Kekerasan Anak di Sekolah Jadi Tren Kasus Pendidikan
- Pixabay
VIVA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama April-Juli 2018 mencatat ada 33 kasus pelanggaran hak anak. Dari ke-33 kasus tersebut, porsi terbanyak adalah kasus kekerasan atau perundungan, yakni sebanyak 13 kasus.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, kekerasan di sekolah dengan dalih mendisiplinkan menjadi tren kasus pendidikan selama April-Juli. Kekerasan tersebut berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak, karena menimbulkan trauma berat, cedera fisik, bahkan sampai mengakibatkan kematian pada anak.
"Sebagian guru masih menganggap bahwa siswa hanya dapat didisiplinkan dengan hukuman, cenderung kekerasan, ketimbang melakukan disiplin positif, serta pemberian penghargaan kepada peserta didik," ujar Retno dalam konferensi pers di Gedung KPAI, Jakarta, Senin 13 Agustus 2018.
Retno pun mencontohkan beberapa kasus kekerasan dengan tameng mendisiplinkan siswa. Salah satunya kasus di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, yaitu seorang guru berinisial RM menghukum muridnya, MB, dengan menjilat WC karena tak membawa tugas yang diperintahkannya.
Kemudian, kasus yang sempat viral di media sosial, di mana seorang guru berinisal LK menghukum siswa-siswanya yang terlambat dengan tamparan sangat keras. Masih banyak lagi kasus serupa yang meninggalkan trauma mendalam pada siswa.
Karena itu, KPAI mendorong rekomendasi kepada Dinas-dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk melakukan percepatan program Sekolah Ramah Anak (SRA). Salah satu indikator SRA adalah sekolah tidak mengedepankan hukuman dalam pembinaan terhadap siswa, tapi mengutamakan pemberian penghargaan atau reward.
"KPAI juga mendorong Kemdikbud dan Kemenag untuk secara berkelanjutan memiliki program peningkatan kapasitas guru dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas. Hal ini diperlukan agar para guru dapat menangani anak yang bermasalah di kelas tanpa kekerasan," kata Retno.
Selain itu, KPAI juga meminta agar rancangan peraturan presiden SRA yang diinisiasi dua tahun lalu, dan sempat mandeg, kembali dibahas dan dipercepat pengesahannya di Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Hal ini sebagai upaya menjadikan sekolah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik, sehingga tumbuh kembang anak dapat maksimal.