Miris, Angka Kematian Ibu di Indonesia Capai 30 Persen
- Pixabay/Esudroff
VIVA – Jumlah penderita stunting di Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 12 persen, bila pemerintah tidak segera melakukan terobosan.
Hal itu disampaikan oleh Tim Ahli Habibie Institut Public Policy Government, DR.Dr. Tb. Rachmat Sentika SpA.MARS, baru-baru ini. Menurut dia, mengatasi persoalan stunting tidak sebatas pada mendorong pemberian ASI eksklusif saja.
Baca Juga: Anak Pendek Tak Melulu Stunting, Kenali Bedanya
"Jangan hanya bicara ASI, tapi yang harus digunakan adalah pendekatan siklus hidup. Tidak hanya anak, namun juga harus diperhatikan kesehatan ibu. Jangan sampai calon ibu mengalami anemia, kurang energi kronik (KEK) dan juga terkait pengetahuannya," ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima VIVA, Senin 21 September 2020.
Dokter, filsuf, dan ahli gizi komunitas, Dr. dr. Tan Shot Yen, M.Hum, dalam seminar bertajuk 'ASI dan Pangan Tinggi Gizi dalam Menghapus Stunting dari Negeri Ini' mengatakan, banyak ibu di Indonesia tidak siap untuk menjadi ibu. Hal itu terlihat dengan masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yaitu 30 persen atau sebanyak 305 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
"Bayangkan jika ibu hamil dalam keadaan malnutrisi dan pada saat melahirkan akan berisiko tinggi mengalami pendarahan. Anak yang lahir dari ibu yang tidak siap ini akan lahir dengan berat badan lahir rendah. Lalu anak tidak disusui dengan benar, tentu punya masalah tumbuh kembang," kata dia.
"Daya tahan yang buruk dan kapasitas mental juga sangat rendah. Ditambah lagi dengan pola makan yang tidak benar, lalu layanan kesehatan seperti di masa sekarang (pandemi), akhirnya sukses menjadi stunting," tambah dokter Tan.
Anak stunting bukan hanya sekadar persoalan fisik. Namun, menurut Tan, daya tahan tubuh dan kapasitas mental yang rendah, turut menjadi akibatnya.
"Hari ini saya melihat pemberitaan seorang yang membagikan susu kepada anak-anak pemulung, tapi yang dibagikan adalah susu kemasan. Ternyata susu kemasan sangat tinggi dengan gula," kata dia.
Sebagaimana diketahui, susu kemasan khususnya produk kental manis mengandung 50 persen gula.
"Saat anak sudah mencicip rasa artificial dan rasa itu adalah banget, ini adalah cikal bakal stunting. Bayangkan bila anak-anak dibesarkan dengan cara seperti ini," imbuh dr Tan.
Salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah anak-anak penderita stunting di Indonesia adalah, DPR harus betul-betul mengawal dan mengawasi pelaksanaan UU Pangan dan Peraturan Pemerintah, tentang Label dan Iklan Pangan yang menjadi petunjuk pelaksana dari UU tersebut.
Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi para ibu menyusui dan anak-anak dalam mendapatkan haknya atas ASI, dari post promotion yang dilakukan oleh industri susu yang bisa menyebabkan balita dan anak-anak menjadi stunting.
"Alangkah baiknya DPR mulai mengawasi dengan ketat Undang-Undang Pangan ini, utamanya terkait dengan post promotion yang dilakukan industri susu yang justru tidak baik dikonsumsi untuk balita dan anak-anak. Jadi, bagaimana kita secara tegas untuk bisa melakukan pembatasan pengiklan," tutur dokter Tan Shot Yen.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bahkan menyebut susu kental manis menjadi penyebab buruknya gizi anak Indonesia. Karenanya, IDAI merekomendasikan agar susu kental manis (SKM) tidak boleh diberikan pada bayi dan anak.