Strategi Indonesia Lestarikan Warisan Budaya Tak Benda

Sistem irigasi subak di Pulau Bali.
Sumber :
  • Dok. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

VIVA.co.id –  Upaya pelestarian Warisan Budaya Tak Benda masih belum segencar Warisan Budaya Benda. Itulah sebabnya, dibutuhkan strategi untuk menonjolkan Warisan Budaya Tak Benda. Hal itu diungkapkan di World Culture Forum (WCF) 2016 usai simposium satu sampai enam dilaksanakan bersamaan, di Bali, Selasa, 11 Oktober 2016.

Strategi menonjolkan Warisan Budaya Tak Benda, menurut maestro pematung Nyoman Nuarta, harus didahului dengan mengubah mindset mengenai kebudayaan itu sendiri. Demikian menurut keterangan pers yang diterima VIVA.co.id.

“Bangsa ini masih melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang tak berpenghasilan apa-apa. Kita harus mengubah pola pikir itu, perlu memiliki pengertian luas (mengenai kebudayaan) supaya bisa membenahi dengan baik,” ujarnya.

Nyoman memberi contoh melalui pengelolaan Subak di Bali. Dilihat dari sisi agrikultur, menurutnya, Subak belum mampu untuk menghasilkan apa-apa.

“Bali itu mengandalkan kulturnya bukan agrikulturnya,” ujarnya.

Itu menyebabkan kehadiran Subak justru menjadi penunjang kebudayaan itu sendiri.

Subak merupakan sistem pengairan sawah dengan menggunakan kearifan lokal Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alamnya (Palemahan).

Kemudian, pembagian yang adil diperlukan antara pemerintah pusat dengan pariwisata dan hotel. “Justru hotel ada karena adanya kebudayaan dan kearifan lokal di sana,” ujarnya menambahkan.

Lanying Zhang, salah satu pembawa materi di simposium satu WCF, sekaligus Direktur Pusat Rekonstruksi Pedesaan Lian Shuming Republik Rakyat China (RRC), mengungkapkan kondisi geografis dan alam Indonesia dapat menjadi potensi alternatif solusi pengembangan Warisan Budaya Tak Benda.

“Ada karakteristik persamaan antara pengelolaan persawahan Indonesia dengan RRC yaitu memenuhi kebutuhan populasi yang besar, seperti terdapat pada Cina yang banyak populasi di wilayah Cina bagian barat daya dan utara,” ucap Zhang menjelaskan.

Tapi, menurut Zhang, Indonesia justru memiliki kelebihan pada alam, dan kontur tanah yang dimiliki. Sehingga, pengelolaan Warisan Budaya Tak Benda dengan menitikberatkan pada peningkatan potensi alam seperti air, tanah, dan udara yang dimiliki dapat menjadi salah satu alternatif solusi.

Semsar Yazdi, pembicara lain di WCF yang juga merupakan Direktur Pusat Internasional menjelaskan mengenai Qanat dan Struktur Hidrolik Bersejarah Iran. Ia mengatakan bahwa ada fakta menarik seputar pengelolaan air antara Iran dengan Indonesia.

Menurutnya, kedua negara ini memiliki kearifan lokal yang hampir sama untuk memajukan pembangunan di dunia berkelanjutan.

“Kearifan lokal Subak di Bali bukan sekadar kearifan lokal untuk Indonesia, tapi ternyata terdapat persamaan dengan kearifan lokal pengelolaan air dengan Warisan Tak Benda Qanat di Iran, padahal kedua negara ini terpisahkan 80.000 kilometer jaraknya,” kata Yazdi.

Di sinilah, lanjutnya, ada kesamaan motivasi untuk mengembangkan pengetahuan kebudayaan untuk meningkatkan pembangunan di dunia yang berkelanjutan.

Qanat merupakan sistem saluran air yang terdiri atas deretan sumur yang tersambung di bawah kanal saluran bawah tanah. Sistem ini terbentuk dari sumur yang terbuka, kemudian saluran terowongan mendatar menghubungkan sumur itu dari jarak tertentu. Sistem ini digunakan untuk mengairi persawahan dan meningkatkan perekonomian di masyarakat pedesaan di Iran.

(ren)