Menyoal Istilah Supermom

Ilustrasi Supermom
Sumber :
  • pixabay/freeimages

VIVA.co.id – Banyak orang bilang, saya adalah sosok supermom, yang bisa melakukan banyak kegiatan dalam satu waktu.

Saya Aulia (33). Saya ibu dari dua orang putri cantik Alesha (8) dan Sheena (3). Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta sebagai sales manager. Kantor saya kebetulan memberikan saya kesempatan untuk bekerja dengan waktu yang fleksibel, meski load pekerjaan seperti pekerja full time tapi tempat dan waktu mengerjakannya bisa saya atur sendiri.

Kegiatan saya sehari-hari adalah menyiapkan keperluan suami dan anak setiap pagi sebelum mengantar anak-anak ke sekolah dan ke rumah mertua untuk si kecil. Setelah itu, saya ke kantor.

Pada jam pulang sekolah, kalau saya kebetulan di luar kantor setelah ketemu klien, saya sempatkan menjemput si kakak dan mengantarnya ke rumah ibu mertua, setelah itu kembali ke kantor.

Lalu lanjut kerja di malam hari setelah anak-anak tidur. Sesekali ketiduran bareng anak-anak.

Banyak orang bilang, saya adalah sosok supermom, yang bisa melakukan banyak kegiatan dalam satu waktu. Tapi bekerja ambil mengurus rumah tangga  tentunya banyak konsekuensinya, sebagaimana halnya semua pilihan yang kita ambil.

Apakah saya termasuk kategori supermom? Seperti apa sih, kriterianya? Dari list yang baca tentang kriteria supermom banyak yang belum terpenuhi tersebut apakah saya cocok disebut Supermom?

***

Konsep supermom seringkali kita dengar. Julukan ini seringkali disematkan pada ibu yang bekerja di luar rumah sambil mengurus rumah tangga.

Supermom dianggap sebagai sesuatu yang 'luar biasa'. Perempuan mapan, serba bisa, multitasking. Semua perempuan yang dianggap serba bisa.

Becky Kopitzke dalam bukunya Supermom Myth, menggambarkan sosok supermom adalah seorang ibu bekerja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik. Dalam bukunya,  penulis, blogger, sekaligus ahli parenting ini mencirikan julukan supermom sebagai berikut:

Supermom dapat menyelesaikan berbagai hal

Salah satu ciri pertama supermom adalah ibu yang bisa menyelesaikan berbagai masalah yang menjadi tanggung jawabnya misalnya pekerjaan rumah tangga, atau proyek di tempat kerja hingga urusan-urusan keluarga. Supermom juga bisa mendeteksi setiap permasalahan yang ada di sekitarnya.

Supermom dapat menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan

Memiliki karier dan bekerja di luar rumah. Supermom memiliki kualitas untuk bisa menyeimbangkan antara kepentingan keluarga dan pekerjaannya.

Supermom tidak bisa menghilangkan ambisi mereka dalam pekerjaan, namun di satu sisi juga mampu menjadi ibu bagi anaknya, dan tanggung jawab seorang istri bagi suaminya.

Supermom dapat memengaruhi permasalahan keluarga dan dapat mengambil keputusan

Supermom mampu memilah milah pertengkaran antara anak-anak dan ayah mereka, sekaligus menengahi kala terjadi konflik. Supermom selalu dapat menemukan solusi di tengah permasalahan. Yang terpenting, kini tidak hanya ayah saja yang bisa mengambil keputusan, namun supermom juga bisa dengan mudah melakukannya.

Tidak pesimis

Apapun masalah yang dihadapinya dan keluarga, supermom selalu optimis. Perannya adalah memberikan pengaruh dan kekuatan untuk seluruh anggota keluarga.

Dapat bertindak tegas dan tahu batasan

Supermom harus dapat bertindak tegas dan ketat dalam menentukan batasan yang diterapkan untuk anaknya. Supermom mampu mengatakan 'tidak' untuk anak-anak mereka.

Mungkin tidak semua ibu mampu memenuhi kriteria di atas. Setiap orang pun memiliki kriteria tersendiri soal supermom.

Ina (32) salah satunya. Ibu muda yang bekerja di salah satu perusahaan swasta ini menganggap bahwa supermom tidak melulu berstatus ibu bekerja.

"Menurut saya supermom tidak harus seorang wanita bekerja, karena saat ini banyak stay at home mom yang juga berwirausaha dan menghasilkan namun tetap sukses jadi istri dan ibu yang super, " ujarnya kepada VIVA.co.id.

Menurutnya supermom adalah seorang wanita yang dapat memerankan perannya sebagai istri sekaligus ibu dengan sangat baik di keluarganya.

"Dia istri yang baik untuk suaminya, mendidik (menjadi madrasah pertama) anak-anaknya dengan sangat baik, sekaligus mengurus atau mengatur semua kebutuhan rumahnya dengan sangat baik sehingga keluarga tersebut berjalan degan harmonis dan bahagia," ujarnya.

Apakah semua ibu harus menjadi supermom?

***

Banyak kaum ibu yang merasa harus jadi ibu super alias supermom. Padahal, tidak mungkin seluruh urusan rumah tangga bisa diselesaikan sendiri oleh seorang wanita terlebih wanita bekerja.

