Miris, Di Maluku Kental Manis Masih Dijadikan Susu untuk Anak
- Freepik/azerbaijan_stockers
Maluku, VIVA – Husna (30 th), warga Kampung Baru, Negeri Laha, Kota Ambon tergopoh menemui Ketua Majelis Kesehatan Muslimat NU, Erna Yulia Sofihara yang sore itu berkunjung bersama rombongan dari pimpinan pusat maupun pimpinan wilayah Muslimat NU. Saat itu, ia sedang menemani anaknya bermain di lingkungan sekitar rumah.
“Saya baru saja selesai suapi anak, kalau makan maunya sambil main,” ujar Husna sambil menyalami satu-persatu perwakilan Muslimat NU. Sebelah tangannya menggendong seorang anak perempuan berusia sekitar 1,5 tahun. Sang anak tampak sedang mengunyah sesuatu, jemarinya menggenggam permen warna warni.
Melakukan edukasi langsung ke masyarakat yang memiliki anak atau anggota keluarga yang terindikasi stunting ataupun gizi buruk adalah agenda rutin PP Muslimat NU beberapa tahun terakhir. Seperti yang dilakukan di Kota Ambon, pada pertengahan Juli lalu misalnya, organisasi perempuan di bawah naungan Nahdlatul Ulama ini menemui sejumlah keluarga untuk menggali kebiasaan makan anak dan sekaligus mengedukasi orang tua mengenai makanan bergizi. Keluarga Husna adalah salah satunya.
Dilihat dari catatan penimbangan berat dan tinggi badan pada buku KIA, putri bungsu Husna ini tidak termasuk kategori stunting ataupun gizi buruk. Hanya saja untuk anak seusianya, berat badannya masuk dalam kategori kurang.
Dari penuturan Husna, putrinya termasuk anak yang tidak susah makan, semua yang dihidangkan di lahapnya. “Anak saya suka sayur, semua lauk juga suka, kita juga sering makan ikan. Kadang-kadang saya belikan susu yang kotak (UHT) rasa strawberry atau coklat. Kalau jajannya sehari-hari paling cuma permen-permen ini,” beber Husna sambil menunjuk permen warna warni dalam genggaman anaknya.
Lain lagi cerita yang dibagikan Fauziah (40 tahun). Ibu 5 orang anak ini mengaku anak bungsunya yang berusia 2 tahun susah makan sehingga badannya kurus. Berdasarkan pendataan kader posyandu setempat, sang anak termasuk kategori stunting. Selain itu, pada kaki dan tangannya juga terdapat korengan
“Makannya susah, tapi minum susunya banyak, pagi ke siang 3 botol, malam juga 3 botol,” ujarnya sambil menunjukkan botol susu ukuran 240 ml. Fauziah mengaku jika tidak di kasih susu, sang anak akan mengamuk dan tantrum.
“Satu botol saya kasih 1 sachet, jadi sehari saya biasanya beli 6 sachet susu kental manis,” lanjut Fauziah. Ditanya perihal awal mula kebiasaan konsumsi kental manis anaknya, Fauziah mengaku sejak sang anak berusia 1 tahun. “Awalnya dia minta susu kakaknya, karena kakaknya memang minum kental manis, sampai sekarang keterusan,” ujarnya lagi.
Fauziah mengatakan ia pernah mendengar bahwa kental manis bukan susu yang baik untuk anak. Tapi ia tidak tahu kenapa susu tersebut tidak baik untuk anak. “Kalau di warung sini ya kalau mau cari susu adanya susu kental manis ini,” ujarnya lagi.
Stunting di Maluku Naik
PJ Gubernur Maluku, Sadili Le mengatakan stunting di wilayahnya adalah persoalan serius. Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting provinsi Maluku tahun 2022 adalah 26,1 persen. Namun angka tersebut naik menjadi 28,4% berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023.
“Stunting di Maluku sebelumnya 26 persen, tapi tahun ini menjadi 28 persen,” ujar Sadili Ie saat ditemui di kantornya pada Senin (14/7).
Oleh karena itu, ia berharap pengentasan stunting di Maluku, harus di mulai sejak dini. Ia mengakui, salah satu penyebab stunting dan permasalahan gizi tersebut adalah kesalahan asupan makanan, baik oleh anak-anak, remaja hingga dewasa. Termasuk kebiasaan konsumsi kental manis yang masih diberikan sebagai minuman susu untuk anak.
“Termasuk kebiasaan menjadikan kental manis sebagai susu, ini juga dapat menjadi penyebab stunting. Memang ini informasi baru, justru karena itu harus disosialisasikan,” tegas Sadili Ie. Untuk itu ia juga meminta organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk menangani hal ini.
Persoalan kesalahan penggunaan kental manis sudah mengemuka sejak tahun 2018 yang lalu, bermula dari seorang bayi berusia 9 bulan meninggal akibat gizi buruk. Pihak keluarga mengakui, sang bayi mengonsumsi kental manis sejak usia dua bulan. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, sejumlah media melaporkan temuan balita dengan gangguan gizi dan kesehatan karena konsumsi kental manis sebagai minuman susu.
Pengaturan mengenai konsumsi, label dan promosi kental manis akhirnya diatur melalui Peraturan BPOM NO 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Melalui regulasi tersebut, BPOM melarang penggunaan kental manis sebagai pengganti susu dan sumber gizi serta larangan penggunaan visual anak di bawah 5 tahun untuk label maupun iklan promosinya.
Terbaru, BPOM juga mengesahkan Peraturan BPOM No. 26 tahun 2021 yang mengatur tentang perubahan takaran saji. Sebelumnya, pada label kemasan per takaran saji kental manis adalah sekitar 48 gr. Dalam peraturan terbaru, BPOM mengurangi menjadi 15 – 30 gr. Namun, sosialisasi mengenai peraturan ini dinilai tidak optimal. Akibatnya, hingga saat ini masih banyak ditemukan kesalahan konsumsi kental manis yang dijadikan sebagai minuman susu untuk anak.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan, dr. Lovely Daisy, M. K. M. mengakui salah konsumsi kental manis masih menjadi pekerjaan rumah karena kesalahan pola pikir di masyarakat sejak lama. Padahal, kental manis perlu memiliki kandungan gula yang tinggi dan tidak tepat menjadi asupan gizi anak di masa pertumbuhan.
“Masyarakat sering salah mengartikan kental manis sebagai pengganti susu. Padahal isinya sebagian besar adalah gula. Ini harus diluruskan. Kental manis bukan sumber protein,” jelas Lovely Daisy. Ia mengakui, sosialisasi penggunaan kental manis perlu lebih digencarkan lagi. Salah satu metoda yang dapat dioptimalkan adalah penyebaran informasi melalui buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
“Kita sudah punya buku Kesehatan Ibu dan Anak atau bu KIA yang diberikan kepada ibu hamil. Buku KIA berisi informasi tentang Kesehatan ibu hamil sampai anak berusia 6 tahun. Di dalamnya juga ada informasi tentang makanan balita sejak usia 6 bulan sebagai pendamping ASI,” ujar dr. Lovely Daisy.