Krisis Air Bersih, Anak-anak di NTT Stunting dan Putus Sekolah
- VIVA.co.id/Tofik Koban
VIVA – Air menjadi hal yang biasa bagi kita yang tinggal di perkotaan. Tapi, bagi masyarakat khususnya anak-anak di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, air adalah barang mewah yang untuk mendapatkan 1-2 liter saja butuh usaha yang berat.
Contohnya Cheril, salah satu anak yang tinggal di Desa Hepang, Kabupaten Sikka. Setiap pagi dia harus berjalan kaki selama satu jam untuk mengambil air di sumber mata air. Karena hal ini, Cheril harus rela terlambat sampai ke sekolah.
Desa Hepang dan Wolomotong merupakan contoh desa di Sikka yang memiliki masalah air bersih. Sebanyak 2.702 warga di kedua desa ini mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka, sedangkan hujan hanya berlangsung 4-5 bulan saja di sana selama satu tahun.
Area Program Manager Wahana Visi Indonesia, Johny Noya, menuturkan, beberapa masyarakat terpaksa membeli air bersih jika musim kemarau tiba. Tapi, uang yang mereka keluarkan cukup besar, Rp500 ribu-Rp750 ribu untuk air yang habis dipakai selama 1-2 minggu saja.
"Umumnya anak-anak yang kebanyakan terkena dampaknya, pertama mereka terlambat sekolah karena mereka harus ambil air yang jauh," ujar Johny saat melakukan telewicara di Gedung 33, Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
Akibatnya, anak-anak ketika sampai ke sekolah tidak bisa berkonsentrasi. Mereka sudah terlanjur kelelahan karena harus mengambil air sejak pagi. Akhirnya, aktivitas belajar mereka ikut terpengaruh.
Karena harga air bersih yang mahal, orangtua juga dihadapkan dengan dilema, apakah harus mengeluarkan uang untuk biaya sekolah atau membeli air. Sementara pendapatan mereka dari hasil bertani atau melaut tidaklah banyak. "Pada akhirnya, orangtua memilih untuk membeli air bersih," imbuh Johny.
Meski sedikit, tapi air itu sangat diperlukan keluarga untuk tetap bertahan hidup. Dampaknya, tidak sedikit anak-anak yang harus putus sekolah.
Selain pendidikan, masalah air bersih juga berdampak besar pada kesehatan anak-anak di Desa Hepang dan Wolomotong. Johny menyebutkan, dari 10 anak hampir empat anak mengalami stunting atau cebol. Karena air yang tidak cukup, warga desa tidak bisa mengonsumsi makanan yang sehat seperti sayur-sayuran.
Dampak lainnya juga ke masalah sanitasi. Air bersih yang didapat warga hanya cukup untuk makan atau memasak. Sementara untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK) tidak lagi menjadi prioritas mereka.
"Masalah ini menjadi lingkaran yang terus berputar, akibatnya kualitas masyarakat menjadi turun," kata Johny menambahkan.