Memanaskan Botol Dot Berbahan BPA Picu Anak Depresi

Ilustrasi anak/balita.
Sumber :
  • Freepik/rawpixel.com

VIVA – Plastik kemasan pangan yang mengandung Bisphenol A (BPA) disinyalir berbahaya bagi usia rentan yaitu, bayi, balita dan janin pada ibu hamil. Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar berpendapat isu mengenai resiko BPA sudah lama dibahas di beberapa negara Eropa. 

Namun, di Indonesia gaungnya belum terlalu luas. Pandangan itu mengemuka dalam dialog publik daring bertajuk 'Mendesain Regulasi Bisphenol A (BPA) yang Tepat' yang digelar oleh Centre for Public Policy Studies (CPPS), baru-baru ini.

“Dengan dialog ini kita berharap bisa mengangkat kesadaran masyarakat bahaya BPA bagi kesehatan, serta mengajak pemerintah mengatur regulasi ini,” kata Nia Umar.

Nia Umar menambahkan, banyak merek botol susu bayi mengandung BPA, seperti halnya gelas plastik, peralatan makan, dan lapisan sebagian besar kaleng dan kaleng makanan dan minuman. Menurut Nia Umar, pemanasan berulang dari plastik polikarbonat dapat menyebabkan ‘larutnya’ BPA ke dalam pangan. 

Bagi bayi yang diberi makan secara artifisial dapat menelan BPA dosis ganda. Sebab, itu berasal dari botol susu dan dari lapisan timah kaleng susu ke dalam susu bubuk yang dikonsumsi anak.

“BPA berbahaya ketika ada pemanasan berulang dari plastik. Jadi, memang BPA ini problematis karena ada dimana-mana. Di Eropa, barang mengandung BPA sudah jelas tidak boleh sama sekali. Tidak hanya di botol dot bayi, tetapi juga di wadah makanan,” tuturnya.

Nia Umar mengingatkan bahwa BPA bisa menunjukkan sifat seperti hormon. Paparan BPA di masa kanak-kanak dikaitkan dengan tingkat kecemasan, depresi, hiperaktif, kurangnya perhatian, dan masalah perilaku yang lebih tinggi. Tak hanya di botol dot, BPA bisa hadir dimana-mana pada lingkungan kita karena penggunaannya yang leluasa, seperti penggunaan kemasan air galon.

“Bayangkan, air galon ini melalui rantai pengiriman yang panjang, dan jika di jalan cuaca panas, maka kandungan BPA bisa larut dalam air yang kita konsumsi,” kata. dia.

Tips mencegah paparan BPA

Bagaimana peran kita sebagai individu, masyarakat? Apa yang seharusnya kita lakukan mengingat BPA adalah polusi yang tidak terlihat. Nia Umar memberikan tiga tips bagi masyarakat. 

Pertama, menghindari BPA. Kedua, tidak mengkonsumsi makanan kalengan. Ketiga, tidak memanaskan plastik kemasan. Nia berharap Pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA. 

“Harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA, dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” ujar Nia. 

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait berpendapat dampak kesehatan BPA harus diinformasikan kepada masyarakat, khususnya dampak bagi anak. Hal itu selaras dengan Konvensi PBB dan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak, mengenai hak anak untuk sehat dan hak anak untuk hidup.

“Hak itu adalah hak yang sangat fundamental yang dimiliki anak. Apalagi tadi disebutkan hampir 50% anak-anak di Indonesia belum menikmati air susu ibu (ASI),” katanya.

Bagaimana memformulasi regulasi yang selaras dengan hak anak atas kesehatan dan hak anak untuk hidup yang harus dilakukan oleh regulator. 

“BPOM sebagai wakil Pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau kita ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka kita harus kembalikan ke pemerintah,” kata dia.