Jangan Anggap Sepele, Ini Tanda Tantrum Si Kecil Berbahaya
- U-Report
VIVA – Tantrum kerap menjadi salah satu hal yang dianggap biasa oleh para orang tua. Kondisi ini dinilai menjadi cara anak mengekspresikan emosinya, namun ternyata tantrum juga bisa membahayakan si kecil, lho.
Dituturkan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan Psikiatri Anak & Remaja, RS Pondok Indah – Bintaro Jaya, dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K), terkadang anak-anak dapat mengalami emosi yang negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi. Sebenarnya hal ini dianggap wajar.
"Namun, ledakan emosi pada anak harus diwaspadai," kata dokter Anggia, dalam keterangan persnya.
Ada beberapa tanda saat ledakan emosi tersebut membahayakan. Salah satunya apabila tantrum dan ledakan (outbursts) terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun.
Selain itu, ledakan emosi pada perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain seperti memukul diri sendiri. Serta, perilaku anak yang bisa menimbulkan masalah serius di sekolah.
"Tanda lainnya yaitu apabila perilaku anak memengaruhi kemampuannya bersosialisasi dengan teman, sehingga anak “dikucilkan” oleh teman-temannya," tuturnya.
Waspadai juga jika tantrum dan perilaku anak telah membuat distress atau kesulitan dalam keseharian keluarga. Perhatikan pula saat anak merasa tidak mampu mengendalikan emosi marahnya dan merasa dirinya “buruk”.
"Ada beberapa faktor penyebab masalah emosi yang terjadi pada anak, antara lain ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), kecemasan/anxiety, trauma, kesulitan belajar," kata dokter Anggia.
Faktor lainnya yakni gangguan pemrosesan sensori (sensory processing issues), spektrum autisme, sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga maupun teman, dan terlalu terikat dengan satu figur yang dominan.
Untuk itu, memiliki anak dengan kecerdasan emosional memang memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melatih anak meregulasi emosinya.
Dimulai dari mengenali emosi/perasaan diri (name the feeling). Dilanjutkan dengan mengenali emosi/perasaan orang lain. Orang tua juga harus hadir dan dengarkan perasaan anak. Tak lupa juga, turut serta menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak.
"Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah dan be a role model," ujar dokter Anggia.
Orang tua juga perlu menunjukkan rasa senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak. Tak bisa juga dilupakan untuk mengajarkan teknik-teknik relaksasi (emotional toolbox).
"Kepercayaan terhadap orangtua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak untuk meregulasi emosinya dan mendorongnya menjadi mandiri, serta berani mengambil risiko,” tuturnya.
Anggia menambahkan, apabila si kecil memiliki karakter ini, maka diharapkan anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya."