Pakar Kecam Aparat Bersenjata Dampingi Remaja Bakar Sekolah di Depan Publik
- ANTARA/Heru Suyitno
TEMANGGUNG – Pemerhati anak mengecam sikap kepolisian yang menggunakan senjata laras panjang yang mendampingi sosok remaja pelaku pembakaran sebuah sekolah. Pakar menilai bahwa sosok remaja 13 tahun itu justru ditampilkan saat konferensi pers yang berisiko memicu masa depannya yang suram kelak.
Anak berinisial R merupakan terduga pelaku yang membakar sekolahnya. Bukan tanpa alasan, R sakit hati lantaran mengalami pembullyan terus menerus dari sesama peserta didik dan juga gurunya.
Bukan dilindungi, R justru ditampilkan oleh pihak kepolisian dalam sebuah konfrensi pers dan secara berlebihan pihak kepolisian juga menempatkan seorang polisi berseragam yang memegang senjata laras panjang.
Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarti menyebut bahwa pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Retno menduga kuat pihak polisi tidak memahami UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan tidak paham Konvensi Hak Anak terutama tentang prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Apa yang dilakukan pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak.
"Meski anak R telah melakukan tindak pidana pengrusakan, namun Anak R yang masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan dalam konferensi pers, apalagi didampingi polisi dengan senjata laras Panjang, padahal Ananda R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat," ujarnya dalam keterangan pers.
"Selain itu, anak R juga korban pembullyan, apa yang dilakukan merupakan akibat dari sebuah sebab yang dialaminya dari lingkungan tempat dia bersekolah," sambung Retno.
Retno melanjutkan, dalam UU No 11 Tahun 2012 pada Pasal 19 (1) disebutkan bahwa Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
Adapun ayat (2) merinci apa saja yang merupakan Identitas anak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
"Menampilkan anak R dalam konfrensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak. Media televisi, cetak dan elektronik dapat dipastikan menampilkan fisik anak R dan pasti akan menzoom bagian wajah yang tertutup, artinya polisi justru memfasilitasi media melanggar pasal 19 UU SPPA," kata Retno.
Padahal, lanjut Retno, ada Sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 yang dapat dikenakan terhadap media. Adapun ketentuan sanksinya adalah: "Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Kedua, Retno menyoroti hal itu lantaran pihak Kepolisian berpotensi melanggar hak anak memperoleh Pendidikan.
Sebab, perlakuan pihak kepolisian yang berlebihan dapat berdampak pada massa depan Ananda R, seperti hilangnya hak melanjutkan Pendidikan. Karena setelah pemberitaan tersebut, anak R berpoteni tidak diterima lagi oleh pihak sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan seolah penjahat yang berbahaya.
"Kalaupun anak R sudah menjalani proses hukum nantinya, anak R akan kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerimanya melanjutkan Pendidikan," jelasnya.
Padahal, anak R berhak mendapatkan Pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak dibawah umur. Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun. Itu semua dijamin dalam UU Perlindungan Anak.
Namun, ketika diliput luas oleh media bahkan diambil foto dan videonya, maka anak R akan berpotensi kuat mendapatkan stigma buruk berkepanjangan, baik di wilayah anak R tinggal bersama keluarganya, maupun dalam lingkup yang lebih luas.
"Hal ini akan berdampak masa depannya yang berpotensi suram, seperti sulit mendapatkan sekolah, berikutnya mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Hal tersebut berpotensi kuat terjadi sebagai dampak pemberitaan dan identitas yang muncul di publik, dan ironisnya itu dilakukan oleh APH," imbuh Retno.
Retno lantas mendesak Kompolnas, Irwasun Polri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Dewan Pers turun tangan. KPAI, menurutnya, sebagai Lembaga pengawas perlindungan anak juga harus segera bersuara dan bertindak. Selain itu, Dewan Pers juga harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap media yang diduga melanggar pasal 19 UU SPPA dalam tayangannya.
"Saya sebagai pemerhati anak dan Komisioner KPAI Periode 2017-2022 mendorong pihak pihak terkait seperti Irwasun Polri dan Kompolnas dapat bertindak sesuai kewenangannya untuk menyelidiki dugaan pelanggaran UU PA dan UU SPPA yang dilakukan oleh kepolisian. Semoga peristiwa menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk peka dan memiliki perspektif perlindungan anak," tandas Retno.