Biaya Visa ke Australia Bagi Turis Indonesia Diminta Lebih Murah
- abc
Peraturan visa yang terlalu ketat bagi warga Indonesia untuk mengunjungi Australia tidak mencerminkan kebijakan pemerintah Australia yang melihat pentingnya hubungan bilateral antar kedua negara.
Hal tersebut dikatakan oleh Ross Taylor, Presiden Indonesia Institute di Perth yang mendesak pemerintah Australia berpikir kembali mengenai kebijakan pemberian visa karena potensi turis dari Indonesia yang semakin besar.
Menurutnya, pejabat dan politisi Australia, termasuk Perdana Menteri Malcolm Turnbull, mengakui negaranya membutuhkan Indonesia untuk hubungan perdagangan, tapi juga di bidang keamanan.
Namun, Ross menyayangkan pengakuan ini tidak dibuktikan dalam kebijakan aturan kunjungan warga Indonesia ke Australia.
"Kita tidak bisa mengatakan ingin memiliki hubungan yang lebih serius mendalam, tapi di satu sisi kita berbalik arah... dan mengatakan, "sebenarnya kita tak ingin terlalu banyak warga kamu (Indonesia) datang kesini", inilah yang saya sebut sebagai paradoks dalam hubungan kita.
Pengurusan visa turis perlu dipermudah
Jika dibandingkan dengan beberapa negara, seperti Jepang dan baru-baru ini India, yang membebaskan biaya e-Visanya, Ross mengatakan persyaratan visa kunjungan ke Australia terlampau sulit bagi Indonesia sebagai negara tetangga terdekatnya.
Saat ini warga negara Indonesia yang hendak mengajukan visa turis Australia perlu membayar AU$140, atau lebih dari Rp 1,5 juta.
Biaya ini tidak dapat dikembalikan jika seandainya permohonan visa ditolak.
Ada pula sejumlah persyaratan lain yang juga perlu dipenuhi, seperti menunjukkan rekening bank sebagai bukti memiliki dana selama berada di Australia, atau dokumen pendukung dari tempat kerja.
Foto: Flickr CC, Jorge Castro Ruso
Komang Arianti, seorang praktisi strategi komunikasi mengaku jika mengurus visa Australia perlu mengisi formulir hingga berlembar-lembar.
"Seingat saya, paperwork [dokumen] lebih banyak dibandingkan saat saya mengurus visa Amerika Serikat atau Schengen [visa ke sejumlah negara Eropa], karena saya tidak banyak waktu saya mengurus lewat agen," ujar Komang yang kini bekerja di sebuah lembaga non-profit di Jakarta.
Menurutnya dengan harga visa yang lebih murah, berlibur ke Jepang atau Korea Selatan atau kawasan Asia lainnya lebih menjadi pilihan.
"Kalau sedang ada promo tiket pesawat, lebih murah ke Hong Kong misalnya. Yang terdekat dan termurah kalau mau ke Australia adalah ke Darwin, tapi mau ngapain di Darwin?"
Foto: Koleksi pribadi
Komang sebelumnya tidak punya ketertarikan untuk berkunjung ke Australia dan mengaku sebenarnya lebih memilih ke Eropa untuk liburan ke negara barat.
"Melihat wacana hubungan Indonesia dan Australia yang lebih banyak terdengar negatif, seperti soal rasisme," katanya saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC di Melbourne.
"Tetapi setelah sampai di Tasmania ternyata orang-orangnya ramah dan sangat membantu," tambahnya.
Menurut Komang yang sudah sering berlibur ke luar negeri sangat disayangkan karena Australia kehilangan peluang mengambil pangsa anak muda yang gemar traveling.
"Anak-anak muda kita sudah jago berbahasa Inggris, aktif di Instagram, dan secara budaya banyak kesamaan dengan Australia dibandingkan dengan Amerika Serikat," tambahnya.
"Tapi pengaruh Australia sangat kalah dengan Amerika Serikat dan sekarang ini Korea Selatan, padahal Australia lebih dekat lokasinya dengan kita tapi kehilangan kesempatan itu.
Nilai kunjungan turis Indonesia ke Australia
Foto: Flickr CC, Sacha Fernandez
Dari data resmi badan pariwisata Australia, Tourism Australia, disebutkan jumlah kunjungan warga Indonesia hingga akhir Juni 2017 adalah 193.800.
Jumlah ini menjadikan Indonesia berada di peringkat 12 pangsa pasar kunjungan bagi Australia.
Tapi dengan jumlah kurang dari 200 juta, nilai belanja dari pengunjung Indonesia mencapai lebih dari AU$ 700 juta, atau lebih dari Rp 7 triliun.
ABC Indonesia telah menghubungi Departemen Dalam Negeri Australia untuk meminta tanggapan soal peraturan pengajuan visa turis bagi warga Indonesia yang dianggap sulit dan berbiaya tinggi.
"Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan turis. Sebagai catatan, pangsa turis terbesar Australia saat ini, yakni China dan India, juga menggunakan visa kunjungan yang sama seperti bagi Indonesia," tambah juru bicara tersebut.
Menurut Ross kebijakan pemberian visa melalui proses yang kurang sederhana dan biaya mahal didorong oleh Departemen Dalam Negeri Australia untuk mengendalikan jumlah warga Indonesia yang datang, karena adanya kekhawatiran masalah pencari suaka dan migrasi ilegal.
"Tapi jika kita lihat catatannya, para pelancong asal Indonesia ke Australia tunduk patuh terhadap aturan visa yang dikantonginya," ujarnya.
Foto: Detik.com, Fitraya
Pariwisata berpotensi hilangkan kecurigaan
Ross merasa salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk membuktikan pentingnya Indonesia bagi Australia adalah dengan memperkenalkan biaya visa yang lebih murah dan proses yang lebih mudah.
"Kemudahan proses dan murahnya biaya visa bagi Indonesia juga akan membawa lebih banyak manfaat ekonomi bagi Australia," kata Ross.
Ia juga menambahkan sektor pariwisata menjadi cara terbaik untuk menjalin hubungan yang lebih intim untuk memberikan kesempatan bagi warga Indonesia datang dan melihat langsung Australia sehingga bisa mengenal lebih baik.
"Ada kesalahpahaman dan ketidaktahuan, serta kecurigaan dari warga Australia, akan lebih baik jika membawa ratusan warga Indonesia untuk berkunjung ke Australia, sehingga kita bisa mengenal mereka lebih baik dan mereka juga bisa melihat seperti apa sebenarnya negara kita."
Saat ini warga Australia yang hendak ke berlibur ke Indonesia telah dibebaskan dari biaya visa kedatangan atau "visa on arrival".
Menurut Ross pemerintah Indonesia bukannya kehilangan pendapatan dari pembebasan visa, jumlah turis Australia justru meningkat lebih dari 16 persen di tahun 2016 dan menambah AU$145 juta, atau lebih dari Rp 1.5 triliun rupiah bagi perekonomian Indonesia.
"Ini menjadi bukti apa yang bisa dicapai Australia, jika mengurangi halangan dan mengajak lebih banyak warga Indonesia untuk berlibur ke Australia."