Hari Anak Nasional: Mirisnya Potret Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia

Ilustrasi aksi bullying atau penganiayaan, kekerasan anak
Sumber :
  • www.pixabay.com/bykst

JAKARTA  – Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli tiap tahunnya, diharapkan menjadi momen memperbaiki jaminan keamanan untuk anak-anak di Indonesia. Bukan tanpa sebab, anak-anak yang akan menjadi penerus bangsa di kemudian hari ternyata masih belum mendapatkan rasa aman.

Hal ini terlihat dari banyaknya angka kasus kekerasan seperti bullying ataupun kekerasan seksual yang dialami oleh mereka. Tingginya kasus ini membuat Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengungkap, kasus anak korban perundungan di satuan pendidikan berdasarkan data aduan ke KPAI, kata Jasra di tahun 2023 mencapai 137 kasus. 

Sementara untuk kasus kekerasan fisik dan psikis yang dilaporkan pada 2023 lalu tercatat sebanyak 411 kasus, sementara kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2023 mencapai 762 kasus yang diadukan ke KPAI. 

Lantas apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi angka kekerasan pada anak-anak di Indonesia? Jasra sendiri mengungkap ada empat poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. 

Penegakan Hukum

Pertama kata Jasra pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. Sebagai contoh, Jasra mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dialami anak panti asuhan oleh pengurus panti di Belitung. 

Korban tersebut kata Jasra bersama dengan rekannya melapor ke salah satu Polsek di Belitung terkait insiden yang dialaminya. Namun naasnya, korban yang melapor malah mendapat pelecehan seksual dari oknum polisi tempat dia mengadu. 

“Ini sangat menyedihkan, menjelang Hari Anak Nasional dimana anak ini melaporkan atas peristiwa yang melaporkan diduga kekerasan seksual oleh pengelola panti asuhan, lalu bersama temannya pergi ke salah satu Polsek Belitung melaporkan mereka alami kekerasan seksual. Tapi dari informasi polisi yang melakukan ini sudah ditahan. Terkait penegakan hukum ini jadi persoalan besar bagi kita di mana tempatnya yang aman dan nyaman untuk anak melapor dan memberanikan diri tentang apa yang dialami tapi justru mengalami peristiwa yang mengenaskan kalau polisi ini melakukan dugaan kekerasan seksual,” katanya.

Pemulihan

Pekerjaan rumah kedua terkait dengan kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak di Indonesia yakni terkait dengan proses pemulihan. Sudah menjadi kewajiban negara bisa memastikan korban bisa benar-benar pulih dan kembali ke masyarakat dalam keadaan baik-baik saja usai mendapatkan kekerasan. 

“Ini PR panjang masing-masing anak tentu memiliki situasi yang beragam terkait kekerasan yang dialami ada 6 bulan selesai atau mungkin bertahun-tahun tidak selesai karena butuh pendampingan yang cukup panjang termasuk  juga misalnya anak mengalami penyakit dari kekerasan seksual yang dialami ini butuhkan pengobatan dari sisi kesehatan yang tuntas,” kata dia.

Dukungan

Ilustrasi kekerasan pada anak

Photo :
  • Pixabay/Gerd Altmann

Pekerjaan rumah ketiga terkait dengan masalah kekerasan anak di Indonesia, adakah dukungan lingkungan terutama keluarga. Jasra mengungkap KPAI berharap keluarga bisa memberikan dukungan yang kuat termasuk masyarakat tidak melalukan stigma termasuk lingkungan sekolah. 

“Dukungan ini upaya kita untuk mempercepat proses rehabilitasi untuk anak-anak korban kekerasan,” kata dia.

Sementara itu, terkait dengan upaya pencegahan, kekerasan terhadap anak justru semakin marak di kemudian hari. Jasra menilai perlu adanya kepedulian dari pihak keluarga atau bahkan tetangga korban. Sebab kata Jasra banyak kasus-kasus kekerasan pada anak merupakan kasus lama yang terjadi, bukan sehari dua hari terjadi dan pelakunya paling banyak adalah orang-orang terdekat. Mulai dari keluarga, keluarga besar, lingkungan tetangga, satuan pendidikan, itu orang-orang yang dikenal, tokoh-tokoh yang cukup dikenal.

“Tentu posisi-posisi kerentanan ini harus ada yang mengingatkan, mengawasi  kita berharap keluarga. Tapi ketika keluarga jadi pelaku kan ada skema lain misalnya lingkungan RT/RW yang terlatih ada seksi perlindungan khusus tentang anak di sana, bisa merespon dan menjangkau cepat mengamankan anak agar tidak terjadi kekerasan berulang,” ujarnya. 

Jasra mengungkap pihaknya berharap mekanisme kabupaten/kota layak anak bisa jalan setiap saat bukan hanya sekedar Hari Anak jalannya atau sekadar apresiasi penghargaan kabupaten/kota layak anak saja. Sebab kata Jasra kebutuhan anak setiap hari, bahkan negara punya tanggung jawab sampai anak 18 tahun. 

“Saya kira mekanisme sistem perlindungan anak harus hidup setiap saat, di sistem itu ada keluarga, orang tua, ada pemerintah, pemerintah daerah ada masyarakat. Masyarakat itu ada pengusaha, lembaga perlindungan anak, media, komunitas perlindungan anak yang harus bergerak bersama melihat kekerasan terhadap anak ini kejahatan yang serius terhadap anak. Sehingga UU khusus terkait melihat hulu hilir,” ujarnya. 

Kemudian kata Jasra penting juga layanan kasus dibuat menjadi tempat berlindung paling aman bagi anak-anak kedua setelah tercerabut dari keluarga. 

“Ini tempat layanan pengaduan kasus harus dipastikan petugasnya profesional, tempat pengaduan yang ramah bagi anak. Kemudian soal kepastian ruang-ruang pengaduan bisa menyelesaikan permasalahan anak. Saya kira tentu KPAI berharap ini jadi evaluasi bersama karena bicara perlindungan anak tidak bisa satu sektor saja, multisektor, sehingga anak-anak kita dimanapun berada responnya sama pengawasan sama dan termasuk jika terjadi kekerasan penyelesaiannya sama,” jelasnya.