IDAI: 45% Ibu Bekerja Berhenti ASI Eksklusif, Apa Solusinya?

Ibu menyusui.
Sumber :
  • Pixabay

JAKARTA – Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Dukungan tersebut, terutama perlu diberikan kepada kaum wanita yang bekerja. Pasalnya, pemberian ASI oleh ibu pekerja sering mengalami kendala karena keterbatasan waktu dan ketersediaan fasilitas untuk menyusui di tempat kerja.

Seperti diketahui, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang baru lahir. Kandungannya yang spesifik, membuat ASI banyak memberikan manfaat, mulai dari  membantu mengurangi risiko alergi pada bayi, menunjang pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan, hingga dapat menjadi sumber antibodi pada bayi.

Ilustrasi wanita/ibu dan bayi.

Photo :
  • Freepik/senivpetro

Namun sayangnya berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebanyak 45 persen ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan.

Padahal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu dukungan utama yang diperlukan ibu agar tetap dapat memberikan ASI pada bayinya adalah pemberian cuti melahirkan selama 18 minggu atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan. Hal ini diperlukan untuk memastikan ibu bisa menyusui anak secara maksimal.

Saat ini, Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak cuti kepada pekerja selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Tentunya periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.

IDAI menilai, masih tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anak setelah melahirkan disebabkan oleh multifaktor.

"Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja," kata Ketua Satgas ASI IDAI Dr. dr. Naomi Esthernita F Dewanto, SpA(K), kepada media beberapa waktu lalu.

Naomi mengatakan, salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena ibu harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai. Karena itu, perlu dukungan yang besar untuk ibu agar bisa menyusui anaknya secara maksimal, dimana dukungan terbesar diharapkan didapat dari  tempat kerja.

Ilustrasi bayi minum dari botol susu.

Photo :
  • Pixabay/Ben_krckx

Dengan keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal. 

“Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan," ujarnya.

Selain memberikan cuti yang lebih baik, Naomi juga mendorong perusahaan untuk bisa menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.

Dukungan itu tidak hanya waktu atau jeda bekerja untuk memompa ASI, dukungan bisa berupa penyediaan ruangan laktasi untuk menyusui atau untuk memompa ASI. Dukungan fasilitas tersebut, harus bersih, nyaman, aman, dan private untuk ibu.  

Berdasarkan data studi kualitatif terkait implementasi kebijakan ramah menyusui di pabrik, kesuksesan dukungan program laktasi di tempat kerja terutama pabrik di Indonesia memang masih rendah dan hanya mencakup standar penyediaan ruang laktasi minimal tanpa ada dukungan fasilitas pendamping apalagi dukungan program dan promosi laktasi.     

Meskipun demikian, studi narrative review yang dipublikasikan di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) tahun 2022 menunjukkan bahwa dukungan kebijakan ramah laktasi di perkantoran sudah meningkat signifikan, bahkan di beberapa perkantoran multinasional tercatat adanya dukungan cuti melahirkan hingga 6 bulan serta keberadaan konselor laktasi di tempat kerja yang sudah menjadi standar aturan ketenagakerjaan bagi seluruh karyawan. 

Ilustrasi bekerja

Photo :
  • Pixabay

Selain kedua tantangan di atas, tantangan lain adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung bahwa dukungan fasilitas, kebijakan dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan. Hal ini disampaikan oleh praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center, Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK.

“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI Eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray. 

Mengutip expert judgement di editorial The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) edisi 2023, dr. Ray menegaskan bahwa bukti klinis terkait dampak dukungan laktasi terhadap produktivitas pekerja sebenarnya telah tersedia tetapi belum diedukasikan dengan optimal ke perusahaan, sehingga diperlukan suatu pedoman sederhana untuk meyakinkan tempat kerja bahwa investasi laktasi di perusahaan akan memberikan return of investment.

Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).

“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung  ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ucap Direktur Eksekutif APPNIA Poppy Kumala dalam keterangan tertulis di Jakarta.

Anggota APPNIA sendiri terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program untuk memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orangtua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan, bahkan ada yang memberikan sampai selama 6 bulan bagi karyawan perempuan, dan juga cuti bagi ayah.

Ilustrasi Ibu Bekerja

Photo :
  • Pixabay/ Shaila19

Selain itu, penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat di tempat kerja, dukungan nutrisi bagi ibu menyusui, hingga edukasi dan pendampingan tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan, serta beberapa perusahaan anggota APPNIA juga menyediakan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa layanan konsultasi virtual dengan psikolog untuk mendukung karyawan terkait masalah pribadi, psikososial,dan pekerjaan.

Anggota APPNIA telah berkontribusi secara aktif dalam upaya percepatan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan akan terus berkomitmen mendukung upaya peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. 

“Kami sadar bahwa gizi yang baik di awal kehidupan anak akan menciptakan anak Indonesia yang sehat, tangguh, cerdas, serta terbebas dari stunting. Oleh karena itu salah satu bentuk komitmen kami dalam mensukseskan ASI Eksklusif adalah melalui  penyediaan Ruang Laktasi yang memenuhi syarat pada kantor dan pabrik perusahaan anggota APPNIA,” tutur Poppy. 

Harapannya, inisiatif dalam bentuk kebijakan dan program yang telah diterapkan dalam perusahaan anggota APPNIA dapat membantu para karyawan yang sedang hamil dan menyusui agar dapat memberikan ASI eksklusif dengan optimal.

Disampaikan Poppy, perlu kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah, para ahli, sektor swasta maupun masyarakat agar program ASI Eksklusif bisa berjalan maksimal.