Psikolog: Kasus Pembunuhan dan Pemerkosaan oleh Anak-anak Tunjukkan Indonesia Krisis Moral

Ilustrasi pemerkosaan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Jakarta, VIVA – Beberapa pekan lalu, publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di bawah umur. Kasus kekerasan seksual diketahui sempat dialami oleh serang gadis penjual gorengan di Sumatera Barat.

Tak hanya diperkosa, gadis berinisial NKS ini juga ditemukan tewas mengenaskan dengan keadaan tanpa busana pada 8 September 2024 lalu. Gadis yang diketahui baru lulus SMA itu dinyatakan hilang sejak 6 September 2024 lalu. Pihak kepolisian juga diketahui telah menetapkan satu tersangka yakni pria berinisial IS yang masih buron.

IS sendiri diketahui memiliki rekam jejak kriminal berat. Mulai dari narkoba hingga pencabulan. Bahkan dia juga pernah ditahan di Lembaga Permasyarakatan Anak di Solok akibat tersandung kasus pencabulan.

Sebelumnya pada akhir Agustus lalu, publik juga dikejutkan dengan kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP berinisial AA di TPU Tionghoa di Palembang pada 31 Agustus 2024 lalu. Mirisnya, pelaku dari pemerkosaan dan pembunuhan tersebut adalah empat orang anak di bawah umur, yakni IS berusia 16 tahun merupakan pelaku utama, MZ 13 tahun, MS 12 tahun, dan AS 12 tahun.

Melihat kondisi seperti ini, apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat? Psikolog klinis, Meity Arianty bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami krisis moral.

"Saat ini bangsa kita mengalami krisis moral. Penguasa mempertontonkan ketidakadilan, hidup foya-foya di atas penderitaan rakyat, ekonomi makin susah. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah rendah, pembullyan merajalela dimana-mana sehingga kejahatan pun tidak pandang bulu di depan mata dan nyawa manusia seolah tidak ada harganya," kata dia saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu 18 September 2024.

Lebih lanjut, diungkap oleh Meity bahwa ketika sebuah negara memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi seperti kasus bullying yang merajalela, kejahatan hingga pembunuhan sering terjadi. Maka kata dia, negara tersebut gagal mensejahterahkan rakyatnya.

"Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya jadi korban kejahatan atau jadi pelaku kejahatan. Tapi semua yang terjadi saat ini adalah akumulasi dari 'masalah' yang terjadi di dalam keluarga dengan gagalnya pemerintah dalam memberantas kejahatan," kata dia.

Meity juga menyoroti tentang aturan hukuman di Indonesia. Dia menyebut beberapa kasus kriminal seperti pemerkosaan, perundungan bahkan hingga korupsi yang dinilai tidak memberikan efek jera.

"Berapa tahun hukuman pelaku pemerkosaan? pelaku bulliying atau korupsi ? Sama sekali tidak membuat efek jera, jadi jangan berharap tingkat kriminal menurun jika pemerintahnya tidak tegas dalam menerapkan aturan terhadap pelaku kejahatan," ujar dia. 

Dia juga mengungkap bahwa apa yang tindakan negatif hingga berujung pada tindakan kriminal sendiri didasari sejumlah faktor seperti faktor kondisi sosial yang ada di masyarakat hingga faktor komunikasi di dalam keluarga.

"Anak-anak zaman sekarang melakukan tindakan dari apa yang mereka lihat di sosial media, di tambah kurangnya komunikasi dalam keluarga dan pemerintah yang kurang tegas dalam menindak pelaku kejahatan, semua saling berkaitan. Gencarnya gempuran sosial media menghantam pikiran generasi sekarang sementara kemampuan generasi saat ini kurang dapat memfilter informasi yang masuk, akibatnya kebablasan," kata dia.

Meity juga berharap pemerintah mulai menindak tegas terhadap pelaku tindak kejahatan. Dia menilai khusus untuk kasus pemerkosaan harus ada hukuman yang memberatkan pelaku. Sebab, ada dampak signifikan dari pemerkosaan tersebut terhadap korban.

"Seandainya pemerintah memikirkan rakyatnya dan tahu apa yg diperlukan oleh rakyatnya, tentu tingkat kriminal di Indonesia akan teratasi. Buat hukuman berat bagi pelaku kejahatan dan pemerkosa jangan diberi ampun sebab dampak psikologis korbannya gak bisa di bayar dengan apapun. Jadi semua akar masalah kejahatan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari peran pemerintahnya," kata dia.