Keren, Mitos Hutan Gilimanuk yang Dipercaya Masyarakat Adat Bali

Hutan
Sumber :
  • Simon Desmarais/Wikimedia

VIVA – Dalam masyarakat adat kawasan hutan lindung Gilimanuk terdapat empat mitos yang diyakini memiliki peranan dalam pelestarian hutan. Mitos tersebut sangat bermanfaat hinggsa saat ini, masyarakat sekitar hutam gilmanuk pun dengan bangga meyakini mitos ini

Empat mitos itu adalah: mitos Pura Bakungan, Pura Tirta Segara Rupek, Pura Dang Kahyangan Dwijendra, dan Jayaprana. Masing?masing mitos itu dapat disimak dalam bagian berikut.

Viva marangkum dari Artikel Putera Manuaba dengan judul penelitian berjudul Mitos, Masyarakat Adat dan Pelestarian Hutan sebagai berikut:

Mitos Pura Bakungan
Mitos Pura Bakungan berkisah tentang dua orang raja yang saling bersaudara, kakak?beradik, yakni Raja Bakungan (adiknya) dan Raja Pecanangan (kakaknya). Kedua raja itu sudah lama tidak bertemu sehingga terjadi selisih paham, disangkanya ada masalah. Kedua raja itu sebenarnya orang baik?baik dan memi? liki tabiat yang baik.

Pada suatu ketika, Raja Bakungan diundang oleh kakaknya ke Pecanangan. Namun, sebelum berangkat ke Peca? nangan, ia sempat berpesan kepada permaisuri dan rakyatnya. Jika kudanya pulang bersimbah darah tanpa dirinya, itu berarti ia sudah meninggal.

Apabila itu terjadi, sang Permaisuri dan seluruh rakyatnya berjanji akan bunuh diri (me­ satya). Sesampainya raja Bakungan di Pecanangan, mungkin kisahnya karena sudah diatur Hyang Maha Kuasa, kudanya lari dan entah di mana mendapatkan darah sehingga badannya bersimbah darah dan kuda itu pulang ke Bakungan.

Kejadian ini membuat permaisuri dan rakyatnya menjalankan satya bunuh diri. Ketika sang raja Bakungan kembali ke Bakungan, mengetahui permaisuri dan rakyatnya meninggal semua, ia pun turut bunuh diri me­satya kepada permaisuri dan rakyatnya.

Karena me­satya inilah kemudian didirikan Pura Bakungan di kawasan hutan Gilimanuk oleh para keturunannya yang masih hidup di Pecanangan. Pura itu kemudian dimitoskan dan dikeramatkan sampai sekarang.

Mitos Pura Tirta Segera Rupek
Dikisahkan bahwa Pakulun Empu Danghyang Siddhi Mantra dari Jawa memiliki seorang putra yang bernama Manik Angkeran (yang dirupakan Naga) yang memiliki ekor ber­ketu. Di Jawa, anaknya ini mempunyai kesenangan berjudi.

Agar tidak berjudi, ayahnya yang bernama Danghyang Siddhi Mantra mengirim anaknya ke Bali untuk belajar kebaikan dan kebijaksanaan pada Batara Basuki (di Pura Besakih).

Di Bali, karena tidak punya uang, anaknya memotong ketu yang berisi manik di ekornya untuk dijual dan uangnya akan digunakan berjudi lagi di Jawa. Namun, sebelum kesampaian untuk pergi ke Jawa, niatnya diketahui oleh Batara Besuki sehingga Manik Angkeran di? pastu jadi debu.

Akan tetapi, maniknya tidak terbakar. Ayahnya mengetahui kejadian itu dan memohon kepada Batara Besuki untuk menghidupkan kembali, apapun taruhannya.

Akhirnya, anaknya dihidupkan kembali oleh Betara Besuki dan ketu kemudian digunakan di kepala sehingga tampak berwibawa. Anaknya dititipkan pada Batara Besuki dan minta dianggap sebagai anak sendiri di Bali. Danghyang Siddhi Mantra kemudian kembali ke Jawa.

Jasa dan kebaikan yang ditinggalkan Danghyang Siddhi Mantra inilah yang kemudian diabadikan menjadi Pura bernama Pura Tirta Segara Rupek. Pura yang ada dikawasan hutan Gilimanuk ini dimitoskan oleh masyarakat adat sehingga orang segan masuk hutan, apalagi melakukan perusakan atas hutan.

Mitos Pura Dang Kahyangan Dwijendra
Mitos Pura Dang Kahyangan Dwijendra berkisah tentang beberapa sulinggih yang datang ke Gilimanuk karena mengetahui bahwa di Perempatan Agung di sekitar kawasan hutan Gilimanuk ada wahyu. Para sulinggih itu melihat ke perempatan agung, dimana tepatnya tempat wahyu itu.

Setelah berkeliling, diketahuilah ada tempat Danghyang Dwijendra ketika beliau beristirahat di hutan Gilimanuk. Ini ada lontarnya yang masih tersimpan dan dibawa oleh mantan petugas taman nasional yang sekarang tinggal di Klungkung.

Maka, di tempat itulah kemudian didirikan Pura, yang diberi nama Pura Dang Kahyangan Dwijendra. Pura yang telah berdiri itu sampai sekarang diyakini mitosnya. Dengan adanya Pura, kawasan tersebut dianggap angker sehingga orang yang mau masuk ke hutan Gilimanuk akan berpikir dulu, apalagi untuk merusak hutan.

Mitos Jayaprana
Mitos Jayaprana yang lebih berupa legenda berkisah tentang seorang anak angkat kesayangan raja Kalianget Buleleng yang disiasati dan dibunuh oleh Sawunggaling atas perintah raja. Jayaprana dibunuh karena raja Kalianget menginginkan istrinya yang cantik jelita.

Atas keinginannya itu, diutuslah Jayaprana ke Teluk Terima atas dalih ada musuh yang mengancam wilayah kerajaan Kalianget, tempat Jayaprana mengabdi. Jayaprana sebenarnya adalah anak angkat kesayangan raja, namun karena ia punya istri yang cantik bernama Layonsari, maka akhirnya Jayaprana disingkirkan oleh raja.

Budi baik Jayaprana dan pengabdiannya yang luar biasa kepada raja ini?ah yang dipercaya masyarakat kawasan hutan sebagai mitos yang diyakini sampai sekarang. Jayaprana yang tampan ju? ga diyakini pernah hidup karena memang ada makamnya di Teluk Terima dan semua orang (tanpa membedakan kasta) memujanya sampai sekarang.

Makam itu terletak di tengah hutan belantara yang berbukit dan siapapun yang hendak bersembahyang tidak pernah dibolehkan mengganggu hutan. Oleh karena itu, sampai sekarang orang datang ke makam itu hanya untuk bersembahyang, memuja keluhuran budinya.

Masyarakat yang datang ke sana sama sekali tidak ada yang berani mengganggu hutan karena yakin akan membawa akibat buruk jika mengganggu hutan. Jayaprana diyakini sebagai mitos yang mengandung kebaikan. Jayaprana menjadi teladan kebaikan.

Nah, itu mitos yang terdapat di hutan Gilimanuk hingga sekarang dan menjadi bagian dari kepercayaan adat istiadatnya.