Kasus Kekerasan di Satuan Pendidikan Meningkat, KPAI Ungkap Penyebab Utamanya

Ilustrasi Bullying
Sumber :
  • Freepik

JAKARTA – Angka kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengalami peningkatan setiap bulannya. Tercatat dari Januari hingga Agustus 2023, angka kasus pelanggaran terhadap anak mencapai 2.355 kasus.

Dari data itu, diketahui 723 kasus substansi kekerasan berhubungan erat dengan satuan pendidikan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Aries Adi Leksono menjelaskan, anak sebagai korban bullying atau perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, dan anak korban kekerasan seksual 487 kasus. Scroll untuk informasi selengkapnya.

"Sisanya adalah data pelanggaran terhadap perlindungan anak misalnya menyangkut pengasuhan, terkait hak sipil, terkait kesehatan, dan perlindungan lainnya misalnya korban TPPO, anak korban HIV, eksploitasi dan sebagainya,” kata dia kepada awak media di kantor KPAI, Senin 9 Oktober 2023.

Aries menjelaskan data ini cenderung naik setiap bulannya, sehingga perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menekan penurunan angka kekerasan anak, khususnya di lingkungan satuan pendidikan. 

“Lingkungan pendidikan harus aman dan nyaman untuk anak, sehingga tumbuh kembang anak dapat maksimal. Untuk itu perlu semua pihak turun tangan mengatasi situasi darurat kekerasan pada satuan pendidikan, baik pemerintah pusat dan daerah, keluarga, masyarakat, aparat pemerintah sipil hingga ke RT/RW, pihak satuan pendidikan, termasuk peserta didik,” jelasnya.

KPAI berpandangan beberapa penyebab tingginya angka kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan antara lain karena terjadi learning loss dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masa pandemi COVID-19. Hal ini berdasarkan hasil pengawasan KPAI ke lapangan.

“Kami juga baru saja terkait sekolah ramah anak, hadir di beberapa kegiatan sosialisasi edukasi pencegahan terkait kekerasan di sektor pendidikan rata-rata keluhan guru, kepala sekolah dan sebagian orangtua dan komite merasa kewalahan mengendalikan sikap karakter anak pasca pandemi. Mereka memberi tau anak-anak tidak responsif menerima,” jelas Aries.

Aries menjelaskan, ketika awal masuk usai PJJ, ada beberapa anak yang slow respons dalam konteks merespons pengetahuan yang dia dapat sampai penguatan pendidikan karakter. 

Dia menjelaskan ketika tidak ada proses pembiasaan, tidak ada proses pembudayaan apalagi sampai peneladanan itu tranformasi sikap penguatan karakter anak hingga berujung pembentukan akhlak karakter susah. Sebab kontrol yang terbentur PJJ, tetapi hal ini akan berbeda jika anak tersebut bertemu secara langsung. Maka anak ini bisa dikontrol, dilatih,dibudayakan hingga karakter positifnya kuat. 

ilustrasi kekerasan

Photo :
  • VIVA.co.id/istimewa

“Dalam konteks transformasi penguatan karakter penting liat guru secara langsung, bisa mencontoh guru dan teman secara langsung dan seterusnya sehingga pembudayaan karakter positif berbasis satuan pendidikan bisa dengan sendirinya terbentuk,” jelasnya. 

Selain karena loss Learning, penyebab lainnya adalah pengaruh game online dan media sosial yang masih banyak menyajikan tayangan yang penuh kekerasan dan tidak ramah anak, sehingga karakter, akhlak, serta budi pekerti anak menjadi lemah. 

Selain itu, adanya penyimpangan relasi kuasa antara pendidik dengan peserta didik, sehingga seringkali bentuk kebijakan atau hukuman yang diberikan dapat mengakibatkan kekerasan pada peserta didik. 

Adanya peyalahgunaan relasi kuasa antara peserta didik sesama peserta didik, merasa menjadi kakak kelas, merasa lebih kuat, sehingga mendorong melakukan kekerasan kepada yang adik kelas atau yang lebih lemah.

 Selain itu, masih terselenggara struktur kurikulum dan metode pembelajaran yang menitikberatkan pada capaian target kognitif saja, sehingga pendidikan penguatan karakter kurang mendapatkan perhatian, serta pengawasan yang lemah dari satuan pendidikan serta kontrol kebijakan dan regulasi pada sisi implementasi dari dinas pendidikan. 

Penyebab lainnya adalah anak dengan kontrol diri yang rendah, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, kebijakan sekolah dalam menciptakan rasa aman dan ramah terhadap seluruh siswa dan pengawasan disiplin positif satuan pendidikan yang masih rendah, tak kalah penting penyajian informasi di media massa yang terkadang tidak ramah anak, sehingga anak terdorong untuk mencontoh dan melakukan hal serupa pada satuan pendidikan, akibatnya menurunkan rasa peduli, empati, dan kasih sayang terhadap sesama.