Kisah Tragis Tugu Ketenangan Jiwa Tentara Jepang di Semarang
- Viva.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Tumpukan batu berdiri tegak di kawasan pesisir Pantai Baruna, Kota Semarang. Sepintas, batu berukuran besar itu terlihat biasa. Namun jika dilihat lebih dekat sebuah pahatan unik tergores jelas di batu tersebut.
Pahatan itu merupakan huruf Kanji atau tulisan Jepang. Pada bagian atas tulisan Jepang terbaca cukup besar. Sementara di bagian bawah tertulis kecil-kecil dalam jumlah banyak, namun sangat rapi. Tak ada bangunan lain di samping pahatan batu itu. Hanya rerumputan kering serta tanah gersang yang berada persis di pinggir laut.
Orang mengenal patok batu bertuliskan huruf kanji khas Jepang itu sebagai Monumen Ketenangan Jiwa. Meski telah ada sejak 1998 silam, tapi banyak warga yang selama ini tak mengetahui keberadaan monumen sarat sejarah itu.
Ya, Monumen Ketenangan Jiwa memang asing di telinga masyarakat. Sebab dari awal dibangun, lokasi di pesisir pantai itu bukan sebagai destinasi wisata, namun sebagai monumen peringatan.
Monumen itu dibangun pada 14 Oktober 14 Oktober 1998 yang diresmikan oleh mendiang Wali Kota Semarang Soetrisno Soeharto. Monumen peringatan itu untuk menghormati tentara Jepang yang tewas saat Pertempuran Lima Hari Semarang pada 15-19 Oktober 1945.
Menurut Sejarawan Semarang, Yongky Tio, monumen Ketenangan Jiwa dibangun atas inisiatif warga Jepang. Monumen itu dibangun oleh notabene keturunan dari tentara Jepang yang tewas saat era penjajahan.
"Itu untuk memperingati tentara Jepang yang meninggal saat Pertempuran Lima Hari Semarang, " kata Yongky kepada VIVA co.id.
Yongky menyebut nama-nama yang tertulis dalam pahatan batu monumen itu sebagian merupakan tentara Jepang yang tewas dalam pertempuran. Sebagian lain adalah warga Jepang sipil yang juga tewas terbunuh sebagai imbas pecahnya pertempuran dengan pemuda Semarang.
Konon, warga sipil Jepang itu merupakan para pegawai yang tinggal di kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Di sana mereka bekerja pabrik milik Jepang. Saat pertempuran lima hari pecah, mereka yang terancam lalu secara sembunyi-sembunyi mencari perlindungan. Mereka berjalan kaki menuju pusat tentara Jepang di Jatingaleh Semarang.
Namun di tengah perjalanan, mereka banyak yang tewas terbunuh saat bertemu dengan pejuang pemuda Indonesia. "Maka dari itu di Monumen Ketenangan Jiwa juga ditulis tentara dan warga Jepang yang tewas, " katanya.
Sebelum tahun 1998, monumen peringatan itu kabarnya sempat dibangun di tengah sungai. Alasan itu karena pemerintah Jepang banyak yang menemukan jasad tentara Jepang yang dibuang di tengah Sungai Banjir Kanal Barat yang mengalir ka laut.
Namun karena tugu itu hilang akhirnya dibangun kembali di pinggiran pantai. Posisi monumen yang menghadap Utara itu pun diyakini menghadap ke Ibu Kota Jepang, yakni Tokyo tempat kaisar Jepang berada.
Yongky menyebut pada setiap 10 Oktober banyak warga Jepang yang datang ke lokasi monumen. Mereka kebanyakan para keturunan Jepang yang tewas 72 tahun silam. Pada awal-awal tahun 2000 jumlahnya orang Jepang yang datang hingga mencapai 300 orang.
"Saat ini hanya tinggal 40 orang. Mereka biasanya ikut upacara peringatan pertempuran Lima Hari di Tugu Muda pada 14-15 Oktober. Mungkin karena sekarang banyak mantan tentara yang dulu selamat telah meninggal, " ujar dia.
Tidak Terawat
Lokasi monumen itu rupanya tak setenang namanya. Tragisnya, kawasan yang masuk via jalan arteri Yos Sudarso itu kini tak terurus dan kian hilang diterpa alam. Selain ditumbuhi rumput ilalang yang menjulang tinggi, monumen di lahan milik PT Indo Perkasa Usahatama Semarang itu pun seperti tak terurus.
Akses jalan menuju lokasi juga masih sangat sempit. Selain itu kontur tanah yang terjal serta pemandangan bangunan kumuh di sekitarnya juga menjadi catatan tersendiri. Meski kondisinya tak layak, namun setiap pengunjung yang masuk kawasan monumen tetap diwajibkan membayar tiket masuk Rp3.500 per orang.
Saelani, petugas kemanan yang berjaga di pos pintu utama kawasan Pantai Baruna Semarang, mengatakan, pihaknya telah diminta Dinas Pariwisata Kota Semarang untuk membersihkan lokasi monumen karena sempat tertutup rerumputan liar. Namun hingga kini dinas terkait belum juga melakukan perbaikan.
"Katanya dinas mau perbaiki akses jalan ke sana (monumen). Tapi sampai hari ini belum terlaksana. Memang jalannya kurang layak, " ujar dia.
Selama ini, kata Saelani, jumlah pengunjung di kawasan monumen memang jauh berkurang dari beberapa tahun silam. Pengunjung rata-rata datang saat akhir pekan.
"Paling mahasiswa dan orang pacaran. Kalau warga Jepang setahun sekali. Katanya tanggal 5 September orang Jepang mau datang ke sini, " ucapnya.