Di satu sisi menjadi supermom, adalah sesuatu yang tak bisa terelakkan. Akhirnya menjadi supermom dianggap suatu kebutuhan yang harus dilakukan ketika  berkeluarga. Maka dengan 'peran' ganda yang dipikul (ibu, istri, menantu, dan pegawai), mau tak mau seorang wanita dituntut menjadi supermom.

Adakalanya menjalani peran sebagai ibu dan pegawai kantoran sekaligus pun bisa chaos. Pengalaman ibu dua anak, Aulia, misalnya.

"Dari banyak hal yang saya sepakati bersama suami soal mendidik anak, adakalanya saya mengaku kalau saya terkadang membiarkan Alesha bermain gadget seharian demi menenangkan tanrumnya, karena saya sudah kelewat pusing. Atau ketika Sheena sakit, janji yang saya ucapkan dulu untuk tidak memberikan anak antibiotik ya saya langgar juga," ujar Aulia kepada VIVA.co.id.

Tak hanya Aulia, di antara situasi yang kompleks, Ary (31) seorang full time mom justru menganggap supermom hanyalah mitos belaka.

"Buat saya, supermom dan superwoman mah cuma ada di komik-komik. Semua ibu adalah supermom dan superwoman untuk keluarganya. Tidak ada bedanya ibu bekerja atau ibu rumah tangga, semua ibu adalah ibu yang terbaik untuk keluarganya," ujarnya.
 
Menurutnya selama ini orang banyak terpaku dengan konsep supermom sehingga seringkali lupa dengan hal-hal yang essensial seperti hubungan batin antara dirinya sendiri, dengan anaknya dan suami.
 
"Selama tidak membebani atau memaksakan diri. Jadilah diri sendiri, jangan terpaku supermom harus seperti ini itu, superwoman harus ini dan itu. Stres sendiri lah. Realistis aja, mana yang baik diikuti, yang enggak cocok ya enggak usah," ungkap ibu dua anak ini.

Berdasarkan survei yang dilakukan American Psychological Association (APA) pada 2010, angka stres lebih banyak dilaporkan oleh kaum wanita yang berstatus menikah (56 persen versus 41 persen wanita single). Jumlah tersebut terus meningkat selama 5 tahun belakangan.

"Menjalankan banyak 'peran' dalam rumah tangga dan lingkungan menjadi penentu tingkat stres seorang ibu. Terlebih lagi cara ibu mengatasi stres juga berpengaruh karena ibu cenderung dijadikan role model untuk urusan sikap dan penataan emosi. Seluruh anggota keluarga akan meniru sikap dan perilaku 'tak sehat' sang ibu," ujar Psikolog Lynn Bufka, PhD seperti dilansir dari laman APA.org.

Psikolog Anak Annelia Sari Sani, menyarankan untuk tidak memaksakan diri di luar kemampuan menjadi supermom.

"Lingkungan tidak menuntut kita jadi superwoman, tapi kita sendiri yang menuntut diri kita jadi superwoman. Kita harus bikin prioritas, kalau kita dipekerjakan karena kompetensi tertentu, kerjakanlah apa yang menjadi kompetensi kita. Jangan mengerjakan di luar kompetensi kita," ujarnya saat ditemui VIVA.co.id.

Terutama para ibu bekerja, kata Annelia, harus mempertanyakan lagi tujuannya bekerja.

"Kita bekerja untuk siapa? Buat anak, keluarga, untuk pengembangan pribadi. Kalau buat anak, tapi dalam prosesnya kita mengabaikan si anak, apa gunanya? Sehingga orangtua kalau mau punya anak harus mau capek, harus mau berkorban," ujarnya.

***

Perempuan dulu dan sekarang

Jika ditarik garis ke belakang, ada perbedaan mencolok mengenai konsep dan peran ibu dalam masyarakat. Dulu kaum ibu hanya mengurusi masalah rumah tangga saja, daripada terjun dalam masyarakat (bekerja).

Sigit Rochadi, Sosiolog Universitas Nasional (UNAS) menggambarkan bahwa kondisi tersebut terjadi salah satunya akibat perkembangan ekonomi.

"Ketika ekonomi didominasi sektor pertanian, umumnya perempuan bekerja di rumah (domestik). Semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab perempuan, ada konsep 3 ur (dapur – memasak, sumur – mencuci, kasur – menjalankan tugas sebagai istri)," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Namun seiring  berkembangnya perekonomian dan industri, banyak perempuan yang bekerja pada sektor ini, sehingga memunculkan konsep wanita karier di sektor industri.

"Semakin banyak perempuan yang mampu mengembangkan potensinya. Posisi perempuan tidak sepenuhnya subordinat laki-laki. Perempuan memiliki keberanian menuntut hak-haknya. Ada gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di masyarakat."  
 
Konsep superwoman muncul ketika perekonomian bergeser ke sektor jasa yang ramah terhadap perempuan seperti perbankan, perkreditan, guru, pengacara dan sebagainya, konsep wanita karier sudah jarang digunakan. Berkat perjuangan perempuan, banyak perempuan yang memiliki pendapatan besar dan memberi konstribusi terhadap ekonomi rumah tangga.

"Karier perempuan dan pendapatannya mendorongnya menjadi perempuan mandiri yang mampu membiayai ekonomi rumah tangga. Sebagai padanannya, jika perempuan karier sukses berperan sebagai ibu dan punya konstribusi besar dalam rumah tangga, khususnya mengambil keputusan-keputusan penting di rumah tangga, maka mereka juga mendapat predikat supermom."