Masjid dan Vihara Bukti Toleransi Sejak Abad 16 di Banten
- VIVA.co.id/Yandi Deslatama
VIVA.co.id - Kesultanan Banten telah mengenalkan toleransi antarumat beragama sejak mula kerajaan Islam itu didirikan pada abad 16 atau tahun 1526. Satu di antara buktinya adalah keberadaan Masjid Agung yang berdekatan dengan Vihara Avalokitesvara, jaraknya kurang satu kilometer.
Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, sepuluh kilometer sebelah utara Kota Serang. Masjid itu dibangun Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kesultanan Banten. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.
Vihara Avalokitesvara atau disebut juga Klenteng Tri Darma dibangun di atas tanah seluas sepuluh hektare. Vihara itu melayani tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha.
Pembangunan vihara itu berkaitan erat dengan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati. Satu di antara sembilan wali penyebar Islam di Jawa itu beristri Putri Ong Tien, wanita keturunan kaisar Tiongkok.
Bukti lain adalah keberadaan Masjid Pecinan, yang diarsiteki dan dibangun warga Tionghoa beragama Islam. Reruntuhan masjid itu terletak sekira 500 meter ke arah barat dari Masjid Agung Banten atau 400 meter ke arah selatan dari Benteng Spelwijk.
"Kebhinnekaan ini, ketunggalan-ikaan ini, sudah ada sejak zaman Sultan, bukan sekarang saja. Kalau Sultan tidak mengajarkan kebhinnekaan, tidak akan ada itu gereja, tidak ada itu vihara. Kami diajarkan egaliter (setara), terbuka," kata Tubagus Abbas Wasse, Ketua Pemangku Adat Kesultanan Banten, saat ditemui di rumahnya di Serang pada Senin, 28 November 2016.
Tubagus Abbas mengklaim, Banten sebagai wilayah multiagama dan multietnis paling aman di Indonesia. "Di Banten ini paling aman bagi yang berbeda agama dan berbeda budaya karena dari dulu kita sudah diajarkan (toleransi)," katanya.
Sultan Maulana Hasanuddin, kata Tubagus Abbas, meneladani Nabi Muhammad dalam hal toleransi antarumat beragama, seperti saat Rasul membangun Kota Madinah. "Jadi yang mayoritas itu melindungi minoritas, dan kami keturunannya diajarkan seperti itu," ujarnya menambahkan.
Menurut Ketua Kenadziran atau Keturunan Kesultanan Banten itu, saat perayaan hari besar warga Tionghoa, para sesepuhnya selalu berziarah ke makam Sultan setiap setelah beribadah di Vihara Avalokitesvara. Tradisi itu sebagai tanda saling menghormati.
"Kalau ada keramaian China, Imlek, atau apa, kalau orang-orang China yang sudah tua, mereka datang ke Klenteng tidak afdol kalau tidak ziarah ke makam Sultan.”
(mus)