka hasil pelatihan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada masyarakat setempat. Tujuan awal produksi genting ialah memenuhi kebutuhan atap untuk bangunan-bangunan stasiun atau pabrik gula dan bangunan lain.

Mulanya pemerintah Hindia Belanda meneliti untuk memetakan daerah-daerah yang tanahnya baik dan cocok untuk dijadikan genting atap rumah. Dipilihlah di antaranya Kebumen. Letaknya strategis, tanah liatnya bagus, karena dialiri sungai Luk Ulo, sehingga cocok untuk bahan baku genting.

Wabah pes

Namun Desa Sokka berkembang menjadi sentra industri genting sebenarnya dilatarbelakangi peristiwa merebak wabah pes di sana. Saat itu banyak tenaga kerja pribumi yang tidak sanggup bekerja karena terserang pes.

Wabah pes merebak gara-gara atap rumah warga setempat, termasuk umumnya rumah-rumah warga di perdesaan Jawa pada masa itu, masih menggunakan rumbia. Rumbia dianggap tempat favorit hewan-hewan seperti ular, serangga dan tikus bersarang. Tikuslah yang dianggap biang penyakit itu menjadi endemi.

Pemerintah Hindia Belanda bertekad membasmi wabah pes itu, terutama karena Belanda juga yang merugi jika banyak tenaga kerja yang sakit akibat terserang pes. Belanda kemudian mengerahkan tim kesehatan ke sana, dan seiring misi itu mulai digagas pendirian pabrik genting berskala lebih besar.

Genting produksi perusahaan pemerintah kolonial bermerek TICHELWERKHEN KEBOEMEN dan VIT. Sedangkan produksi warga atau swasta, di antaranya bermerek AB Sokka, W&SON Sokka, dan Brezole Sokka. Tapi genting-genting dengan merek yang disebut terakhir itu masih diproduksi manual, sementara bikinan Belanda sudah menggunakan mesin cetak.

Produsen AB Sokka kemudian ikut mendatangkan mesin cetak genting dari Jerman. Karena berkualitas baik, produknya banyak digunakan untuk atap sejumlah pabrik gula di Jawa. Jadilah genting merek AB Sokka kemudian populer dan banyak digunakan.

Peninggalan Belanda

VIVA.co.id berkesempatan menelusuri cikal bakal genting Sokka di Desa Kedawung itu. Di sana masih berdiri sebuah pabrik pertama genting Sokka yang dibangun Belanda pada tahun 1920.

Kompleks pabrik terdiri bangunan berdinding batu bata, semacam rumah dengan atap berbentuk segitiga yang di kedua sudut dasarnya hampir mencapai tanah. Tampak juga lima bangunan cerobong setinggi sepuluh meter menjulang. Cerobong-cerobong itu dahulu digunakan untuk membakar adonan tanah liat yang telah dicetak menjadi genting.

Sebagian cerobong masih kokoh berdiri, meski tampak bagian-bagian yang rusak. Hanya sebagian yang masih dipakai warga untuk memproduksi genting khas Sokka.

"Cerobong-cerobong Belanda itu sudah tak digunakan lagi sejak tahun 1990-an. Tapi cerobongnya masih asli," ujar Mukhojim, seorang perajin genting Sokka ketika ditemui VIVA.co.id pada Kamis, 14 September 2017.

Di pabrik itu, kata Mukhojim, memang cikal-bakal genting Sokka. Abu Ngamar-lah orang pribumi pertama yang memproduksi genting di Kebumen, yang kemudian diberi merek AB Sokka.

Mulanya dikerjakan manual tapi kemudian, setelah diturunkan kepada seorang anaknya, yakni Haji Ahmad, genting AB Sokka diproduksi dengan alat cetak. Ahmad yang mengenal orang Belanda kala itu lalu mendirikan sebuah pabrik genting di Sokka, sekitar 200 meter dari Stasiun Sokka, Kecamatan Pejagoan.

Masa jaya

Mukhojim menjelaskan, produk genting AB Sokka mencapai masa kejayaannya pada periode 1970-1980. Saat itu, pemerintah Indonesia sempat merekomendasikan genting Sokka Kebumen untuk digunakan sebagai atap di gedung pemerintah. Seperti genting gedung Akademi Militer di Kota Magelang serta sejumlah perkantoran di Jakarta, bahkan sempat diekspor ke luar negeri.

Pada masa jayanya, ada ratusan pekerja di pabrik tua itu. Namun seiring pergantian cerobong modern, cerobong pabrik tua akhirnya tidak digunakan. "Kalau dari cerobong pembakaran lama butuh waktu tujuh hari untuk pembakaran. Tapi kalau cerobong yang baru hanya tiga hari," ujarnya.

Dari cikal-bakal pabrik itu, lalu menjamurlah industri genting di Kabupaten Kebumen, rata-rata menggunakan embel-embel nama Sokka. Mukhojim menyebut, ada sekira seribu perajin genting Sokka di Kebumen yang masih bertahan. Paling banyak memang di Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan.

"Tapi saat ini perajin genting Sokka mulai resah. Selain sulitnya bahan baku, tapi juga makin banyaknya industri genting pabrikan dengan banderol harga yang lebih murah," kata Mukhojim. (mus)