Tega Banget, Guru SMK di Purwokerto Tampar Murid
VIVA – Kekerasan di sekolah kembali terjadi. Kali ini seorang guru SMK di Purwokerto, Jawa Tengah, kedapatan menampar muridnya di dalam kelas.
Dalam video yang viral di media sosial dan diwartakan akun gosip, tampak murid berdiri di depan kelas menghadap guru. Selama beberapa detik, pipi murid itu dielus-elus tangan guru, sebelum akhirnya menerima tamparan, hingga tubuh murid terhuyung ke belakang.
Suara tamparan cukup jelas terdengar, sedangkan siswa lain tetap duduk di bangku mereka masing-masing. Video insiden pemukulan itu juga disertai klarifikasi dari guru bahwa ia mengaku telah memukul muridnya. Dalam pengakuannya bukan hanya satu murid yang ia pukul, tapi beberapa.
"Saya akan klarifikasi kalau sampai muncul video saya di media sosial. Ya, ini saya. Saya yang memukul mereka, dan ini semua korbannya," ujar guru itu di depan murid-muridnya.
Setelah itu ia mempersilakan jika ada muridnya yang ingin balas dendam. "Saya tawarkan sama kamu kalau ada yang merasa dendam ke saya, saya terima. Barangkali ada yang merasa saya intimidasi dan terancam oleh saya," katanya.
Guru itu mengatakan alasan pemukulan karena murid-muridnya sudah bersikap keterlaluan, "Tolong disadari, saya melakukan itu bukan karena tujuan. Saya pun dulu pernah merasakan dan saya dendam karena itu. Tapi saya ingin rasa sakit yang saya berikan sebagai pengingat karena kalian sudah keterlaluan.”
Sudut pandang pakar
Kekerasan di sekolah bukan hal baru. Psikolog dan pendididik Najelaa Shihab telah angkat bicara mengenai maraknya aksi kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan guru pada murid, maupun murid pada guru.
“Saya melihat kekerasan ini dari kejadian demi kejadian, hari ini di sini, nanti minggu depan di sana, cuma giliran saja nih, kejadiannya di satu sekolah ke sekolah lain. Kekerasan di dalam sekolah itu makin tinggi,” kata wanita yang akrab disapa Ella itu dalam sambungan telepon dengan VIVA, beberapa waktu lalu.
Menurut Ella, kekerasan di Indonesia tidak hanya terjadi di sekolah tapi juga di rumah. Tingginya angka kekerasan dilatarbelakangi faktor budaya. “Masalah utama di dunia pendidikan kita itu budaya kekerasan. Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan. Bahkan anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” terang Ella.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr. Susanto, MA, menilai apa pun bentuk kekerasan meski tujuannya baik, tidak dapat dibenarkan. “Meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai pelanggaran,” ujar Susanto dihubungi VIVA terkait kekerasan pada anak. (ren)